Madura. Pulau dengan hamparan tambak garam. Pulau penghasil bumbu penggurih masakan itu mustahil diabaikan Belanda. Mana enak sup ayam tanpa garam. Garam dari Madura dipadu dengan rempah-rempah dari Maluku membuat masakan di kedai-kedai Belanda makin lezat berlipat-lipat.
Garam inilah alasan didirikannya Madoera Stoomtram Maatschappij (MT) atau Perusahaan Trem Uap Madura oleh para pengusaha di zaman pemerintahan Hindia Belanda. Jan de Bruin dalam bukunya, Het Indische spoor in Oorlogstijd (2003), menyebut pemerintah Hindia Belanda membangun dua kompleks untuk proses penyulingan garam. Setelah disuling, garam lantas dipres menjadi briket atau balok, lalu dipaket.
Kereta trem pun menjadi alat transportasi penting untuk mengangkut garam hingga pelabuhan, lalu dikapalkan ke Belanda. Pada 1932, pengangkutan garam mencapai puncaknya. Sebanyak 20.069 ton garam curah dan 39.202 ton garam briket dari Madura berhasil dikirim.
Selesai cepat
Tanggal 8 Desember 1898 adalah awal dimulainya sejarah perkeretaapian di Madura dengan dibangunnya jalur sepanjang 18 kilometer dari pelabuhan Kamal ke Bangkalan. Jalur-jalur lain dibangun secara bertahap, seperti Tambangan-Kalianget pada 17 Februari 1899 (20 km) dan Balega-Sampang pada 1 Juli 1901 (26 km). MT dengan cepat menyelesaikan pembangunan jalur dari ujung barat ke ujung timur Madura sepanjang 223 km pada 1903. Sumber lain, buku Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992 karangan Imam Subarkah, menyebut total jalur Madura adalah 224 km (selisih 1 kilometer).
Hanya dalam kurun waktu tiga tahun sejak 1898 hingga 1901, jalur utama Kamal-Kalianget sepanjang 176 km selesai dibangun. Sudah pasti MT mengerahkan tenaga kerja pribumi yang diupah rendah. Jalur-jalur percabangan juga dibangun dalam kurun waktu itu kecuali Kamal-Kwanyar yang merupakan jalur terakhir, dibuka pada 1903.
Dengan kecepatan terbatas, kereta pun tersendat-sendat merayap. Perjalanan dari Kamal di Bangkalan hingga Kalianget, Sumenep, ditempuh sehari. Trem berangkat pukul 07.25 dan tiba pukul 17.35 atau lebih dari 10 jam, seperti tercatat dalam jadwal perjalanan tahun 1929, menurut Jan de Bruin.
Menyembul jelas
Menyusuri jalur kereta di Madura, pekan lalu, Kompas bersama Aditya Dwi Laksana dan Gurnito Rakhmat Wijokangko dari komunitas Kereta Anak Bangsa disuguhi pengalaman sejarah yang nostalgik. Tidak berlebihan, rasanya. Kami menyusuri rel-rel kereta yang masih terlihat menyembul di permukaan jalan. Artinya, rel-rel kereta itu aman dari jarahan warga. Kami tergelak, tapi senang saat berceletuk, ”Wah, rel-rel kereta besi aman di Madura sini.”
Di Pelabuhan Kamal, rel kereta memang tidak terlihat lagi. Stasiun pun rata dengan tanah. Namun, tak jauh dari situ, bangunan bekas balai karya atau dipo lokomotif masih gagah berdiri. Satu ruangan dimanfaatkan untuk bermain futsal. Satu ruangan besar dibiarkan merana tak terurus. Seseorang sedang memasak mi instan di gudang lusuh itu ketika Kompas masuk.
Tanpa penerangan, bangunan bekas balai karya itu memang seram pada malam hari. Warga sekitar di belakang eks balai karya memilih berjalan memutar untuk menuju jalan utama. Tempat ini menarik untuk shooting film horor, sama seperti bangunan-bangunan kuno lain yang dibiarkan rusak dan kusam. Terkesan angker.
Rel kereta tampak jelas di Jalan Raya Kamal-Klobungan, Keleyan, Bangkalan. Di sepanjang Bangkalan-Sampang, rel-rel masih berada di tempatnya, sejajar dengan jalan raya. Di sejumlah ruas, rel bahkan masih utuh, lengkap dengan bantalannya.
Ditutup
Sayang, jalur kereta di Madura ditutup total pada 1984, seiring berkurangnya kebutuhan warga dan makin banyaknya warga membeli sepeda motor. Kereta tidak mampu menjawab tantangan. ”Dari Bangkalan ke Kamal saja tiga jam. Bangkalan-Pamekasan bisa seharian, berangkat pukul 12.00 sampai pukul 19.30. Kereta dari Kamal ke Bangkalan sering mogok,” kata Dikun (73), warga Kamal, mengenang pengalamannya dulu naik kereta.
Jalur Pamekasan-Kalianget (72 km) bahkan ditutup jauh hari, 1 Januari 1940, seiring berhentinya pembuatan garam di Pamekasan. Jalur Tanah Merah-Kwanyar (10 km) ditutup 1 Juni 1936 akibat krisis ekonomi.
Yang tersisa kini hanya memori, seperti kenangan Muhammad Sueb (46) ketika saban hari selama setahun naik kereta dari Sampang ke Torjun (9 km) untuk bersekolah. Sueb, waktu itu kelas III SD, selalu berangkat bareng adiknya yang dua tahun lebih muda. ”Karena sepeda hanya satu dan dinaiki ayah, jadi saya dan adik naik kereta,” katanya saat Kompas bertamu ke rumahnya di dekat eks Stasiun Torjun.
Sueb paling girang jika datang hajatan karapan sapi pada bulan Oktober. Orang-orang dari mana-mana naik kereta menuju Pamekasan untuk menonton acara tahunan itu. Hingga menjelang 1980-an, kereta masih menjadi angkutan andalan bagi warga karena murah. Istri Sueb, Kusniyati (47), turut larut dalam cerita. Ia mengisahkan ibunya yang dulu berjualan urap, ampyang, lepet, dan kacang di dalam kereta Sampang-Balega.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, tidak mengelak, kereta tak lagi mampu menjawab tantangan karena durasi tempuh yang lama. Namun, hal itu bukan tidak bisa diatasi. Ia yakin, jika jalur kereta dihidupkan lagi, itu akan menarik pulang warga Madura yang bermigrasi ke Surabaya secara masif. Pasti lapangan kerja makin terbuka.