KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Puspa bersama suaminya, Sukrisno, berfoto di depan bangunan yang dulunya menjadi rumah produksi batik milik Ong Tjing Kiem.

Batik Banyumas-Cilacap-Banjarnegara

Batik Banyumasan Melintas Zaman * Selisik Batik

·sekitar 5 menit baca

Meski bersumber dari tradisi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, batik banyumasan tumbuh dan berkembang dengan napas yang berbeda, berjaya lalu susut.

Sukrisno TB (78) dan Puspa Handayani (73) berjalan bersisihan menapaki halaman loji tua di Jalan Gadean, Sudagaran, Banyumas. Pasangan suami-istri yang terlahir dengan nama The Keng Tie dan Ong Boen Hwa itu memandang bangunan besar tak berpenghuni di tengah halaman seluas 4.300 meter persegi itu.

Sukrisno melangkah cepat, menunjuk papan tua yang tergantung di atas pintu kayu bilik kanan bangunan. ”Ini papan nama pabrik batik mertua saya,” kata Sukrisno. Tertulis di sana, Perusahaan Batik Ong Tjing Kiem di Jalan Gadean, Sudagaran. Surat Izin Tc 5-3-1960.

”Tapi, umur bangunan ini jauh lebih tua,” ujar Sukrisno sambil membuka pintu kayu bilik kecil itu. Sukrisno melangkah memasuki ruangan yang pengap, melangkahi gumpalan besar malam yang menua. Tangannya menunjuk ke arah langit-langit bilik.

”Di ketinggian empat meteran itu, garis kecoklatan itu garis air banjir. Lihat tanggal yang ditoreh di sana, 21 Februari 1860,” tutur Sukrisno menuturkan riwayat loji yang pernah ditinggali empat generasi leluhur istrinya. Sejarah mencatat, banjir besar Sungai Serayu pada 21 Februari 1860 menjadi alasan pemindahan ibu kota Banyumas dari Kecamatan Banyumas ke Purwokerto.

Sukrisno melangkah lagi ke halaman samping loji, menuju limasan tak berdinding, dengan sederet bak pencelupan batik di pinggirnya. Pelan-pelan Puspa menyusul, matanya menerawang ke limasan renta beratap doyong, dengan lantai ruang yang porak poranda. Lalu, ia memandang sebuah lukisan tua di atas pintu loji utama yang terkunci. Lukisan Ong Juk, sang pendiri loji itu.

”Ong Juk adalah ayah kakek saya, Ong Keng Sui,” tutur Puspa. ”Kami tak pernah tahu kapan Ong Juk membangun rumah ini. Yang selalu dituturkan kepada kami, Ong Juk menikah dengan salah satu laskar Pangeran Diponegoro, kami menyebutnya Mbah Sri,” ujar Puspa.

Sukrisno membeber kisah Mbah Sri, yang pernah menjadi penari ronggeng berkeliling Banyumas demi memata-matai pergerakan tentara Hindia Belanda. ”Konon, Mbah Sri juga menggalang uang bagi perjuangan Pangeran Diponegoro sepanjang Perang Jawa pada 1825-1830. Tapi, kami tak pernah tahu apakah Mbah Sri pebatik atau bukan,” kata Sukrisno.

Taut-paut banyumasan

Sulit memastikan sejak kapan leluhur Ong Juk mulai menjadi saudagar batik. Namun, kisah leluhur keluarga Ong dan laskar Diponegoro itu menjadi salah satu cerita bertautnya tradisi batik banyumasan dan tradisi batik surakarta ataupun yogyakarta. Di berbagai sentra batik banyumasan yang tersebar di Banjarnegara, Purbalingga, Cilacap, dan Banyumas, kronik Perang Jawa selalu menjadi bagian dari asal-usul tradisi membatik di sana.

Anto Djamil, salah satu pengusaha batik di Sokaraja, Banyumas, juga menyebut tradisi membatik di Sokaraja diawali kedatangan para laskar Diponegoro yang bergerilya ataupun berpindah dari Kasultanan Yogyakarta dan sekitarnya karena menolak tunduk kepada tentara Hindia Belanda. Euis Rohaini, pemilik batik Rajasa Mas di Maos, Cilacap, juga menyebut legenda laskar Diponegoro sebagai asal-usul tradisi batik orang banyumasan.

Pasca Perang Jawa, Kasunanan Surakarta melepaskan kekuasaannya atas wilayah Banyumas. Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Tanto Sukadri, dalam buku Tanam Paksa di Banyumas, menyebut daerah Banyumas dilepas dari Kasunanan Surakarta dan secara resmi ditempatkan di bawah kekuasaan kolonial Belanda pada 22 Juni 1830.

Sejak masa itu pula, orang Eropa bisa menetap dengan bebas di kawasan itu. Seorang pengusaha batik di Ungaran, Jawa Tengah, Nyonya Von Oosterom memindah pabrik batiknya ke Banyumas sekitar tahun 1855, memunculkan langgam batik panastroman, berpilin dengan tradisi batik yang diwariskan laskar Diponegoro. Langgam batik panastroman memulai kemunculan batik banyumasan dengan warna merah khas batik pesisiran utara Jawa, berikut warna merah tua, biru, hijau, hitam dengan latar kuning gading bercorak Eropa.

Berjaya lalu surut

Hermen C Veldhuisen dalam Buku Batik Belanda 1840-1940 menyebut, batik banyumas menjadi sangat populer di Jawa melalui saluran perdagangan batik di Bandung. ”Selain perusahaan batik yang besar-besar milik orang Indo-Eropa, di kawasan itu bermunculan pula sejumlah besar perusahaan yang kecil-kecil milik orang Jawa yang meniru gaya Van Oosterom-Willemse”.

Periode keemasan batik banyumasan pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 itu juga ditandai dengan kemunculan para saudagar batik peranakan Tionghoa, termasuk Ong Keng Sui, yang tak lain adalah kakek buyut dari Puspa. ”Ong Keng Sui adalah anak Ong Juk. Anak Ong Juk lainnya juga leluhur pebatik Slamet Hadiprijanto,” ujar Puspa.

Puspa masih mengingat cerita orangtuanya tentang keemasan bisnis batik pada 1930-1970-an. ”Orangtua saya mengirim batik ke Bandung dan Tasikmalaya dengan memakai gerobak. Pulang dari berdagang batik, ayah saya membawa koper besi penuh uang logam,” kata Puspa.

Pesohor saudagar batik banyumasan lainnya adalah Kho Siang Kie, yang juga memproduksi motif gandasubrata. Motif gandasubrata adalah ”motif baru” rancangan Bupati Banyumas Pangeran Aria Gandasubrata yang berkuasa pada 1913-1933. Setelah perusahaan Kho Siang Kie tutup, mereka menjual canting cap batik gandasubrata kepada keluarga saudagar batik Slamet Hadiprijanto yang hingga kini masih memproduksi motif itu.

Keluarga Slamet kini menjadi satu-satunya juragan batik ”tempo doeloe” yang masih bertahan di Kecamatan Banyumas, mewarisi merek dagang nama ayahnya, Hadiprijanto yang terlahir dengan nama Kwee Hoe Loey. ”Saya masih ingat, sekitar tahun 1970-an, pengobeng sampai antre dari pagi sampai sore untuk setor batik kepada papiku. Dulu, tukang cap papiku sampai ambil dari Ponorogo dan Surabaya. Zaman itu ada 68 pengusaha di Banyumas, satu demi satu hancur mulai tahun 1980-an. Pabrik kami bahkan sempat tutup gara-gara krisis moneter 1998, beruntung bisa bangkit lagi,” kata Slamet.

Tetapi, keberuntungan tidak menaungi batik Naga produksi keluarga Ong Tjing Kiem. Sukrisno menuturkan, kisah pahit serbuan batik-batik printing mengakhiri riwayat batik Naga tahun 2000-an. ”Pengobengnya di banyak desa makin tua, semakin sedikit jumlahnya, makin tak ketemu rumus dagangnya,” ujar Sukrisno lirih sambil mengelus beberapa lembar batik produksi terakhir yang tak sempat terjual, yang warnanya memudar serenta loji Ong Juk.

Kisah runtuhnya perusahaan-perusahaan batik di Banyumas ini juga diingat para pengecap batik, seperti Supardi (70), Khaerudin (74), dan Supriyanto (70). Mereka berkali-kali pindah juragan setiap kali juragan yang diikuti gulung tikar hingga akhirnya bekerja di pabrik batik keluarga Slamet Hadiprijanto. ”Dari tahun ke tahun kami pindah berkali-kali, mengejar pabrik batik yang masih mampu bertahan. Dari Purworejo, Tasikmalaya, Kebumen. Enggak kehitung. Sekarang tinggal satu ini di Banyumas,” kata Supriyanto. Beruntung, keistimewaan batik kaum cablaka itu tak lenyap terlumat zaman, perlahan mulai hidup dan menghidupi kembali para pebatiknya. (MAWAR KUSUMA/ARYO WISANGGENI G)

Artikel Lainnya