KOMPAS/NAWA TUNGGAL

Murti Marasih, Kepala stasiun KA Brumbung, Demak.

Susur Rel 2015

Sosok: Murti Marasih – Menjadi Kondektur hingga Kepala Stasiun

·sekitar 4 menit baca

Suatu ketika, tahun 2009, dua lokomotif yang menarik rangkaian kereta api dari arah berlawanan bertubrukan. Sebagai kondektur di salah satu lokomotif tersebut, Murti Marasih (40) pun terluka. Tidak kapok oleh kecelakaan tragis itu, dia terus menekuni profesinya, dan kini dipercaya sebagai Kepala Stasiun Kereta Api Brumbung di Kabupaten Demak, Jawa Tengah.

”Saat kecelakaan, saya tidak menghiraukan luka. Saya terus memeriksa rangkaian kereta dan mengumpulkan data penumpang yang terluka,” kata Murti, ketika ditemui di sela-sela rapat kerja di Stasiun Ambarawa, Jawa Tengah, pertengahan Maret lalu.

Masih segar ingatan Murti terkait peristiwa naas tersebut. Saat itu, dia menjadi kondektur kereta api penumpang Rajawali yang melaju dari Stasiun Pasar Turi, Surabaya, menuju Stasiun Tawang, Semarang. Ketika melintas di Stasiun Kapas, Bojonegoro, di rel yang sama kereta api barang Antaboga, yang melaju dari Stasiun Cirebon menuju Tanjung Perak, Surabaya, sedang langsir.

Stasiun Kapas bukan salah satu pemberhentian Rajawali sehingga kereta api tersebut terus melaju kencang. Saling beradu lokomotif tak terelakkan. Jebrak! Dua korban meninggal, puluhan penumpang lain terluka. Murti sendiri terluka. Salah satu kakinya memar akibat terbentur benda keras. Bagian bawah mata kanannya tergores, kacamatanya pun pecah.

”Sakit mulai terasa setelah selesai melaporkan tanggung jawab saya kepada petugas lain,” kata Murti mengenang. Peristiwa tragis itu terjadi pada 23 Januari 2009, sekitar pukul 15.30.

Alih-alih jera, begitu pulih, Murti kembali menjalankan profesinya. Memasuki tahun 2010 hingga tahun 2012, Murti beralih tugas menjadi salah satu anggota staf Kepala Stasiun Tawang.

Murti menapaki kariernya, hingga pada 5 Maret 2015 ditetapkan sebagai Kepala Stasiun Brumbung, Daerah Operasi IV Semarang. Kini, Murti termasuk salah satu dari sedikit perempuan yang menjadi kepala stasiun kereta api di Indonesia.

Iseng mendaftar

Perjalanan Murti masuk ke dunia kerja perkeretaapian diawali dengan iseng-iseng mendaftar jadi pegawai loket kereta api tahun 1997. Dia menganggap itu iseng karena waktu itu dia sangat pesimistis dapat diterima. Lazimnya, hanya ”orang dalam” yang diterima di kereta api. Saat itu masih zaman Orde Baru.

”Saya diterima, lalu ditempatkan menjadi salah satu staf Kepala Daerah Operasi IV Semarang. Saya menjalaninya selama 9,5 tahun, sampai bulan Juni 2006 diangkat menjadi pegawai tetap PT Kereta Api,” katanya menjelaskan.

Murti lantas mendaftar untuk ditempatkan sebagai pegawai operasional. Pada waktu itu belum lazim seorang perempuan bekerja di lingkungan operasional kereta api. Perempuan itu diterima dan ditempatkan di Stasiun Poncol, Semarang. Di sini, dia belajar apa saja, mulai dari bagian loket hingga peron. ”Saya dari pegawai internal menjadi pegawai organik kereta api,” katanya.

Pada 2007, Murti menjalani pendidikan fungsional perkeretaapian di Bandung selama tiga bulan. Setelah itu, ia praktik sebagai pemimpin perjalanan kereta api (PPKA) di Semarang. Istilah PPKA pada tahun 2012 berubah menjadi pengatur perjalanan kereta api.

Pada akhir 2007, dia pindah dari Stasiun Poncol ke Stasiun Tawang. Dari Stasiun Tawang ini, dia mulai menjalani tugas sebagai kondektur kereta api. Semula di Tawang, perempuan itu menjadi pengawas peron, kemudian bergilir setiap dua bulan menjadi kondektur kereta api.

”Pengalaman pertama menjadi kondektur pada tahun 2008. Ternyata harus menghadapi banyak penumpang yang membayar di atas kereta,” ujarnya.

Murti menolak pembayaran tiket di atas kereta. Kerap terjadi perdebatan. Para penumpang pintar berkelit. Kalau kepepet, mereka mengeluarkan ”senjata”: katanya, kondektur lain biasa menerima penumpang bayar di atas kereta.

Namun, Murti bersikeras menerapkan aturan. Penumpang di atas kereta api yang tidak membeli tiket dikenai kewajiban membayar dua kali lipat harga tiket terjauh, atau diturunkan dari kereta. ”Tidak mudah mengajarkan disiplin kepada setiap penumpang waktu itu,” kata Murti.

Setahun Murti menjalani tugas sebagai kondektur bergilir setiap dua bulan.

Mulai jadi tren

Menurut Murti, seorang perempuan bekerja di perusahaan kereta api sekarang mulai jadi tren. Di era kepemimpinan Ignasius Jonan (Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia periode 2009-2014), mulai banyak perempuan yang direkrut dan diterima bekerja di perusahaan tersebut.

”Pada waktu saya memilih untuk menjadi pegawai operasional pada tahun 2006, saat itu sama sekali belum menjadi tren bagi perempuan bekerja menjadi pegawai organik kereta api,” ujarnya.

Setahu Murti, saat ini sudah ada tiga perempuan yang menjadi kepala stasiun kereta api seperti dia. Dua orang lain adalah Kepala Stasiun Butuh Daerah Operasi V Purwokerto dan Kepala Stasiun Awipari di Cibeureum, Tasikmalaya, masuk Daerah Operasi II Bandung. Ada satu lagi perempuan yang saat ini menjadi Wakil Kepala Stasiun Besar Gambir, Jakarta. ”Setidaknya, seorang perempuan lebih teliti dan peduli soal kebersihan di stasiun,” kata Murti.

Di era kepemimpinan Jonan terjadi banyak perubahan besar untuk memajukan perkeretaapian. Saat ini, ada program modernisasi teknologi tiket secara on line atau penjualan tiket lewat internet. Ada juga sistem elektrifikasi kartu untuk tiket.

Sistem tiket elektronik mempermudah kerja kondektur kereta api sekarang ini. Sudah tidak dimungkinkan lagi kondektur menerima transaksi langsung dari penumpang di atas kereta api.

Sebagai operator, PT KAI menerapkan modernisasi perkeretaapian. Sebagai regulator, pemerintah semestinya mengimbangi sesuai dengan tanggung jawabnya. Kecelakaan tragis antara dua lokomotif kereta yang beradu, seperti dialami Murti, semestinya tidak terjadi apabila pemerintah membangun rel ganda pada jalur tersebut.

KOMPAS/NAWA TUNGGAL

Murti Marasih.

KOMPAS/NAWA TUNGGAL

Murti Marasih.

Artikel Lainnya