KOMPAS/RIZA FATHONI

Abdi dalem Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Batik Yogyakarta-Solo

Selisik Batik: Batik Larangan Penguasa Mataram

·sekitar 5 menit baca

”Abdi Ningsun kang kasebut ing dhuwur ora susah ngenteni dhawuh ingsun, wenang anglarangi wong-wong mau lumebu ing Kraton, utawa andhawuhi metu saka ing sajrone Kraton….” (Abdiku yang tersebut di atas, tidak perlu menunggu perintahku untuk menegur orang-orang yang mau masuk ke keraton atau meminta mereka keluar dari keraton….)

Diambil dari Rijksblad van Djokjakarta atau Undang-Undang Keraton Yogyakarta Tahun 1927 yang memuat aturan pemakaian busana, penggalan kalimat di atas merupakan titah dari Sultan Hamengku Buwono VIII untuk ”mengusir” siapa saja yang salah berbusana di Keraton Yogyakarta. Angka 19 pada Rijksblad 1927 jelas-jelas memuat judul: larangan panganggo (larangan berbusana).

Ditulis dalam bahasa Belanda dan Jawa, undang-undang yang diberi cap asmo dalem dengan persetujuan Tuan Residen Ngayogyakarta Y.e. Yasper dan diundangkan oleh Papatih Dalem Pangeran Haryo Hadipati Danurejo ini menyebut delapan motif batik larangan: parang rusak barong, parang rusak gendrek, parang rusak klithik, semen gedhe sawat grudha, semen gedhe sawat lor, udan riris, rujak senthe, dan parang-parangan yang bukan parang rusak.

Aturan itu tetap dikukuhi hingga kini. Pada perayaan ulang tahun Sultan Hamengku Buwono X yang baru digelar, tamu diminta tidak memakai batik motif parang. ”Kalau pakem untuk batik keraton, keluarga besar keraton sebagian besar tahu. Hanya masyarakat perlu juga diberi tahu supaya kalau pakai batik, misalnya, motif parang tidak boleh, kalau memakai parang yang sekian sentimeter, misalnya, pada acara tertentu,” kata Permaisuri Raja Yogyakarta GKR Hemas, di Keraton Yogyakarta, Minggu (28/8).

Hemas memperoleh pengetahuan itu langsung dari ayah mertuanya, Sultan HB IX. ”Kalau kita sendiri tidak mau menjaga tradisi, tentu akan habis tradisi yang ada di Keraton Yogyakarta atau di keraton mana pun,” ujar Hemas.

Dalam Rijksblad 1927, deskripsi motif larangan di Keraton Yogyakarta dicantumkan detail. Ukuran batik parang rusak barong harus lebih besar dari parang rusak gendrek, sedangkan parang rusak gendrek memiliki parang yang panjangnya tak boleh lebih dari 4 sentimeter diukur dari tengah hiasan mlinjon. Undang-undang itu juga mengatur motif batik tertentu yang hanya boleh dipakai kerabat hingga pembesar tertentu.

Raja dan putra mahkota diperbolehkan memakai parang rusak barong, sedangkan permaisuri memakai parang rusak gendrek. ”Khusus saya, boleh pakai motif parang, tetapi dengan ukuran tertentu, tidak boleh sama dengan Ngarsa Dalem (Sultan HB X). Kecuali ukuran yang kecil, saya sama dengan Ngarsa Dalem tidak masalah. Kami harus tetap melestarikan larangan itu,” tutur Hemas.

Pergantian takhta

Aturan terkait dengan batik larangan juga diberlakukan di Keraton Surakarta. Dua kerajaan ini memang berakar pada satu nenek moyang, yaitu Kerajaan Mataram. Naskah nomor 27 undang-undang yang berisi larangan mengenakan pakaian dan perlengkapan pakaian tertentu di Keraton Surakarta dikeluarkan oleh Susuhunan Paku Buwono III (1749-1788). Kain jarit yang termasuk larangan PB III yang merupakan raja pertama Keraton Surakarta adalah batik sawat, batik parang rusak, batik sumangkiri yang bertelacap modang, bangun tulak, lenga teleng, daregem, dan tumpal.

”Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama memerintahkan kepada kalian semua rakyatku di Surakarta Hadiningrat, baik besar maupun kecil, di luar maupun di dalam kerajaan, di kota maupun di desa. Isi surat perintah undang-undang yang aku perintahkan kepada kalian semua rakyatku jangan ada yang berani memakai pakaian yang termasuk dalam laranganku,” demikian cuplikan isi undang-undang yang diterjemahkan dari bahasa Jawa dan bahasa Belanda ke bahasa Indonesia oleh sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Margana.

Uniknya, motif kain batik larangan ini bisa berubah seiring dengan pergantian takhta. Setelah menduduki kursi raja, PB IV (1788-1820) juga membuat undang-undang yang mirip dengan yang dibuat PB III. Undang-undang terkait larangan pemakaian busana tertentu yang dibuat PB IV diberi nomor naskah 7. Kain batik yang termasuk larangan di Keraton Surakarta kemudian berubah menjadi batik sawat, parang rusak, cemukiran yang memakai talacap modang, udan riris, dan tumpal.

Serupa dengan Keraton Yogyakarta, aturan pelarangan busana dengan motif batik tertentu juga masih dikukuhi di Keraton Surakarta. Sama seperti Raja Yogyakarta, hanya raja yang boleh memakai parang barong di Keraton Surakarta.

”Kalau Sinuhun pakai parang barong, prameswari dalem pakai parang rusak, jadi lebih kecil tidak mungkin kembar persis walaupun namanya sama,” kata GKR Koes Moertyah Wandansari yang biasa disapa Gusti Mung, di Keraton Surakarta, Minggu (28/8).

Terkait dengan batik larangan dan aturan berbusana di keraton, Gusti Mung juga mempelajarinya secara lisan dari ayahandanya, PB XII. ”Keraton itu tempatnya aturan, aturan itu sebenarnya untuk pertanda. Tapi, kalau di luar keraton, mau pakai apa saja, ya, bebas,” ucap Gusti Mung.

Penegasan hierarki

Diberlakukan turun-temurun, abdi dalem di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta sudah hafal betul motif-motif terlarang. Mas Wedono Hardi Pawoko (72) yang sudah empat generasi menjadi abdi dalem di Keraton Yogyakarta sering kali menegur abdi dalem yang tidak paham aturan larangan batik keraton. ”Abdi dalem memadankan pakaian dengan pangeran, ya, enggak pantas,” kata Hardi.

Ketua Jurusan Sejarah UGM Sri Margana menyebutkan, inti undang-undang di Keraton Yogyakarta ataupun Keraton Surakarta adalah mempertegas hierarki. Di lingkungan keraton, struktur sosial sangat penting sehingga perbedaan kedudukan atau derajat harus ditunjukkan secara tegas. ”Kebudayaan Jawa cenderung membuat hierarki antara yang menguasai dan yang dikuasai. Jadi ingin menciptakan struktur sosial yang jelas di dalam kerajaan,” ujar Margana.

Keinginan mempertegas hierarki itu bisa dilacak hingga jauh ke belakang saat Kerajaan Mataram didirikan. ”Mataram itu sebenarnya dinasti yang didirikan petani yang hidup dalam lingkungan agraris. Setelah jadi bangsawan, pendiri dinasti ingin menegaskan kedudukannya secara struktural dengan berbagai cara, termasuk berpakaian,” katanya.

Hema Devare dalam buku Ganga to Mekong: A Cultural Voyage Trough Textiles menyebutkan, hierarki sosial mudah dilihat dari jenis busana yang dipakai seseorang di Asia Tenggara. ”Legitimasi kekuasaan tergantung dari simbol-simbol kuno. Mereka membangun sistem yang kompleks antara penguasa dan yang dikuasai, terutama busana untuk ritual,” kata Devare.

Aturan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta itu kini tak lagi berlaku luas. Namun, mereka yang memahami filosofi batik dan mereka yang tinggal di dalam tembok keraton masih menggunakan aturan-aturan tersebut sebagai acuan saat memakai batik.

Artikel Lainnya