KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga kampung batik Cigeureung, Tasikmalaya, Jawa Barat, menjemur kain setelah proses pewarnaan, Kamis (14/4).

Batik Ciamis-Tasikmalaya-Garut

Mencari Identitas Melawan Zaman * Selisik Batik

·sekitar 6 menit baca

Pernah berada dalam bayang-bayang Mataram hingga nyaris kehilangan identitas, kini batik priangan berusaha tegak melawan zaman. Dengan berbagai kreativitas dan inovasi, batik priangan khususnya Tasikmalaya, Garut, dan Ciamis, mencoba menunjukkan identitasnya.

Perang Diponegoro dan mataramisasi ikut mengenalkan batik motif kawung, sidomukti, dan parang dari Jawa Tengah pada pembatik di tanah Priangan. Maka, tatkala batik priangan mulai bangkit di tahun 1930, motif-motif itulah yang lalu diadaptasi pada lembar-lembar batik priangan menjadi identitas baru.

Motif kawung, seperti buah kolang-kaling yang tersusun rapi, di Priangan disebut kumeli. Kumeli adalah sebutan untuk kentang berukuran kecil berkulit coklat kehitaman. Sedangkan sidomukti, di Priangan tetap dikenal dengan nama sidomukti, dengan tambahan nama dan ragam motif baru. Sidomukti seling kembang, sidomukti seling payung, dan sidomukti seling kipas.

Motif parang dengan susunan corak menyerupai huruf S yang jalin-menjalin tanpa putus diadaptasi sesuai selera dan kebutuhan, lalu mendapat nama baru yang unik. Parang pun berubah jadi lereng atau disebut juga rereng.

Variasi motif lereng ini di Priangan jumlahnya cukup banyak. Seperti lereng orlet (peniti), lereng eneng, lereng dokter, hingga lereng jaksa, merujuk kepada profesi penggunanya atau orang tenar zaman itu. Diduga hal itu menjadi bahan promosi sekaligus untuk menaikkan citra agar batik motif tertentu dikenal orang.

Di Batik Deden yang dikelola Deden Supriadi (49) di Tasikmalaya, misalnya ada lereng Desi dan lereng Inul. Desi yang dimaksud adalah pemain sinetron dan presenter beken asal Sukabumi, Desi Ratnasari. Sedang Inul adalah penyanyi dangdut asal Jawa Timur yang terkenal dengan goyang ngebornya, Inul Daratista. Diberi nama lereng Inul dan lereng Desi karena dulu dipesan oleh Inul dan Desi.

”Coba perhatikan, lerengnya kayak joget, kan? Itu namanya Inul,” ujar Deden. Batik yang dimaksud, berupa motif lereng dengan corak huruf S yang digambarkan seolah berjoget, seperti dikatakan Deden, didominasi warna hijau. Sayang, Deden sedang kehabisan lereng Desi.

Meski terasa menggelitik, penamaan yang unik dan pemilihan warna hijau tak semata bentuk kreativitas dan inovasi pembatik di tanah Priangan. Namun, juga upaya untuk memberi identitas baru pada batik priangan.

”Kalau dulu, lebih banyak ikuti pasaran, seperti hitam, merah, dan kuning karena enggak ada warna lain. Dasarnya kuning gading. Sekarang banyak warna lain mulai violet, pink, orange, hijau, dan abu (abu-abu). Pokoknya modifikasi warna, semua ada. Kalau dulu cuma biru sama merah dicampur,” kata Deden.

Untuk mendapat warna sesuai keinginan yang jadi ciri khas batik Deden, sore menjelang malam saat pekerjanya pulang, Deden masih bekerja mencampur warna untuk esok hari. Dia memilih pewarna buatan Jerman ketimbang India karena kualitasnya lebih baik meski harganya lebih mahal.

Motif baru

Tak cuma mengeksplorasi motif lama, Deden juga menciptakan motif-motif baru. Dalam satu bulan setidaknya ada 2-3 motif baru. Begitu pula dengan modifikasi atau menggabungkan motif. Misalnya lereng dengan segitiga atau lereng kujang dengan lereng cerutu.

”Motif baru biasanya tak berumur lama. Maksimal satu bulan. Setelah itu, konsumen balik lagi ke motif lama. Karena itu, harus kreatif terus enggak boleh berhenti,” kata Deden.

Selain kreatif di urusan produksi, Deden juga amat memperhatikan pemasaran. Ia aktif menjemput bola, mencari pasar dengan mendekati berbagai instansi pemerintah hingga ke kantor-kantor desa. Dia yakin, kreativitas harus diimbangi strategi pemasaran yang tepat agar bisa lolos melawan zaman.

Pembatik khas Sukapura, Sukaraja, Enung Nurul Huda (67) juga berinovasi. Bila sebelumnya hanya memunculkan warna ungu, merah bata, biru, soga, yang mirip batik Jawa Tengah, ia mencoba warna alam yang ramah lingkungan.

Ia mencontohkan warna hijau muda yang menurutnya merupakan warna hijau satu-satunya. Bahannya diambil dari daun sirsak yang banyak tumbuh di sekitar tempat tinggalnya. ”Karena pewarna alami dari dedaunan, bahkan saya sendiri sulit membuatnya persis sama. Inovasi ini menyelamatkan tingginya biaya pewarna, dan minimnya tenaga kerja,” kata Enung.

Lewat 10-15 kali percobaan sekitar tiga tahun lalu, dia mendapat bahan pewarna alami yang tak mudah luntur, seperti daun jambu batu, kulit mahoni, daun avokad, buah manggis, dan daun salam. Meski tak setajam warna sintetis, faktor ramah lingkungan memberi daya tarik tersendiri.

Di Garut, Iman Romdiana (42), pemilik Batik Beken, juga terus berinovasi. Ia piawai mengembangkan motif-motif lama. Motif yang ia pelajari dari ibunya, Sukenah, seperti merak ngibing, bulu hayam, mojang priangan, atau kurung hayam, dikolaborasikan dalam satu lembar batik. Dari kelima motif dasar itu, ada 420 motif batik yang dikembangkannya.

Iman juga membuat terobosan baru dengan menciptakan motif baru, seperti domba dan jeruk garut, serta bunga mawar. ”Sekarang bentuknya dibesar-besarkan. Beda dengan dulu kecil-kecil, seperti terang bulan, mojang priangan,” katanya

Iman juga memberi variasi pada warna dasar batik Garut yang dulu didominasi warna merah dan biru. ”Sekarang banyak berubah, ciri khas Garut cerah, ngejreng. Pokoknya sebisa mungkin dengan kreativitas saya coba ciptakan sendiri,” ujar Iman. Di Garut, hal serupa dilakukan Pemilik Batik SHD Garut, Agus Natawidjaya (51).

Tak Hanya Cirebon

Penggiat batik dari Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB), Ken Atik Djatmiko, menuturkan, di Jawa Barat (Jabar) orang ”mungkin” mengenal batik hanya ada di Cirebon. Tak heran bila banyak orang kerap bertanya, ”Oh ada batik toh di Jawa Barat” atau oh di Tasik ada batik. ”Komentar seperti itu sampai sekarang masih ada,” ujar penulis buku The Dancing Peacock ini.

Padahal, kata Atik, baik Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut, masuk dalam lima daerah di Tatar Sunda yang dikenal sebagai daerah perbatikan lama, bersama Cirebon dan Indramayu. ”Jadi, hanya 5 wilayah besar itu yang dikenal meski tetap saja masih ada orang yang enggak yakin ada batik di sana,” katanya.

Di kelima daerah itu, penamaan dan penggunaan warna pada batik memiliki perbedaan. Yang paling unik adalah Tasikmalaya, di mana batik di kota dan kabupaten memiliki perbedaan bak langit dan bumi. Dari penggunaan material, maupun visual terkait motif dan warna.

”Di batik Tasik ada istilah kebun kosong, isen-isen tak banyak digunakan. Jadi, batik sudah dianggap selesai, tak perlu menambah isen-isen detail,” ujar Atik.

Sementara di Garut, pembatik membiarkan bidang-bidang besar yang disebut lepaan. Dalam teknik batik, lepaan adalah teknik sulit karena untuk bidang-bidang besar pewarnaannya harus benar-benar rata.

”Ini berarti kepiawaian yang menembok. Membiarkan tapi tetap memberi warna untuk mendapat warna hitam atau merah yang rata. Dalam proses ini ramuan warna dan kualitas pewarna kimianya jadi sangat penting,” ujar Atik.

Terkait penamaan, di Jabar dikatakan Atik relatif mudah. Hal ini, antara lain karena di Jabar, penamaan batik lebih pada kebutuhan, bergantung pada siapa yang memesan, kapan dipakai, dan terkait peristiwa apa. Misalnya ada Perjanjian Renville, maka muncul lereng Renville. Atau Lereng Impala karena saat itu muncul mobil impala yang prestisius, maka dibuat batik.

”Jadi, di Sunda itu penamaan batik sangat familiar. Mungkin kalau dikaitkan dengan karakter masyarakat sunda yang istilahnya itu ’someh’ (ramah) dan ’derehan’ (gampang sekali menerima dan memberi), sehingga karakter-karakter orang Sunda itu masuk juga ke batik,” katanya.

Suwarsih Warnaen dkk dalam buku Pandangan Hidup Orang Sunda disebutkan, orang Sunda bersosialisasi dengan berguru atau meniru contoh yang baik di tengah masyarakat. Masyarakat itulah yang akhirnya menjadi gurunya, baik di keluarga maupun di lingkungan yang lebih luas.

Tentang masa depan batik priangan, Pengurus Harian YBJB, Komarudin Kudiya, yakin akan cerah. Ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat tanah Priangan yang terus meningkat pada batik Tasikmalaya dan Garut.

”Mereka sudah mulai menyatu dengan batiknya. Bahkan ibaratnya, batik-batik reproduksi Garut, asal dengan kualitas lebih baik, pun digemari, karena kebanggaan sebagai orang Garut,” kata Komar. Hal ini, kata Komar, menjadi amunisi ampuh untuk melawan zaman.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pabrik kain mori Rukun Batik, Ciamis, Jawa Barat, yang mati, Selasa (12/4).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Dokumentasi turun temurun diwariskan di keluarga Raden Adipati Aria Koesoemasoebrata yang erat dengan kejayaan Batik Ciamis di Ciamis, Jawa Barat, Rabu (13/4).

Artikel Lainnya