Susur Rel 2016

Susur Rel: Jalur ”W”, Poros Angkutan ke Lumbung Beras Karawang * Liputan Khusus Susur Rel 2016

·sekitar 3 menit baca

Pada masa kolonial Hindia Belanda sempat dibangun jalur trem sepanjang 80 kilometer yang membentuk mirip huruf W. Jalur rel yang hanya berukuran lebar 600 milimeter atau 0,6 meter itu menghubungkan Rengasdengklok, Lamaran (Kota Karawang), Wadas, Cikampek, dan Cilamaya.

Belanda membangunnya secara bertahap antara 1909 dan 1920. Kereta api dengan lebar paling kecil itu sempat beroperasi hingga 1972-1973. Awalnya ditujukan untuk angkutan padi dan ternak. Kawasan dataran rendah di Karawang itu sejak dulu hingga kini disebut sebagai lumbung beras Jawa Barat.

Susur Rel Kompas kali ini diawali dari bekas Stasiun Rengasdengklok, Jumat (29/4). Bekas stasiun itu kini sulit dikenali. Plang atau penanda aset tanah milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) terpancang di beberapa titik. Namun, penanda itu sama sekali tidak menunjukkan bekas Stasiun Rengasdengklok.

Diratakan

Beberapa warga setempat yang ditemui menyebutkan, bekas bangunan Stasiun Rengasdengklok sudah diratakan dengan tanah tahun 1980-an. Kemudian diganti bangunan untuk fasilitas pasar sekarang.

Stasiun Rengasdengklok terhubung dengan Stasiun Karawang yang pertama kali digunakan pada 19 Maret 1898. Selain itu, terhubung pula dengan Stasiun Bataviasche Ooster Spoorweg (BOS) atau Stasiun Jakarta Kota yang aktif sampai sekarang dengan lebar rel normal atau 1.067 milimeter sejak awal dibangun.

Merunut tahun pembukaan, lintasan jalur ”W” ini dari timur, dari Cikampek ke Cilamaya sepanjang 28 kilometer, dan dibuka pada 1 Juli 1909. Berikutnya, jalur Cikampek-Wadas sepanjang 16 kilometer dibuka 15 Juni 1912. Kemudian jalur Karawang-Rengasdengklok sepanjang 21 kilometer. Terakhir, jalur Lamaran (di dekat stasiun Karawang) menuju Wadas sepanjang 15 kilometer, dibuka pada 9 Februari 1920.

Membelah sawah

Bekas rel sekarang sudah hilang sama sekali. Namun, jalurnya masih dapat ditelusuri dengan bekas-bekasnya yang membelah persawahan.

Tidak jauh dari lokasi bekas Stasiun Rengasdengklok, terdapat jembatan kereta api. Ayong (62), perempuan warga RT 013 RW 004 Dusun Kobok Karim, Desa Kalangsuria, Kecamatan Rengasdengklok, tinggal tidak jauh dari jembatan kereta itu.

Dengan mata berbinar, Ayong bercerita tentang masa remajanya yang beberapa kali menumpang kereta api pergi-pulang dari Stasiun Rengasdengklok ke Stasiun Karawang. Itu kira-kira berlangsung tahun 1970-an, sebelum ditutup antara tahun 1972 dan 1973.

”Gerbongnya ada tiga. Bahan bakarnya kayu dan arang. Kalau pas dikorek-korek, percik apinya beterbangan, sering mengenai baju penumpang di gerbong hingga berlubang-lubang,” kenang Ayong.

Kawasan dekat Stasiun Karawang sudah berubah menjadi permukiman padat. Mimbar Komarudin (55), warga yang tinggal di dekat Stasiun Karawang, mengatakan, tandon air untuk lokomotif uap adalah salah satu peninggalan masa Hindia Belanda yang masih kokoh berdiri sampai sekarang.

Bersama Aditya Dwi Laksana dan Gurnito Rakhmat Wijokangko, dari lembaga Kereta Anak Bangsa, kami melanjutkan penyusuran ke jalur ”W” dari Stasiun Lamaran ke Stasiun Wadas, Cikampek, dan Cilamaya. Bekas relnya sudah hilang sama sekali. Bekas jalurnya masih dapat dirunut. Biasanya menjadi jalur tanah yang ditumbuhi pepohonan dengan alur memanjang dan biasanya ditumbuhi tanaman pisang, kelapa, atau semak belukar. Jika tidak, jalur itu berubah menjadi jalan perkampungan.

Di dekat jalur rel itu, kini terdapat jalan raya beraspal atau diganti dengan beton. Ketika tiba di bekas Stasiun Wadas dan Cilamaya, kedua bangunan itu masih tersisa.

Keduanya dimanfaatkan untuk ruang usaha penduduk setempat. Bekas bangunan Stasiun Wadas ada di area pasar tradisional Wadas. Bekas bangunan Stasiun Cilamaya ada di pinggir jalan di kawasan permukiman padat.

”Dulu, keretanya seperti di film-film koboi. Keretanya terbuat dari kayu, penumpangnya menghadap ke kiri dan ke kanan,” ujar Ade Sujana (56), warga yang tinggal di sebelah bekas Stasiun Cilamaya.

Warga lainnya antusias menuturkan pengalaman masa lalunya menumpang trem di jalur ”W”. Mereka berusia senja. Tak lama lagi para saksi hidup itu beralih generasi yang tidak akan mengenal sejarah perkeretaapian di tanah leluhur mereka.

Artefak perkeretaapian yang tersisa di jalur ”W” kini terbengkalai. Jalur ini menjadi saksi kemajuan perkeretaapian di Indonesia pada masanya. Komoditas penting seperti padi dan ternak dapat diangkut dengan kereta api kecil atau trem. Akan tetapi, itu semua kini tinggal kenangan.

Stasiun yang tersisa sekarang dan masih aktif, yaitu Stasiun Karawang dan Cikampek. (NAWA TUNGGAL)

Artikel Lainnya