KOMPAS/AGUS SUSANTO

Aktivitas proses membatik motif gajah oling di sanggar batik Seblang di Mojopanggung, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (22/6).

Batik Banyuwangi

Sejarah: Gajah Oling dan Blambangan * Selisik Batik

·sekitar 4 menit baca

Terdapat lebih dari 20 motif batik yang digandrungi warga Banyuwangi, di antaranya gajah oling, paras gempal, kangkung setingkes, dan blarak semplah. Di antara motif itu, gajah oling yang paling kuno dan tidak dijumpai di daerah lain. Gajah oling serupa sulur berbentuk S terbalik ini sarat muatan sakral dan sering kali kita jumpai namanya tertoreh pada truk-truk di jalan raya.

Banyak versi tentang asal penamaan gajah oling. Ike Ratnawati, penulis buku Batik Gajah Oling sekaligus pengajar Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Malang, menyebutkan, oling berasal dari nama sejenis belut dengan ukuran lebih besar ketimbang belut biasa, karena itu disebut gajah oling.

Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, menyebut oling sebagai kata lain kecil, sedangkan gajah bermakna besar. ”Gajah besar, oling kecil, bisa jadi satu. Itu falsafahnya. Gajah oling melambangkan satu kekuatan yang luar biasa, tapi dipandang kecil. Kecil, tapi menyimpan kekuatan luar biasa. Wujud ketahanan mental dan moral orang Banyuwangi,” kata Hasnan.

Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, menyebut, gajah oling merupakan unsur dari salah satu bentuk pokok dalam ragam hias Nusantara rekalsitran atau sulur gelung yang banyak dijumpai pada arca dan relief sakral di candi Hindu dan Buddha. Menurut Dwi, gajah tetap merujuk binatang gajah yang merupakan pralambang kesuburan, sedangkan oling adalah belalainya. Bentuk gajah oling mirip belalai gajah yang melengkung di bagian atas.

”Inti sulur gelung merupakan huruf S yang dirangkai dengan unsur tanaman lain menggambarkan rangkaian tahapan kehidupan yang berlangsung dalam waktu panjang. Sering kali sulur gelung disebut dengan rekalsitran atau lengkungan yang saling berangkai serupa tanaman menjalar. Unsur ragam hias tua. Sudah hadir di Jawa setidaknya abad ketujuh dan beberapa di antaranya masih ada di ragam hias kayu dan juga tekstil sampai sekarang,” ujar Dwi.

Selain pada tekstil batik, motif sulur gelung ini antara lain masih bisa dijumpai di ukiran pintu rumah Bupati Banyuwangi Kanjeng Raden Tumenggung Pringgokusumo dari era tahun 1831 di Kampung Batik Temenggungan. ”Budaya lokalnya kuat karena isolasi alamiahnya kuat. Tidak semua daerah punya karakter dan tradisi kuat seperti Banyuwangi,” ujar Dwi.

Batik sakral

Bentuk huruf S, menurut Dwi, menunjukkan bahwa batik gajah oling merupakan bagian dari batik sakral. Sakral di sini juga bermakna penting dalam penampilan diri. Sebagai motif penting, gajah oling kini bisa dijumpai di setiap sudut Banyuwangi dalam ragam hias bangunan.

Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia Jakob Sumardjo menyatakan, huruf S adalah motif paling tua karena sudah ada pada zaman prasejarah, sebagai ragam hias pada benda perunggu bejana kerinci. ”Sangat tua dan ada di seluruh Nusantara. Bahkan, huruf S yang sakral ini ditemui di Papua di perisai mereka. Huruf S dan S terbalik ini intinya harmoni garis lurus dan lingkaran, simbol dwitunggal laki-laki dan perempuan,” katanya.

Selain huruf S, dalam visual ornamen pokok gajah oling selalu teridentifikasi 3 helai daun dilem, 3 helai bunga manggar, dan 1 bunga melati. Di atas ’plungkeran’ huruf S pada gajah oling biasanya terdapat bulatan berjumlah tujuh. Angka 7, lalu angka 5 pada jumlah kelopak bunga melati, serta angka 3 pada jumlah bunga manggar juga tergolong angka sakral.

Belum lagi, warna putih yang terkait filosofi kehadiran sang pencipta, warna hitam terkait tanah, dan merah melambangkan manusia. Dalam pembuatannya, pebatik dulunya harus berpuasa dan memilih hari baik. ”Tidak asal membuat. Ukuran juga ada aturan. Ada ritual sebelum atau sesudahnya,” kata Ike.

Ketahanan mental

Meskipun asal-usul batik gajah oling belum bisa dipastikan, motif gajah oling diperkirakan telah ada sejak masa Kerajaan Blambangan. Hasnan memperkirakan batik gajah oling sudah dipakai warga Kerajaan Blambangan ketika perang puputan bayu melawan Belanda pada 1771-1773.

Gajah oling sebagai kekuatan yang tak diperhitungkan, menurut Hasnan, menjadi bagian dari strategi perang, dipakai buat mengalihkan perhatian lawan. Untuk mengalihkan perhatian lawan pula sehingga nama gajah oling sempat banyak ditempelkan di truk-truk.

”Sekarang enggak ada lawan, sekarang yang ada kriminal. Sopir pakai gajah oling. Barangkali ada peristiwa di jalan. Dulu digunakan supaya musuh enggak merhatiin, sekarang supaya enggak diperhatikan di jalan raya,” kata Hasnan.

Dalam buku Perebutan Hegemoni Blambangan: Ujung Timur Jawa 1763-1813, pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menyebutkan, Blambangan sebagai kerajaan Hindu yang sezaman dengan Majapahit dan tetap eksis ketika Majapahit runtuh pada abad ke-15. Wilayah Blambangan terbentang dari Situbondo, Lumajang, Banyuwangi, hingga Bali. Blambangan adalah kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang bahkan bertahan sampai abad ke-18 dan memberi perlawanan habis-habisan terhadap VOC.

”Motif batik hadir jelas pada masa Kerajaan Singasari dan Majapahit. Bukan tidak mungkin, di Banyuwangi yang merupakan kekuasan Kerajaan Blambangan, motif batik sudah hadir setidaknya sejak masa Majapahit. Sumber data artefak faktual Banyuwangi sangat kurang. Karena ada dua gunung api aktif: Ijen dan Raung. Tinggalan masa lalu bukan tidak mungkin terpendam material vulkanik. Ini problema untuk menelisik akar batik banyuwangi,” kata Dwi.

Banyuwangi di utara dan barat dibatasi hutan dan gunung, sedangkan di selatan dan timur dibatasi Samudra Indonesia dan Selat Bali. Sebelum dibuka jalan darat ke Panarukan dan jalan kereta api ke barat, daerah ini cukup lama tersekat dari daerah lain. Data terjauh yang bisa didapati dari motif hias batik banyuwangi adalah data pada era Temenggungan Banyuwangi. Hingga kini pun, produk batik masih dibuat di Kampung Temenggungan dengan gajah oling tetap menjadi primadona. (MAWAR KUSUMA)

Artikel Lainnya