Batik Lasem, Demak, dan Kudus merupakan produk budaya yang memiliki sejarah panjang. Tak hanya penting sebagai bentuk akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa, batik tulis tiga daerah tersebut juga mampu membangkitkan ekonomi lokal.
Sejarah batik Lasem, Demak, dan Kudus telah dimulai sejak abad ke-14 hingga ke-17. Menurut Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia di Rembang Edi Winarno, keberadaan batik lasem sudah ada sejak tahun 1354 Masehi saat Bhre Lasem alias Indudewi menjadi ratu di Lasem.
Sekitar abad ke-15, batik lasem mendapat pengaruh dari kebudayaan Tiongkok. Pengaruh ini terlihat pada motif batik yang dihasilkan. Dari sisi bisnis, pengaruh Tiongkok cukup kuat seiring makin banyaknya pengusaha batik dari kalangan etnis Tionghoa yang membuka usaha di Lasem.
Sigit Witjaksono (87), sesepuh pengusaha batik dan tokoh Tionghoa masyarakat Lasem, mengemukakan, tujuan utama bangsa Tiongkok ke tanah Jawa adalah mencari penghidupan. Dia mengatakan, ”Apabila Tiongkok dan Indonesia bersahabat baik, negara menjadi makmur dan rakyat sentosa.” Pandangan ini bisa jadi merupakan mesin pendorong akulturasi dua etnis dan budaya yang berbeda.
Pengaruh Tiongkok juga mewarnai perkembangan batik kudus dan batik demak, selain pengaruh Arab dan Islam khususnya. Namun, perkembangan batik kudus dan batik demak mengalami dinamika sangat berbeda dengan batik lasem.
Pasang surut
Peneliti batik sekaligus penulis buku Eksplorasi Sejarah Batik Lasem, William Kwan, mengisahkan pasang surut usaha batik lasem. Industri batik lasem pernah mengalami masa kejayaan pada periode akhir abad ke-19. Pada masa itu, industri batik lasem termasuk salah satu dari enam besar industri batik yang ada di Hindia Belanda, yaitu batik Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, Cirebon, dan Lasem sendiri.
Jangkauan pemasaran batik lasem saat itu tidak hanya di Jawa, tetapi juga semenanjung Sumatera, Malaka, Sulawesi, Asia Timur, hingga Suriname. Industri batik menjadi penopang ekonomi utama hampir seluruh rumah tangga di Lasem dan sekitarnya.
Namun, masa surut mulai terjadi pada akhir 1970-an. Munculnya tekstil bermotif batik di Lasem berpengaruh signifikan terhadap pemasaran batik tulis. Kondisi itu diperparah oleh krisis ekonomi pada November 1978 dan Juni 1983. Harga bahan baku yang naik berlipat turut memengaruhi pengusaha batik dalam proses produksinya. Dampaknya, banyak usaha batik gulung tikar. Periode keterpurukan berikutnya terjadi pada masa reformasi 1998 yang ditandai dengan maraknya isu SARA.
Memasuki pertengahan tahun 2004, industri batik secara perlahan mulai bangkit kembali, yang ditandai dengan munculnya beragam pameran batik di Jakarta dan sejumlah kota lain. Sejumlah pengusaha lama mencoba membuka lapaknya yang sudah lama digulung. Geliat positif ini ditangkap Pemerintah Kabupaten Rembang untuk membantu para pengusaha batik mengembangkan bisnisnya.
Bantuan dari Pemkab Rembang di antaranya penataan kelembagaan dengan membentuk kluster dan koperasi batik lasem, mengikutsertakan pengusaha batik dalam ajang pameran sebagai sarana promosi produk, juga memberikan bantuan peralatan untuk membatik, permodalan, dan pelatihan teknis.
Bangkit
Usaha pemerintah setempat membuahkan hasil. Secara bertahap pemasaran batik kembali pulih pada tahun 2006. Penghasilan atau omzet bahkan melampaui hasil yang diperoleh pada masa 1990. Jumlah pengusaha batik lasem meningkat dari 18 orang pada Juni 2004 menjadi 30 orang pada Desember 2009.
Hasil studi Institut Pluralisme Indonesia menunjukkan, tingkat pengangguran pembatik berhasil diatasi. Hingga akhir 2009, semua tenaga kerja pembatik telah diserap menjadi pekerja penuh ataupun pekerja lepas oleh para pengusaha batik lasem.
Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kabupaten Rembang menunjukkan tren positif perkembangan usaha batik tulis di Lasem. Jika pada tahun 2010 jumlah unit usaha batik tulis hanya sekitar 34 unit usaha, lima tahun kemudian menjadi 82 unit usaha. Geliat batik tulis lasem ini menjadi nilai tambah baru. Di satu sisi meningkatkan nilai atau pamor batik tulis di tengah gempuran batik cap dan tekstil bermotif batik pabrikan, di sisi lain mampu menyerap ribuan tenaga kerja dari wilayah pedesaan.
Pengusaha batik Sumber Rejeki, Sri Winarti (40), adalah contoh sukses pengusaha batik yang dibina Pemkab Rembang. Sri Winarti memiliki 60 mitra binaan yang semula warga biasa di wilayah Desa Babagan, Kecamatan Lasem, tetapi kini sebagian besar telah menjadi pengusaha batik tulis. Winarti melatih teknik membatik, mewarnai, hingga strategi pemasaran.
Pesona batik kudus mulai surut menjelang akhir abad ke-19. Rokok kretek yang mulai mendominasi Kudus telah memikat hati banyak pengusaha batik. Alhasil, banyak usaha batik tulis tutup dan tak ada regenerasi pembatik. Hingga periode 1980-an, kaum muda di Kabupaten Kudus lebih memilih bekerja di pabrik daripada belajar membatik.
Yuli Astuti (35) dan Ummu Asiyati (53) adalah dua perempuan yang membangkitkan kembali batik kudus. Keduanya sempat belajar tentang batik kudus dari pelaku lama, yaitu Niamah, yang kini sudah meninggal. Tergugah mengangkat kembali batik kudus yang telah lama hilang, Yuli dan Ummu belajar membatik di Solo dan Pekalongan.
Tidak mudah memulai usaha batik yang telah mati suri. Yuli dan Ummu harus melatih lebih dulu para pembatik karena saat itu tidak ada orang Kudus yang dapat membatik. ”Saya telah beberapa kali memberi pelatihan hingga 100 orang, tetapi kini yang menjadi pembatik saya 20 orang,” kata Yuli. Di awal produksinya Yuli hanya mampu membuat 10 lembar batik tulis per bulan. Kini ia mampu memproduksi 250 lembar batik cap dan 100 lembar batik tulis tiap bulan.
Upaya Yuli dan Ummu menghidupkan batik kudus mulai berbuah manis. Pada Fashion Gallery Pekan Mode New York 2016, perancang Denny Wirawan mengangkat batik kudus sebagai tema koleksinya yang berjudul ”Balijava Batik Kudus”.
Di Demak, industri batik lebih banyak dihidupi oleh usaha batik cap. Pemkab Demak menjadi penopang utama kemunculan usaha batik itu. Di samping memberi dukungan pelatihan, permodalan, dan alat kerja, Pemkab juga memesan seragam bagi para aparatur sipil negara.
Salah satunya adalah usaha batik Syarif Alhamidy di Desa Buko, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak. Selain modal awal dan alat kerja, Pemkab juga memesan 150 seragam yang juga diikuti pesanan-pesanan berikutnya, bahkan pernah hingga 1.000 potong. ”Hasilnya lumayan sehingga saya bisa membangun rumah,” cerita Syarif sambil menunjuk ke rumah bata tanpa diplester yang sekarang dihuninya.
Hanya sedikit pemilik usaha batik di Demak yang memproduksi batik tulis. Sri Setiyani (56) meninggalkan profesinya sebagai kontraktor untuk menggeluti batik dan mengangkat motif lokal, seperti pintu bledek dan suket waladan. Ia mengambil pembatik dari Solo dan Pekalongan untuk menorehkan malam di kain. Batik tulis Sri cukup dikenal di Demak, biasa dipakai oleh pejabat dinas atau kepala desa di Kabupaten Demak.
Semangat membatik di Demak mulai merasuk ke desa-desa. Kelompok PKK Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, belajar membatik setahun terakhir. Menurut Kadarwati (45), ketua kelompok membatik, para ibu muda belajar membatik agar tidak perlu bekerja di pabrik lagi. Membatik bisa dikerjakan di rumah sambil mengurus anak. (TOPAN YUNIARTO/UMI KULSUM/LITBANG KOMPAS)
Membatik untuk Regenerasi * Selisik Batik
Sri Winarti (40), pengusaha batik Sumber Rejeki, telah membatik sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Di masa lalu, ibu dan neneknya selalu memberikan selembar kain untuk dibatik tiap kali Winarti pulang dari sekolah. Ibunda Winarti dulu adalah pembatik yang bekerja pada usaha batik milik seorang Tionghoa di Lasem. Bakat membatik yang terus-menerus diasah membuat Winarti makin mencintai batik.
Saat dewasa pun ia memilih menjadi pembatik dan sempat bekerja beberapa tahun di usaha batik Purnomo di Lasem. Dalam perkembangannya, setelah mengikuti pelatihan manajemen dan pengelolaan usaha batik, Winarti mencoba membuka usaha batik tulis sendiri.
Setahap demi setahap, dengan dukungan Dinas Pariwisata dan Dinas Perindustrian Kabupaten Rembang serta bantuan permodalan bank pemerintah, usaha Winarti di Desa Babagan, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, terus berkembang dan kini memiliki tidak kurang dari 100 tenaga kerja, termasuk sejumlah tenaga pembatik yang mengerjakan di rumah masing-masing.
Belajar dari masa lalunya, Winarti kini juga mengajak anak-anak Desa Babagan untuk belajar membatik. Ia mendorong para pembatik membawa serta anak-anak mereka saat bekerja di Sumber Rejeki. Selain itu, ia juga meminta para pembatiknya untuk menularkan keterampilan membatik di rumah masing-masing. Lambat laun bakat orangtua akan menular kepada anak-anaknya. Pola semacam ini akan mengikis kesan pekerjaan membatik sebagai pekerjaan kuno dan sulit dan lambat laun akan menumbuhkan kecintaan anak-anak pada seni batik tulis yang hasil produknya berkelas.
Pembatik muda
Regenerasi dilakukan oleh banyak pemilik usaha batik ataupun para pembatiknya sendiri. Di samping itu, secara formal juga dilakukan upaya melahirkan pembatik-pembatik muda dengan memasukkan pelajaran membatik dalam muatan lokal di sekolah dasar.
William Kwan Hwei Liong dari Institut Pluralisme Indonesia menuturkan, upaya melahirkan generasi pembatik muda dilakukan sejak 2008 di sejumlah sekolah dasar di Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang, seperti SD Jeruk, SD Doropayung I, SD Tuyuhan, dan SD Warugunung. Sampai Desember 2009 terdapat 35 SD dan madrasah ibtidaiyah yang mandiri menyelenggarakan pelajaran muatan lokal membatik dan jumlahnya terus bertambah.
Selain itu, ada sanggar kreativitas anak yang didirikan di beberapa desa untuk memfasilitasi pengembangan minat anak di bidang batik tulis serta kerajinan tangan berbasis bahan alami dan daur ulang. Tidak sedikit anak-anak dan remaja yang belajar di sanggar batik anak berminat menjadi pengusaha batik di masa depan. Mereka juga fasih menceritakan secara detail proses pembuatan batik.
Cara lain mengenalkan batik kepada anak-anak di Lasem adalah dengan memberikan canting dan selembar kain kecil untuk menyempurnakan motif yang belum selesai. Hasil dari goresan canting pada selembar kain kecil itu selanjutnya digunakan untuk mempercantik suatu kemasan, seperti kardus.
Maka, saat ini terdapat pemandangan umum anak-anak menorehkan canting di kain-kain batik di rumah, sekolah, ataupun bengkel kerja usaha batik di Kecamatan Pancur dan Lasem. Membatik menjadi bagian dari keseharian warga dua kecamatan itu.
Seperti diketahui, mayoritas pekerja batik tulis di Lasem merupakan perempuan buruh tani atau peternak yang tinggal di desa-desa. Tidak sedikit pembatik yang telah berusia lanjut dan tetap setia pada pekerjaannya sebagai pembatik. Meskipun digaji secara harian Rp 20.000-Rp30.000, mereka tidak mengeluh. Alih generasi pembatik di Rembang menjadi kunci kelestarian seni batik tulis Lasem. (TOPAN YUNIARTO/LITBANG KOMPAS)