Susur Rel 2015

Susur Rel: Wajah Perkeretaapian Medan * Liputan Khusus Susur Rel 2015

·sekitar 6 menit baca

Dari Alun-alun Merdeka Kota Medan, bangunan megah mal Centre Point demikian menyedot perhatian. Stasiun Kereta Api Kota Medan berada di antara alun-alun dan mal tersebut. Di balik proses modernisasi kota itu, tersimpan penanda kemunduran penanganan aset perkeretaapian Indonesia.

”Saya menduga sejak awal, keberadaan mal ini suatu saat akan bermasalah besar. Itu karena kepemilikan lahannya masih diperebutkan antara pengusaha swasta dan PT Kereta Api Indonesia (KAI),” kata Dasril (51), seorang warga yang bekerja sebagai tukang becak motor saat ditemui Kompas, pada akhir April 2015. Waktu itu, dia sedang mangkal di depan pintu mal Centre Point, Medan, Sumatera Utara.

Dasril dengan becak motornya bisa meraup pendapatan bersih rata-rata sehari Rp 100.000 dari jasa mengangkut penumpang para pengunjung mal. Dari bincang-bincang ketika itu, tiba-tiba muncul dua rekan Dasril yang memprotesnya.

Terjadilah adu mulut di antara Dasril dengan kedua rekannya itu. Kedua rekannya membela pemilik mal, PT Arga Citra Kharisma (ACK), tetap sah sebagai pengembang dan pemilik lahan mal dan kawasan di sekitarnya, yang luasnya mencapai 73.352 meter persegi atau 7,3 hektar.

Dari seberang pintu mal Centre Point, terdapat pintu masuk ke Stasiun Kereta Api Medan di sisi timur. Pintu ini khusus dikelola PT Railink untuk melayani penumpang dengan jalur kereta api dari city railway station (CRS) di Stasiun Medan menuju Bandar Udara Kualanamu (disebut airport railway station/ARS). Di antara mal dan stasiun itu, terbentang Jalan Jawa yang cukup ramai.

PT Railink merupakan perusahaan patungan antara PT KAI dan PT Angkasa Pura II (perusahaan pengelola bandar udara). Perusahaan tersebut mengoperasikan kereta api untuk layanan jalur Bandara Kualanamu ke Stasiun Medan atau sebaliknya dengan jarak sekitar 27 kilometer dengan waktu tempuh selama 30 menit. Jalur ini mulai dibuka sejak 25 Juli 2013 lalu. Perjalanan paling pagi pada pukul 04.00 dari Stasiun Medan (CRS) dan terakhir pukul 22.00 dari Stasiun Bandara (ARS). Tarifnya Rp 100.000 sekali jalan.

Merujuk pada sejarah, Stasiun Medan sendiri diresmikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yaitu 25 Juli 1886. Pertama kali jalur itu menghubungkan Stasiun Medan dan Stasiun Labuhan sepanjang 16,7 kilometer.

Jalur tersebut menghubungkan pusat Kota Medan ke arah Pelabuhan Belawan. Jalur rel dilanjutkan dari Stasiun Labuhan hingga Stasiun Belawan yang diresmikan pada 16 Februari 1888.

Hingga kini, jalur Medan sampai Belawan hanya digunakan untuk angkutan kereta barang dengan komoditas utama minyak mentah sawit dan minyak bumi. Selain itu, diangkut pula pupuk dan getah karet atau lateks. Perjalanan keretanya berlangsung pada sore hingga pagi.

Deli Spoorweg

Pada mulanya, kereta api di Sumatera Utara dijalankan perusahaan swasta Belanda, Deli Spoorweg Maatschappij (DSM), pada 1886. Rintisan pertama dari Medan ke Pelabuhan Belawan untuk membawa hasil bumi, terutama tembakau yang paling terkenal dari Deli Serdang. Jenis tembakau ini dikenal yang terbaik di dunia untuk pembungkus cerutu.

Stasiun Labuhan dipilih sebagai lokasi awal pembangunan jalur kereta oleh DSM. Pada masanya, Labuhan lebih ramai dibandingkan dengan Medan. Di sinilah terdapat Pelabuhan Labuhan di Sungai Deli yang menjadi pusat perdagangan, transportasi, dan bongkar muat barang perkebunan, terutama jenis tembakau.

Beberapa stasiun yang dilintasi dari Stasiun Medan ke Pelabuhan Belawan, yaitu Glugur, Pulubrayan, Mabar, Titi Papan, Kampung Besar, Labuhan, Belawan, Pasar Belawan, dan berakhir di Pelabuhan Belawan.

”Pertama kalinya, jalur Medan-Belawan ini sangat ramai. Jalur kereta apinya tidak hanya satu seperti sekarang,” kata Ketua Komunitas Pencinta Kereta Api Divre1 Railfans Gregorius Widya.

Dari Stasiun Medan hingga Pulubrayan semula dibuat tiga jalur rel. Pada rute selanjutnya, dibuat dua jalur hingga mencapai stasiun di Pelabuhan Belawan.

Kemunduran

Jalur kereta api dari Stasiun Medan ke Pelabuhan Belawan kini justru menunjukkan kemunduran. Itu ditandai dengan adanya perselisihan atas lahan seluas 7,3 hektar di Kelurahan Gang Buntu di Kecamatan Medan Timur.

Ada sebuah plakat peringatan dinding bangunan di dekat pintu masuk Stasiun Medan menuju Bandara Kualanamu. Posisi plakat itu terlihat lurus dari arah pintu mal Centre Point sehingga mudah dilihat siapa saja yang keluar dari mal tersebut.

Plakat itu bertuliskan ”30.000 pegawai PT KAI (Persero) siap mempertahankan aset negara dari para mafia tanah & mafia peradilan”. Pilihan kata ”mafia tanah” dan ”mafia peradilan” menyiratkan lawan PT KAI dalam persengketaan itu tidak mudah ditundukkan.

Proses hukum sekarang masih berlangsung di tingkat Mahkamah Agung (MA). Menurut Kepala Divisi Regional 1 PT KAI Sumatera Utara dan Aceh Saridal, dari situs internet MA diketahui, peninjauan kembali oleh PT KAI dikabulkan pada 21 April 2015.

Kuasa hukum PT ACK Hakim Tua Harahap, Rabu (6/5), mengatakan, pihaknya sampai sekarang belum menerima secara resmi amar putusan MA tersebut. Berbagai pernyataan dari pihak lawan, yaitu PT KAI, terkait informasi putusan MA tersebut belum bisa ditanggapi.

”Apa saja yang disampaikan pihak PT KAI atas putusan MA tersebut, itu merupakan hak mereka,” katanya.

Salah satu pernyataan tegas Saridal kepada media di Medan, PT KAI kini siap meratakan bangunan di aset Gang Buntu tersebut. Bangunan itu sekarang berupa mal Centre Point dengan fasilitas hotel megah, ratusan rumah toko (ruko), perkantoran, dan rumah sakit.

Perkebunan Deli

Kemenangan PT KAI dalam menjaga asetnya di Medan sangat berarti bagi dunia perkeretaapian Indonesia, terlebih jalur kereta api di wilayah itu memiliki perjalanan panjang dan penting sejak zaman kolonial. Berdasarkan catatan sejarah, pembangunan jalur di kawasan itu dipicu kebutuhan untuk mengekspor hasil-hasil perkebunan di Deli.

Manajer perusahaan perkebunan Deli, JT Cremer, dikenal sebagai penganjur agar dibangun sarana transportasi kereta api di kawasan itu. Pembangunan didukung setelah pemberlakuan Undang-Undang Agraria Tahun 1870 yang menyatakan, penguasa kolonial Belanda dimungkinkan untuk menyewa tanah dalam waktu relatif lama.

Pada waktu itu, Belawan juga semakin berkembang sebagai pelabuhan menggantikan labuhan yang sering diterpa banjir dari Sungai Deli.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Belanda pada 23 Januari 1883, permohonan konsesi untuk pembangunan jaringan kereta api yang menghubungkan Belawan ke Medan, Deli, dan Timbang Langkat (Binjai) agar direalisasikan.

Izin konsesi pembangunan jalur kereta api semula kepada Deli Maatschappij, pada Juni 1883 dialihkan DSM. Jalur pertama dibangun dari Labuhan ke Medan dan diresmikan pada 25 Juli 1886.

Perkembangan jaringan kereta api di Sumatera Utara berlangsung cepat, di antaranya berkat dukungan donasi tokoh paling kaya di Medan waktu itu, Tjong A Fie. Pada 1888, dari Belawan melalui Medan sudah terhubungkan dengan jaringan kereta api ke Deli dan Binjai.

Memasuki tahun 1904, jaringan rel terhubung ke Lubuk Pakam dan Bangun Purba yang dapat digunakan pada 1904. Pada 1916, dibangun jaringan kereta api dari Medan ke Siantar. Daerah Siantar pada waktu itu dikenal dengan hasil perkebunan teh. Jaringan kereta api lain pada 1929 sampai 1937 dilanjutkan dari Kisaran sampai Rantau Prapat.

Jaringan kereta api dari wilayah Sumatera Utara ke Aceh juga direalisasikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Untuk jalur ke Palembang, pada 1909 pernah diusulkan pembangunan jalur rel kereta api dari Belawan sepanjang 1.400 kilometer.

Untuk mewujudkan itu, dibangunlah jaringan kereta api di Sumatera Barat yang menghubungkan lintas Taluk ke Teluk Bayur sepanjang 273 kilometer. Kemudian lintas Taluk ke Tembilahan sepanjang 212 kilometer. Lintas Taluk ke Pekanbaru dibuat sepanjang 155 kilometer. Saat itu Belawan ingin dijadikan sebagai pintu ekspor komoditas dari wilayah Sumatera.

Namun, kondisi jalur menuju Belawan itu sekarang ini justru sangat memprihatinkan. Ketika Kompas ikut menelusuri jalur itu dari Stasiun Medan, Sabtu (25/4), menggunakan kereta lori terlihat kondisi satu jalur rel yang sudah tua. Perjalanan pun tidak berlangsung mulus.

Area sempadan rel banyak yang berubah menjadi permukiman padat. Bahkan, ruas sekitar 500 meter dari Stasiun Belawan digunakan untuk pasar pagi.

Para pedagang menggelar sayur-mayur di atas rel. Ketika kereta lori itu melintas, barang dagangan itu dibiarkan saja terhampar di antara kedua rel. Beginilah salah satu wajah perkeretaapian kita di Medan hari ini.

Artikel Lainnya