KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Gambar motif naga di tiang Klenteng Cu An Kiong di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (18/5). Gambar-gambar motif di klenteng sebagian diambil sebagai motif batik di Lasem, antara lain motif naga, burung hong, dan awan.

Batik Demak-Lasem-Kudus

Sejarah Batik Lasem: Batik Lasem, Berpusar Bersama Waktu * Selisik Batik

·sekitar 5 menit baca

Sejarah batik lasem tak bisa lepas dari sosok putri asal Champa bernama Na Li Ni. Na Li Ni adalah istri nakhoda kapal Laksamana Cheng Ho (Zheng He), bernama Bi Nang Un, yang bersama Cheng Ho mendarat di Pantai Regol, Lasem, tahun 1413.

Dalam Babad Lasem karangan Mpu Santibadra tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi, Na Li Ni dan Bi Nang Un yang lalu tinggal di Kemandung mengajari perempuan Lasem membatik di Taman Banjarmlathi. Namun, belum ditemukan artefak yang menunjukkan keberadaan batik gaya Champa di masa itu.

Keberadaan pengaruh Champa diduga berdasar kajian perbandingan motif keramik abad ke-15 dari Vietnam dan motif batik lasem kuno yang diproduksi awal abad ke-19 sampai ke-20 sebagaimana ditulis William Kwan, Dyah Rosina, dan Aulia Hadi dalam Eksplorasi Sejarah Lasem. Dari perbandingan itu diperkirakan ada empat jenis motif pengaruh budaya Champa pada batik lasem. Motif matahari pada genderang perunggu Ngac Lu zaman Dong Son, motif gelombang laut pada keramik Champa, motif nyuk pitu atau tujuh titik, dan motif sisik yang dipakai sebagai isen-isen kain batik lasem.

Memasuki awal abad ke-16, batik diduga hanya berlaku di kalangan priayi. Baru akhir abad ke-17 diperkirakan batik lasem mulai diproduksi meski dalam skala terbatas dengan kombinasi ragam hias Jawa, Champa, dan Cina. Abad ke-17 merupakan awal era kolonialisme Belanda di Nusantara, yang ditandai datangnya gelombang besar pendatang baru dari Tiongkok dan Arab di Jawa.

Perdagangan batik mulai dilihat sebagai peluang menguntungkan oleh warga Tionghoa Lasem pada abad ke-18 dan ke-19. Banyak golongan etnis Tionghoa Lasem tertarik terjun sebagai pengusaha batik.

Inger McCabe Elliott dalam buku Batik: Fabled Cloth of Java menulis, industri batik di Lasem mengalami kejayaan di pengujung masa peralihan abad ke-20. Batik tulis dan cap diproduksi besar-besaran, terutama oleh pengusaha batik Tionghoa yang menguasai industri itu sejak tahun 1870. Hingga 1942 tercatat ada ratusan perusahaan batik yang terpusat di kawasan pecinan Lasem.

Di kawasan itu, usaha batik tersembunyi di rumah-rumah warga Tionghoa juragan batik kaya yang bangunannya berbentuk rumah besar serba tertutup, berpagar tinggi, dengan pintu masuk kayu besar berukir aksara Tiongkok. Bentuk rumah seperti itu tampak tak menonjol lantaran tertutup, namun bagian dalamnya sangat luas dan bisa menampung banyak pekerja dan aktivitas produksi batik.

Arsitektur bangunan yang serba tertutup itu sekaligus menjadi cara setiap juragan batik melindungi rahasia perusahaan mereka. Kerahasiaan itu terutama terkait teknik pewarnaan, motif, dan cara pembuatan kain-kain batik mereka.

Persaingan antarpengusaha batik kala itu konon amat sengit. Menurut beberapa pengusaha batik lasem, anak atau sanak keluarga pun tak mengetahui teknik pencampuran warna yang digunakan, terutama untuk jenis warna khas batik lasem, seperti merah darah ayam (getih pitik) yang tersohor itu.

Pengusaha batik senior keturunan Tionghoa, Sigit Witjaksono, Selasa (17/5), mengatakan, tingginya persaingan antarpengusaha batik memunculkan sikap individualistis di antara para pembatik hingga saling mematikan.

Peneliti batik lasem dari Institut Pluralisme Indonesia, William Kwan, mengisahkan, para pengusaha batik saling membajak dengan kasar. ”Mereka menunggui pembatik-pembatik itu di muka pintu juragannya. Katanya, kalau kamu mau ikut aku, upahmu ditambah atau mereka mengiming-imingi dengan menu ayam seminggu sekali. Atau nanti dikasih ceret, mereka juga mau,” kata William.

Nyatanya, kompetisi itu justru menjadi senjata makan tuan yang mengakibatkan jumlah pengusaha batik makin menyusut. Mengutip data Forum Economic Development Rembang yang dirilis situs Yayasan Batik, sepanjang tahun 1950-an tercatat ada 140 pengusaha batik lasem. Dua dekade kemudian, jumlahnya tinggal separuh.

Puncaknya terjadi tahun 1980-an. Jumlah pengusaha batik tersisa tujuh orang. Gempuran tekstil bermotif batik pabrikan dan putusnya regenerasi batik menjadi faktor pendukung kemerosotan batik lasem.

Eksploitasi

Pada masa booming, juragan dan pedagang batik lasem menikmati keuntungan berlipat. Selain dipasarkan di banyak daerah di Nusantara, antara lain Jambi, Medan, Bali, dan Manado, batik lasem juga diperdagangkan ke luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Jepang, dan Suriname. Dalam Encyclopaedie Van Nederlandsch-Indie disebutkan, ekspor terpenting Lasem adalah sarung batik yang dikirim ke Singapura.

Sayang, buah manis tak ikut dirasakan para buruh. Seperti dicatat Pemerintah Hindia Belanda tahun 1930, para buruh yang kebanyakan pribumi justru tereksploitasi. Eksploitasi terutama dalam bentuk jam kerja panjang, upah minim, serta buruknya perhatian pemilik usaha pada kesehatan pekerja dan kelayakan lingkungan kerja.

Kini, nyaris satu dekade kemudian, era kelabu batik lasem telah berubah. Generasi pelaku perbatikan lasem beralih tangan dan perlakuan mereka terhadap pekerja lebih baik. Pemilik Batik Pusaka Beruang, Santoso Hartono, misalnya, menerapkan sistem manajemen modern dengan pendekatan kekeluargaan.

Santoso yang mengawali usahanya dengan 15 pembatik pada tahun 2005 kini mempekerjakan sekitar 150 pembatik. Selain dibayar sesuai jumlah pekerjaan yang diselesaikan per hari, para pembatik juga mendapat insentif, bonus rutin, dan waktu kerja fleksibel. Para pembatik juga diberi pinjaman untuk modal usaha serta diajari menabung.

Santoso bahkan mendirikan bengkel kerja di luar Lasem, yaitu di Desa Karasjajar, Pancur, Rembang, untuk menampung sedikitnya 40 pembatik. Tujuannya untuk mendekatkan mereka dengan rumah. ”Banyak dari mereka harus mengurus anak, keluarga, memasak, atau mengurus hewan peliharaan dan sawah,” ucapnya.

Kudus dan Demak

Dominasi etnis Tionghoa juga terjadi di Kudus dan Demak. Di Kudus, batik diyakini berkembang mulai abad ke-17. Namun, kejayaan batik kudus berumur pendek. Dalam Kretek: Kajian Ekonomi & Budaya 4 Kota yang ditulis Puthut EA dkk disebutkan, kemunduran batik kudus terjadi tahun 1870-1880.

Sepanjang satu dekade, batik dari Kudus kalah bersaing dengan batik dari Pekalongan, Tegal, Solo, dan Yogyakarta. Banyak pengusaha batik Tionghoa lalu banting setir menjadi produsen rokok kretek yang industrinya makin besar dan merajai Kudus.

Selain pengaruh Tionghoa, batik kudus mendapat pengaruh dari budaya Arab atau Islam, terutama dengan keberadaan Sunan Kudus alias Syekh Dja’far Shodiq, seperti disebut pada Batik Kudus The Heritage karya Miranti Serad Ginanjar.

Sementara di Demak, batik diyakini muncul dan berkembang pada abad ke-15. Namun, keberadaan batik demak ikut surut dan hilang bersama runtuhnya kekuasaan Kerajaan Demak. Hingga kini, nasib batik demak masih tetap suram. (DWI AS SETIANINGSIH/WISNU DEWABRATA)

Artikel Lainnya