Sekelompok ibu bergunjing di dekat bangunan bekas stasiun kereta api di Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dari mereka, terbias harapan untuk menghidupkan kembali jalur itu. Dulu, kawasan ini menjadi titik temu lintasan dari Aceh dan Medan yang memiliki sejarah menarik.
Kalau kereta api jalan lagi, kami bisa jualan. Kami bisa kerja,” kata Erna (52), warga RT 002 Lingkungan 9, Kelurahan Bukit Kubu, Kecamatan Besitang, pertengahan tahun 2015.
Bersama Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata di Semarang Djoko Setijowarno, Kompas menyusuri jalur rel kereta api di Sumatera Utara dan Aceh, termasuk jalur mati di Stasiun Besitang. ”Kereta api terakhir berjalan setiap hari Minggu tahun 2006. Ongkos dari Besitang ke Medan Rp 5.000,” kata Erna.
Stasiun Besitang tidak jauh dari Sungai Besitang, di dekat perbatasan antara Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Pada Desember 2006, menurut Erna, sungai itu meluap. Banjir bandang meluluhlantakkan permukiman, termasuk stasiun.
Buku ”Sejarah Kereta Api Indonesia yang ditulis Yati Nurhayati (CV Rizki Mandiri, 2014) menyebutkan, jalur kereta api lintasan Aceh hingga Besitang dihentikan tahun 1982. Kereta api tidak lagi mampu bersaing dengan moda transportasi bus dan kendaraan lain.
Keinginan menghidupkan kembali lintasan Aceh kemudian mencuat lagi. Gubernur Aceh mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Perkeretaapian Aceh. Besitang menjadi penting sebagai titik temu lintasan Aceh-Medan.
Beda rel
Stasiun Besitang merupakan stasiun pulau yang diapit jalur-jalur rel kereta api. Namun, lebar rel yang mengapitnya berbeda. Dari barat, jalur rel Aceh memiliki lebar 750 milimeter. Ini mula-mula dimaksudkan untuk mobilisasi pasukan Hindia Belanda melawan para pejuang Aceh. Dari timur atau Medan, lebar rel 1.067 milimeter untuk pengangkutan hasil perkebunan di Sumatera Utara.
”Di antara pepohonan dan ilalang itu semestinya ada rel kereta api dari Aceh. Sekarang tertimbun tanah,” kata Djoko Setijowarno.
Dari Besitang, terdapat cabang ke Pangkalan Susu sepanjang 9,5 kilometer (km). Ini jalur unik karena memiliki tiga rel untuk dilintasi kereta api dengan lebar 750 milimeter yang berasal dari Aceh dan lebar kereta api 1.067 milimeter dari Medan.
Jalur serupa dengan tiga batang rel ini juga pernah dibangun untuk menghubungkan Yogyakarta-Solo. Tujuannya sama, yaitu memfasilitasi dua kereta api dengan lebar berbeda.
Bekas Stasiun Besitang sangat mengenaskan. Bangunannya tinggal atap dan tiang-tiang penyangga kayu. Di dekatnya, ada bangunan lain berdinding tembok batu bata. Ada plakat yang menunjukkan bangunan itu diresmikan Kepala Perumka Eksploitasi Sumatera Utara Ir Marsono Mulyodiharjo pada 28 September 1991 sebagai ”Ruang Istirahat Awak Kereta Api Besitang”.
Ulee Lheue-Kutaraja
Pembangunan jalur kereta api di Aceh diawali dari Kutaraja di Banda Aceh ke pelabuhan terdekatnya, Ulee Lheue, pada 26 Juni 1874. Penggunaannya pertama kali diresmikan pada tahun 1876. Ini lebih awal 10 tahun dibandingkan dengan pembangunan jalur kereta api di Medan atau Sumatera Utara.
Jarak dari Kutaraja ke Pelabuhan Ulee Lheue sekitar 4 kilometer. Lebar relnya 1.067 milimeter. Pemerintah Hindia Belanda menggunakannya untuk distribusi logistik dan mobilisasi militer menghadapi perang Aceh antara tahun 1873 dan 1912.
Kini, jejak jalur rel pertama di Aceh, menurut Ketua Komunitas Pencinta Kereta Api Divre 1 Sumatera Utara Gregorius Helmy Widya Pamungkas (34), hampir tak berbekas. ”Beberapa waktu lalu saya menyusuri jejak jalur kereta api dari Pelabuhan Ulee Lheue, hanya tertinggal plakat tulisan,” katanya.
Peta Jalur Kereta Api Sumatera yang disusun Artanto Rizky Cahyono (2013) menunjukkan, jalur rel dari Kutaraja di Banda Aceh dilanjutkan hingga memasuki wilayah Sumatera Utara dengan lebar rel 750 milimeter sampai di Besitang. Rel lebih sempit ditujukan untuk angkutan lebih ringan. Dalam hal ini, lebar rel kecil di Aceh untuk mobilisasi pasukan militer Hindia Belanda waktu itu.
Pembangunan dilakukan secara bertahap. Tahap awal, jalur Kutaraja-Ulee Lheue, yang kemudian dioperasikan tahun 1876. Berikutnya, jalur Kutaraja hingga Besitang-Pangkalan Susu-Palutabuhan, yang selesai pada 1917.
Pembangunan memakan waktu 41 tahun untuk jalur rel lebar 750 milimeter sepanjang 618 kilometer. Itu meliputi jalur rel dari Kutaraja menuju Lambaro sepanjang 7 km (1885), lalu jalur hingga Sigli (82 km), jalur Beureunun-Langsa (319 km), Beureunun-Lammeulo (19 km), Langsa-Kuala Langsa (9 km), Langsa-Kuala Simpang-Semadam (45 km), Semadam-Besitang-Pangkalan Susu (37 km), dan Pangkalan Susu-Palutabuhan (9 km).
Jan de Bruin dalam bukunya, Het Indische Spoor in Oorlogstijd, menyuguhkan foto-foto peristiwa di sepanjang jalur rel kereta api di Aceh pada masa itu. Bruin memajang foto kavaleri polisi militer Hindia Belanda dengan pedang terhunus berpatroli dengan sepeda rel. Foto itu diambil tahun 1908 di dekat Sigli.
Harapan dan keresahan
Jarak Stasiun Medan hingga Stasiun Besitang ini sepanjang 101 kilometer. Di sepanjang jalur itu kini tinggal sepenggal jalur yang masih aktif, yaitu dari Stasiun Medan sampai Stasiun Binjai yang berjarak 21 kilometer.
Kompas sempat menyusuri beberapa ruas jalur. Salah satunya, ruas dari Stasiun Binjai menuju Stasiun Tanjung Pura yang berjarak 46 kilometer. Bekas Stasiun Tanjung Pura kini tinggal dinding tembok. Kusen pintu dan jendela serta rangka atap sudah hilang.
Jalur dari Stasiun Tanjung Pura menuju Stasiun Besitang berjarak 34 kilometer. Sebelum singgah ke Stasiun Besitang, kami memotret jembatan kereta api yang digunakan untuk menyeberangi Sungai Besitang menuju Aceh. Saat itu, tiba-tiba seorang anak muda mengendarai sepeda motor menghampiri. ”Kereta api mau dijalankan lagi, ya?” ujar pemuda itu.
Di balik pertanyaan itu, ia mengungkapkan, dirinya dan warga lain membutuhkan pekerjaan. Dengan dibukanya kembali jalur kereta api dari Medan ke Aceh, mereka berharap mendapatkan pekerjaan.
Namun, ia juga khawatir akan kemungkinan penggusuran warga, termasuk keluarganya, yang telah lama menghuni jalur mati rel kereta api dari Besitang menuju Aceh. Ketika jalur itu diaktifkan kembali, ada harapan sekaligus keresahan dari warga.