Lembaran batik menyimpan kisah tentang manusia, lingkungan, tradisi, juga sejarah sebuah komoditas yang pernah berjaya ratusan tahun lalu. Ibarat proses lorod yang meluruhkan malam perintang warna dan mengungkap motif di baliknya, Selisik Batik Kompas ingin pula menyingkap cerita di balik batik.
Di Pasar Pamekasan, Madura, Jawa Timur, kain batik beragam warna bertumpuk tinggi. Sebagian dibiarkan bergantungan menghias pasar yang sesak. Ratusan perajin menghuni 52 kios dan lebih dari 270 los lesehan. Sesekali terdengar suara, ”Mencari batik seperti apa?” dari penjual.
Ya, ingin mencari batik seperti apa? Di pasar itu saja batik menggunung dengan beragam warna dan ragam hias, apalagi berbicara batik di Indonesia. Variasi batik (teknik membuat ragam hias dengan menera malam untuk merintang warna) tak lepas dari perjalanan panjang batik.
Penjelajah Eropa pada abad ke-16 mencatat keberadaan batik. Dalam Perjalanan dari Laut Merah ke Tiongkok (1512-1515), Suma Oriental, penjelajah asal Portugis, Tome Pires, saat mengunjungi Jawa mencatat barang yang dihasilkan, yakni emas, kapulaga, sayur, dan beras putih. ”Sebagai komoditas mereka menjual ke Malaka kain Jawa dalam jumlah tak terhingga,” tulis Pires.
Jejak batik diduga lebih tua lagi, yakni abad ke-13. Temuan arca di Candi Ngarimbi dekat Jombang, Jatim, menggambarkan Raden Wijaya (1294-1309), raja pertama Majapahit, memakai kain beragam hias kawung. Hasanudin, penulis buku Batik Pesisiran; Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias Batik, sekaligus pengajar kriya tekstil di Institut Teknologi Bandung (ITB) yakin, kain itu batik berdasarkan ketelitian menggambar garis dan titik. Garis lembut sejajar sebagai batas bentuk elips kawung mengingatkannya pada garis sejajar yang dihasilkan canting carat loro.
Batik dalam perkembangannya, tulis Hasanudin, menjadi kegiatan sambilan rakyat, mata dagangan, tradisi kalangan bangsawan dan keraton, usaha dagang sebagian orang Tionghoa dan Belanda Indo, serta seni.
Rekaman budaya
Terdapat jejak sosial, budaya, dan lingkungan pada lembaran batik. Batik Keraton, misalnya, terkait nilai budaya Jawa yang dalam lingkungan keraton sarat aturan dan strata. ”Batik larangan, seperti parang barong, hanya boleh dipakai raja,” ujar Tumbu Ramelan, kolektor dan pengurus Yayasan Batik Indonesia, dalam diskusi terbatas Jelajah Batik Nusantara Kompas, pertengahan Februari lalu.
Di kawasan pesisir, ciri kosmopolitan terlihat dalam ragam hias batik yang merefleksikan adukan budaya. Ada pengaruh Tionghoa dalam ragam hias burung hong, pengaruh Arab dengan kaligrafinya, dan pengaruh Belanda dengan ragam hias buket.
Pabrik di Belanda
Sebagai komoditas, batik tak lepas dari globalisasi perdagangan. Teruo Sekimoto dalam artikel ilmiahnya, ”Batik as a Commodity and a Cultural Object”, menuliskan, batik berkembang setelah impor kain murah abad ke-17 dan pembuatan cap pada 1840-an.
Saat itu, untuk meningkatkan produktivitas, pengusaha batik di Jawa mengimpor kain katun bermutu halus dari Tiongkok dan India melalui pedagang Belanda. Pengusaha batik bergairah mengembangkan ragam hias rumit. Batik pun diekspor ke Belanda dan mendapat perhatian. Bahkan, Belanda mendirikan pabrik batik di Leiden dengan pekerja terlatih didatangkan dari Jawa pada 1835, menyusul pabrik lain di Rotterdam, Harleem, dan Apeldoorn. Batik kian berkembang pula setelah pengusaha santri membuat cap sehingga produksi batik cepat berlipat (Hasanudin, 2001).
Setelah kemerdekaan, tahun 1950-an, batik mencapai masa kejayaan kedua. Gabungan Koperasi Batik Indonesia yang didirikan pengusaha pribumi di Solo mendapat hak eksklusif impor dan distribusi katun putih. Industri batik bukan pinggiran, melainkan menempati panggung utama ekonomi nasional Indonesia (Sekimoto, 2003).
Seiring zaman, batik mengalami tantangan. Tumbu mengatakan, tahun 1980-an, perbatikan menurun, antara lain karena transmigrasi, berkembangnya industri tekstil, dan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Di Ciamis, Jawa Barat, dan Demak, Jawa Tengah, yang dulu sentra batik, misalnya, nyaris tak menyisakan pembatik.
Pengakuan dunia dengan penetapan batik sebagai warisan budaya nonbendawi oleh UNESCO pada Oktober 2009 diharapkan membangkitkan batik. Namun, kelanggengan batik berpulang kepada masyarakat pendukungnya dan kesadaran akan batik sebagai warisan budaya berharga.
Demi menggali kisah batik baik dari sisi sosial, budaya, maupun industri kreatif, Kompas mengunjungi penghasil batik, antara lain Madura, Batang, Pekalongan, Ciamis, Garut, Banyumas, Lasem, Demak, Kudus, Bengkulu, Jambi, Banyuwangi, Tuban, Yogyakarta, Solo, Jakarta, dan Papua. Dua pekan sekali, hari Minggu, laporan Selisik Batik akan hadir, dimulai dengan cerita batik Madura pada 29 Mei 2016. Mari menyelisik batik! (INE/WKM/EKI/DOE)