KOMPAS/RIZA FATHONI

Candi Prambanan di Klaten, Jawa Tengah.

Batik Yogyakarta-Solo

Sejarah: Kawung Kuno di Prambanan * Selisik Batik

·sekitar 4 menit baca

Batik telah dijumpai sejak zaman Majapahit, bahkan bisa lebih lama sebelumnya, yaitu masa kerajaan Mataram Kuno. Bukti kehadiran batik dari masa silam bisa disaksikan pada ilustrasi ragam hias batik yang terukir di arca para dewa sebagai hiasan busananya, seperti kawung, geringsing, dan ceplok yang bisa dijumpai di candi Hindu maupun Buddha, seperti di candi yang merupakan simbol kejayaan Mataram Kuno: Prambanan.

Candi Prambanan yang diresmikan pada 778 Saka (856 Masehi) memang menyimpan banyak arca yang memakai lembaran kain. Di candi utamanya, Candi Siwa, arca Ganesha sebagai anak Dewa Siwa tampak memakai selempang dengan hiasan bunga mirip kawung yang banyak dijumpai pada lembaran batik klasik. Arca Siwa Mahadewa sebagai arca utama memakai kain yang dihiasi motif bunga sedangkan arca Durga Mahisasuramardini, istri Siwa, memakai kain berhias bentuk geometris serupa rangkaian hati.

Tak hanya di arcanya, relief di tiga candi utama, Candi Siwa di tengah, Candi Brahma di selatan, dan Candi Wisnu di utara, juga berhiaskan banyak ragam hias yang sebagian di antaranya mengingatkan motif-motif di lembaran batik klasik. Dengan didampingi arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Gunadi Kasnowihardjo, kami menemukan beragam motif terkait batik di Candi Prambanan pada Rabu (24/8).

Ragam hias di relief candi tersebut diteliti ulang oleh para arkeolog di Balai Arkeologi Yogyakarta, seperti TM Rita Istari, Gunadi Kasnowihardjo, Sugeng Riyanto, Novida Abbas, dan Muhammad Chawari sejak 2011. Rita yang juga menulis buku Ragam Hias Candi-candi di Jawa: Motif dan Maknanya menyebut hadirnya ragam hias geometris, seperti belah ketupat, ragam hias tumbuhan, seperti sulur gelung berbentuk melingkar dan saling terhubung, serta ragam hias binatang.

Tim dari Balai Arkeologi ini kemudian bekerja sama dengan pembatik, seperti di Bayat, Klaten, Jawa Tengah, untuk memproduksi batik candi yang terinspirasi dari ragam hias yang ditemukan di beragam candi, termasuk Candi Prambanan. Pembatik di Desa Jarum, Bayat, Klaten, Salimi, yang tergabung dalam kelompok batik Putri Kawung dengan mudah bisa mengerjakan pesanan aneka batik motif candi dari Balai Arkeologi.

Sebagian dari ragam hias, seperti Sangkha bersayap, misalnya, memang tampak asing karena tergolong motif kuno dan satu-satunya hanya bisa ditemukan di Candi Prambanan. Namun, motif isian lainnya, seperti sulur gelung atau burung hingga kawung sudah cukup akrab dibuat oleh pembatik. ”Motif batik pada kain setidaknya pada waktu mataram kuno itu sudah ada, sekitar abad ke-8, buktinya yang jelas terlihat itu salah satunya pada arca Ganesha, mengenakan kain batik motifnya itu bunga-bunga, seperti motif kawung,” ujar Sugeng.

Denmas Kawung

Motif kawung seperti yang dijumpai pada selempang arca Ganesha hingga kini sangat mudah dijumpai diproduksi di sejumlah sentra pembatikan di Yogyakarta maupun Surakarta. Pembatik di dalam tembok Keraton Yogyakarta, pembatik di dekat Makam Raja-raja di Giriloyo, Imogiri, hingga pembatik di Pabrik Danar Hadi Surakarta, terbiasa dengan motif kawung ini.

Delapan orang pembatik yang setiap hari membatik di Bangsal Tamanan sudah hafal proses membuat batik-batik klasik, termasuk kawung. ”Batik yang dipakai Sultan ada yang buatan dari sini. Batik untuk Sultan, paling enggak harus dibuat satu tahun sebelumnya, harus tidak tergesa-gesa. Gusti Murdokusumo tahu betul kebiasaan dan pakem di dalam keraton,” ujar Kasiyem, salah satu pembatik Keraton Yogyakarta.

GBRAy Murdokusumo (70), Putri Sultan Hamengku Buwono IX, yang memang menaungi para pembatik di Bangsal Tamanan itu menceritakan kelekatan kisah motif batik kawung dengan raja di Keraton Yogyakarta. Sebelum naik takhta, Sultan Hamengku Buwono VII hanyalah cicit biasa dari Raja Yogyakarta. ”Tidak tahu bahwa akan jadi raja. Setiap hari, HB VII memakai kawung. Sampai dijuluki Denmas Kawung, karena tidak pernah ganti kainnya. Kawung sebelumnya cuma dipakai pembantu, enggak tahu kalau mau jadi raja. Setelah naik takhta, lalu pakai kawung yang lebih besar, Raja tidak boleh pakai kawung kecil,” kata Murdokusumo.

Beberapa lembar batik motif kawung ini juga bisa dijumpai di Museum Batik Keraton Yogyakarta. Sultan HB IX, misalnya, memiliki lembaran batik dengan motif Kawung Trimino. Selain itu, di museum tersebut juga terdapat sejumlah batik yang pernah dipakai oleh para istri Sultan HB IX. Batik motif Kawung Pandansimo pernah dipakai KRAy Hastungkoro, batik motif Kawung Picis Sudoro juga pernah dipakai KRAy Ciptomurti

Selain kawung di arca Ganesha, sejumlah prasasti dari Abad ke-IX menyebut jenis-jenis kain yang diolah dengan teknik mirip batik. Salah satunya adalah Prasasti Balitung atau Mantyasih yang berangka tahun 748 Saka (827 Masehi). Selain memuat silsilah dan lokasi pusat Kerajaan Mataram Kuno, prasasti ini juga mengisahkan pesta di kerajaan. Setiap tamu kehormatan mendapat hadiah kain yang disebut bebet yang deskripsi kainnya mirip dengan batik.

Artefak kain dari masa Mataram Kuno yang sudah sangat rapuh juga ditemukan di Situs Liyangan, Temanggung, Jawa Tengah. ”Produk kain sudah disebutkan dalam prasasti, kain sudah menjadi bagian penting dalam prosesi upacara, sebagai hadiah untuk pendeta atau hadiah untuk yang melaksanakan upacara. Itu dari prasasti, tetapi wujudnya kita tidak tahu seperti apa, tetapi ada satu kain yang kita temukan dari abad ke-IX di Liyangan,” kata Sugeng.

Melintasi masa yang panjang, motif-motif batik tak hanya indah, tetapi juga memberi pelajaran sejarah tentang kejayaan nusantara di masa lampau. (HARIS FIRDAUS & MAWAR KUSUMA)

 

Artikel Lainnya