KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pekerja menyelesaikan pembuatan kain batik di rumah produksi batik milik Slamet Hadiprijanto di Desa Mruyung, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (16/5).

Batik Banyumas-Cilacap-Banjarnegara

Merajut Seni dan Industri * Selisik Batik

·sekitar 5 menit baca

Meski sempat redup, batik banyumasan kini mencoba bangkit kembali. Namun, perjuangannya tak mudah. Kehadiran kain tekstil bermotif batik menjadi ancaman baru. Pengombinasian batik tulis dan cap dengan tekstil bermotif batik lantas dipilih sebagai jalan tengah untuk mempertahankan seni dan industri.

Masa kejayaan usaha batik banyumasan ditandai oleh kehadiran ribuan perajin batik, ratusan perusahaan batik, pabrik canting, dan pabrik pemintalan kain. Keriuhan ekonomi perbatikan saat itu ditopang juga dengan kehadiran Koperasi Persatuan Pengusaha Batik Indonesia (Perbain) di Banyumas.

Namun, kemeriahan kegiatan ekonomi batik hanya bertahan hingga 1970-an. Tahun 1980-an, perlahan-lahan perbatikan di Banyumas mulai surut. Catatan Kompas memperlihatkan, sampai dengan tahun 1965 masih terdapat 165 perusahaan dan perajin batik di Banyumas. Tahun 1992 hanya tinggal 15 perusahaan. Pabrik canting dan pemintalan kain ikut tutup seiring rendahnya permintaan bahan baku. Hanya Perbain Banyumas yang masih eksis walau perannya hanya sebagai penyuplai bahan baku batik skala kecil.

Masalah regenerasi

Surutnya usaha batik banyumasan pada era 1980-an salah satunya disebabkan oleh lambatnya regenerasi pebatik. Keahlian membatik yang diwariskan sebagai tradisi berangsur menghilang karena warga di beberapa sentra batik, seperti Desa Mruyung, Banyumas, Sijalu, dan Papringan, memilih untuk keluar dari Banyumas dan menggeluti profesi lain, seperti menjadi buruh migran.

Slamet Hadiprijanto (45), pemilik batik Hadiprijanto, usaha batik yang pindah dari Purbalingga ke Banyumas pada 1957 dan sempat tutup pada 1998, menuturkan, delapan anak ayahnya juga memilih bekerja di luar Banyumas bukan sebagai pebatik. Hanya tersisa satu orang, yakni dirinya, yang akhirnya meneruskan usaha batik. Sampai saat ini belum ada satu anaknya pun yang tertarik belajar membatik dengan serius.

Tak hanya persoalan regenerasi, di Cilacap, masalah kekurangan modal dan pemasaran yang seret membuat para pebatik di daerah itu meninggalkan keahliannya. Batik bikinan pebatik Cilacap yang telah selesai dibubuhi malam hanya teronggok karena tidak punya modal cukup untuk mewarnai. Jika ada pebatik yang bisa mewarnai, mereka tidak tahu harus ke mana memasarkan. Kain-kain tersebut hanya tersimpan sebagai warisan turun-temurun anak-cucu.

Bangkit

Sekitar tahun 2000, industri batik di Banyumas, Banjarnegara, Cilacap, dan Kebumen perlahan mulai bangkit. Hal itu tak lepas dari peran pemerintah daerah untuk mengangkat kembali potensi batik lokal. Di samping pemerintah daerah, konsumen ikut memengaruhi bangkitnya batik.

Di Kebumen, pada 2003 didirikan Paguyuban Insan Peduli Batik Kebumen yang prihatin terhadap keterpurukan batik. Paguyuban yang terdiri atas sejumlah PNS ini kemudian melakukan langkah kecil, tetapi bermakna bagi kebangkitan batik Kebumen. Mereka pergi ke perajin, memberi motivasi, mendata motif asli, dan membeli batik untuk dijual. Uniknya, mereka menjual batik di rapat koordinasi antar-PNS.

Sejumlah pengusaha batik Kebumen juga berupaya tetap eksis mempertahankan usaha turun-temurun yang telah dirintis keluarga. Seperti Batik Pawitah yang dikelola Pawitah (34) dan suaminya, Yudi Alfian (33). Tahun 2009, Pawitah mulai berani mendirikan perusahaan batik sendiri, terpisah dari perusahaan ayahnya, batik Slamet.

Pawitah dan suaminya melihat bahwa potensi pebatik di Gemeksakti, Kebumen, cukup besar. Selama ini para pebatik menjual ke pengepul di luar Kebumen. Pebatik mendapat hasil sedikit dan pengepul bisa memainkan harga. Bahkan, terkadang hasil batikan tidak laku terjual. Melalui Pawitah, pebatik bisa mengambil bahan baku mori dan malam. Setelah kain dibatik setengah jadi, bisa diwarnai di tempat Pawitah. Pebatik pasti akan mendapat bayaran dari kain setengah jadi yang dibuatnya.

Upaya-upaya membangkitkan cukup berbuah manis. Selama lima tahun terakhir, jumlah pebatik di Kabupaten Banyumas, misalnya, meningkat dua kali lipat. Ratusan pebatik tersebut diwadahi 62 usaha batik skala kecil dan menengah. Pemain-pemain mulai bermunculan, di antaranya perusahaan Hadiprijanto, Batik ”R”, serta Batik Anto Djamil. Nilai produksi pun terdongkrak 18 persen setiap tahun.

Tahun 2016, jumlah unit usaha batik di Cilacap paling rendah dibandingkan dengan tiga wilayah lain. Namun, selama lima tahun terakhir, salah satu pelaku usaha di daerah tersebut, yakni Batik Rajasa Mas, sudah melakukan ekspor selama lima tahun terakhir rata-rata Rp 400 juta setiap tahun.

Tantangan

Kehadiran kain bermotif batik adalah tantangan yang harus dihadapi para pengusaha batik. Tren ini mulai berkembang di kawasan Banyumas sekitar tahun 2009 saat sejumlah pemda mewajibkan PNS dan sekolah menggunakan seragam batik. Permintaan batik melonjak drastis.

Para pengusaha yang selama ini memproduksi batik dalam jumlah kecil pun kewalahan karena tidak mungkin memenuhi pesanan itu dengan metode tulis. Tuntutan tersebut membuat Imron (42), pengusaha batik Sekar Jagad, dan Yudi dari batik Pawitah, Kebumen, membuat ”batik” cetak pabrikan. ”Kami memproduksi batik printing (cetak) dengan motif terbatas, khusus untuk seragam saja,” ujar Yudi.

Kehadiran metode printing ini di satu sisi menyelamatkan pengusaha batik dari keterpurukan. Di sisi lain, ia juga berpotensi mengancam keberadaan batik tulis. Jalan tengah yang diambil oleh sejumlah pengusaha adalah mengakomodasi semua metode. Lahirlah batik kombinasi cetak-tulis dan cap. Kain bermotif batik hasil cetak atau printing pada beberapa bagian ditorehkan malam dengan canting.

Batik kombinasi adalah jalan keluar untuk menyiasati harga yang bersahabat. Metode ini juga tetap memberdayakan masyarakat sebagai pebatik. Beberapa pengusaha menyatakan, hal ini bukanlah cara haram yang tidak boleh dilakukan. Kejujuran kepada konsumen yang akan membedakan sikap para pelaku mengenai jenis batik yang dijajakan.

Kehadiran tekstil bermotif batik atau batik cetak ini juga menguntungkan konsumen dan mampu merebut pasar. Begitu juga dengan batik kombinasi yang menambah keragaman produk. Seperti ungkapan Widodo (35), pembeli di Toko Batik Anto Djamil, Banyumas, ”Ya tergantung dari kemampuan saja, sanggupnya berapa. Mau dapat tulis, print, atau cap”.

Euis (39), pengusaha Batik Rajasa Mas, Cilacap, bersikap lain. Dia memilih tidak menjual tekstil motif batik walau ada permintaan pasar. Euis tetap menjual batik tulis dan sedikit batik cap untuk menjaga kelestarian batik dan warisan budaya. ”Batik tulis, ya, ditulis, jangan dicampur dengan printing yang bukan batik,” ujarnya. Untuk menyiasati harga batik tulis, Euis membuat motif dan pewarnaan sederhana. harga batik tulis milik Euis tergolong murah, dengan harga terendah Rp 200.000.

Pemkab Kebumen mempunyai cara kreatif supaya harga batik tulis menjadi lebih terjangkau. Selembar kain digambar pola kemeja pria. Motif batik hanya dibuat pada pola tersebut dan di luar pola kain dibiarkan putih. Inovasi dari pengusaha batik menjadi kunci keberlangsungan industri batik di kawasan Banyumas. Terlebih untuk menghadapi tantangan di depan mata, seperti jumlah perajin yang semakin berkurang dan sulitnya regenerasi.

Pada akhirnya, pengusaha batik adalah kendaraan dalam perjalanan industri batik menuju puncak, dengan pebatik sebagai pengemudi. Jangan berhenti di tengah jalan dan tak sampai di tujuan sehingga batik Banyumasan hanya tinggal nama semata dan hanya bisa dikenang. (M PUTERI ROSALINA DAN IDA AYU GRHAMTIKA S/LITBANG KOMPAS)

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pekerja mengangkut kain batik yang selesai dijemur di sentra kerajinan batik, Banyumas, Selasa (17/5).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Warga keturunan Tionghoa berburu batik di toko batik, Banyumas, Senin (16/5).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pekerja menyelesaikan produksi kain sablon dengan motif menyerupai batik di sentra kerajinan batik Desa Mruyung, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (17/5).

Artikel Lainnya