Batik madura identik dengan batik tanjungbumi di Bangkalan. Berbeda dengan batik dari kabupaten lain di Pulau Madura, batik tanjungbumi bisa dikenali dari keunikan motif. Warnanya pun khas batik pesisir: merah, hijau, dan biru mencolok dengan mempertahankan teknik kuno yang dikerjakan tidak terburu-buru, tetapi sangat kosmopolitan.
Menunggu suaminya, Hasip (55), melaut, Raudah (50) mengisi waktu dengan membatik. Biasanya, Hasip melaut selama beberapa pekan mengangkut sapi dari Pelabuhan Tanjung Biru ke beberapa pulau, seperti Kalimantan. Ketika perdagangan antarpulau mencapai puncak kejayaannya, Hasip bisa berbulan-bulan berlayar membawa kayu. ”Sambil menunggu suami melaut, enakan membatik, dapat uang. Juga jadi pengobat rindu,” kata Raudah.
Selama menanti suami melaut itu, perempuan Tanjungbumi berkreasi dengan canting di tangan. Semua pembatik di Tanjungbumi adalah perempuan yang umumnya memang istri pelaut. Dari kerinduan mereka kepada suami, tertoreh motif-motif klasik batik. Salah satu motif paling populer adalah tase’ malajhe. Tase’ berarti laut sehingga tase’ malajhe bisa diterjemahkan melaut. Pada motif tase’ malajhe, pembatik Tanjungbumi melukis kelok-kelok seumpama ombak kecil di laut tenang.
Lewat ombak halus pada tase’ malajhe, istri pelaut berharap tak ada ombak besar yang bakal membahayakan. Doa sekaligus kerinduan pada selembar batik tase’ malajhe ini berpadu dengan warna kuat dan tegas. Di antara ombak tase’ malajhe, istri pelaut juga menorehkan hiasan bunga dengan latar motif kuno gringsing yang juga dikenal dengan istilah ”sisik malajhe”.
Selain tase’ malajhe, motif batik tanjungbumi selalu kaya sentuhan laut, seperti pacar cina. Bunga pacar cina yang dulu biasa dijumpai di pantai sudah punah, tetapi motifnya abadi dalam batik. Motif lorjuk diadaptasi dari binatang laut lorjuk serupa kerang, sedangkan motif lemar menghadirkan gambar realis kapal. Kecintaan pada laut juga tampak dari rumah tradisional Madura yang menghadap ke laut sehingga bisa bebas memandang ke kapal-kapal yang pulang.
Kurt Stenross dalam buku Madurese Seafarers menyebut pentingnya peran perdagangan kayu dan ternak sebagai produk ekspor utama bagi eksistensi armada perahu tradisional di Pelabuhan Telaga Biru, Tanjungbumi. Masa keemasan perdagangan kayu dan ternak di Telaga Biru itu berakhir pada 2002 ketika perdagangan kayu dibatasi karena banyaknya kayu ilegal.
Kejayaan maritim masa lalu masih terlihat dari bekas gudang serta rumah megah dengan dinding tebal putih menjulang tinggi yang mulai memudar di Tanjungbumi, serupa kota tua pesisir kaya yang ditinggalkan. Pelaut Tanjungbumi termasuk pedagang perantara karena tak mempunyai sumber daya alam, kecuali garam, untuk diperdagangkan.
Teknik kuno
Hadir di pelabuhan tua, teknik kuno batik masih dijumpai di Tanjungbumi. Ketua Komunitas Batik Jawa Timur yang juga dosen di Universitas Petra Surabaya, Lintu Tulistyantoro, menyebut teknik permainan malam yang menghasilkan garis-garis warna halus sebagai teknik duri. Munculnya garis halus itu lebih karena permainan malam, bukan karena kehalusan canting.
Selain di Tanjungbumi, teknik kuno duri hanya dijumpai di Tuban dan Cirebon yang juga memiliki pelabuhan besar. ”Teknik duri ini warisan kuno. Sebab, dulu belum kenal teknologi canting. Lebih sulit, tetapi masih bertahan. Pembatik Tanjungbumi adalah nelayan sehingga motif yang muncul bervariasi karena persentuhan lebih banyak dengan dunia luar,” kata Lintu.
Berbeda dengan batik pedalaman yang pembatiknya didominasi petani, seperti Sumenep, Sampang, dan Pamekasan, pembatik Tanjungbumi lebih punya kemewahan waktu. Batik tak dijadikan sambilan di sela menanam padi atau tembakau, tetapi menjadi tumpuan utama. Sembari menanti kedatangan suami, mereka membatik tanpa terburu-buru. Batik mereka halus, rapi, dan ditangani profesional.
Pembatikan di Tanjungbumi juga sudah mengenal spesialisasi tahapan pekerjaan. Raudah berperan sebagai pembatik yang mencanting malam. Pola batikan dikerjakannya biasanya sudah ditetapkan juragan batik. Setidaknya ada tujuh tahapan dalam pembatikan, mulai dari pengetelan bahan putih, pembuatan sketsa rengreng, pencantingan, isen-isen, purih atau membuat latar, pewarnaan, hingga pelorodan.
Batik halus dikerjakan minimal enam bulan. Pembatik punya posisi tawar tinggi. Kadang kala, selembar batik pesanan juragan baru selesai selama setahun. ”Kadang, batik masih separuh jadi sudah dikembalikan kepada saya dan harus dibayar karena pembatiknya mau ke Malaysia. Pembatik bisa seenaknya. Kalau kita enggak mau terima, mau ke mana kita? Saya punya tangan-tangan khusus semua,” kata juragan batik, Wury (31).
Tak hanya melibatkan pembatik Tanjungbumi, roda industri batik tanjungbumi juga bergerak dan menjangkau pembatik dari kabupaten lain, terutama batik kasar dari Pamekasan. Batik kasar lantas diberi isen-isen atau isian untuk memperhalus motif kemudian diwarnai dan dijual sebagai batik tanjungbumi. ”Saya menaruh orang kepercayaan di Pamekasan, tiap minggu bawa 50-100 lembar. Industri batik tanjungbumi ini penopangnya lebih lebar lagi,” kata Wury, pemilik batik Zulfah.
Batik tanjungbumi semakin unik karena proses pewarnaannya yang sangat berani. Misnary, tukang warna batik, terbiasa mencampur warna kimia tanpa takaran. Seperti memasak, warna kimia dan alami diramu dengan mengandalkan rasa hingga memperoleh warna terkuat. Agar warna lebih meresap ke pori-pori kain, Misnary menggosok batik dengan sabut kelapa. Gosokan keras pada kain ini sering kali memberi tambahan motif retak pada dasar batikan. Akibatnya, tidak ada batik tanjungbumi yang bermotif dasar putih bersih.
Dulu, ketika belum mengenal pewarna kimia, batik tanjungbumi dikenal dengan proses pewarnaan uniknya melalui pencelupan warna indigo atau biru di dalam gentong. Kini, batik gentongan hanya digunakan untuk menyebut batik tanjungbumi dengan pewarnaannya yang tegas.
Tangan terbuka
Abdurachman dalam buku Sedjarah Madura mencatat bahwa orang Madura sudah menjadi pelaut sejak zaman kuno. Legenda tentang penduduk pertama Madura menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari laut yang diberi nama Raden Sagoro atau Pangeran Laut.
Dalam buku Manusia Madura karya Mien Ahmad Rifai, lintasan masa lampau Madura diperkirakan dimulai sekitar 4.000 tahun lalu. Leluhur Madura datang dengan mengarungi lautan dari arah utara. Sebagai suku bangsa yang terkenal sanggup hidup abbantal ombe’ asapo’ angin (berbantal ombak berselimut angin), menjadi nelayan merupakan mata pencarian hidup penting.
Buku Batik Pesisir Pusaka Indonesia karya Helen Ishwara, LR Supriyapto Yahya, dan Xenia Moeis menyebut bahwa para pelaut turut memasarkan batik saat mereka berdagang ke Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Lasem, dan sejumlah tempat lain.
Tinggal di pelabuhan antarpulau yang ramai sejak zaman Belanda, tangan pembatik Tanjungbumi lebih terbuka pada beragam pengaruh asing. Saat ini, motif batik peninggalan masa Hindu, seperti burung garuda tunggangan Wisnu, mulai ditinggalkan dan lebih banyak dipengaruhi Islam. Motif gajah sekereng, misalnya, didistorsi dengan kepala berupa dedaunan sehingga jadi dekoratif.
Pengaruh Belanda di batik tanjungbumi antara lain muncul pada motif kapal yang realis. Munculnya teratai, bangau, dan binatang berbisa lipan merupakan sentuhan Tionghoa. Lipan ditemukan di batik yang biasa digunakan untuk menggendong bayi sebagai simbol perlindungan
Selain mempertahankan motif klasik, aneka batik baru pun muncul dari kreativitas pembatik tanjungbumi. Pada 1980-an, ketika penyanyi dangdut Elvy Sukaesih tampil di Pelabuhan Tanjungbumi, pembatik segera terinspirasi motif serupa gunung-gunung yang dipakai Elvy, lalu lahirlah motif batik ”vielvi”. Kosmopolitan tetapi kuno, itulah batik madura dari Tanjungbumi yang memikat sejak pandangan pertama. (MAWAR KUSUMA/ARYO WISANGGENI G)