KOMPAS/NAWA TUNGGAL

Jembatan trem di atas Kali Ciliwung di Jalan Kalipasir, Cikini, Jakarta Pusat. Era trem di Jakarta berakhir setelah 1954, ketika pengelola trem Bataviasche Verkeers Maatschappij dinasionalisasi menjadi Peroesahaan Pengangkoetan Djakarta (PPD) yang mengalihkan jasa angkutan umum menjadi bus.

Susur Rel 2014

Susur Rel Kereta Api: Jembatan Trem Tanpa Jejak * Liputan Khusus Susur Rel 2014

·sekitar 4 menit baca

Warga menyebutnya sebagai jembatan trem di atas Kali Ciliwung di Jalan Kalipasir, Cikini, Jakarta Pusat. Seorang tukang parkir Kantor Pos Cikini, Mustari, menyebut itu pula. Ia tidak tahu kalau jembatan itu dulunya adalah jembatan trem atau kereta api lintas dalam kota Jakarta.

”Mungkin sekali kalau jalan ini (Jalan Kalipasir) dulunya menjadi jalur trem. Jembatan itu masih disebut warga dengan nama jembatan trem, meski warga tidak tahu kapan trem pernah ada di sini,” kata Mustari, Jumat (21/3), di depan Kantor Pos Cikini.

Anggota tim ahli sejarah pada Pusat Pelestarian dan Desain Arsitek PT Kereta Api Indonesia (Persero) Adhitya Hatmawan turut menyertai perjalanan saat itu. Jembatan trem tak ubahnya jembatan berukuran sedang sekarang yang dapat dilalui tiga mobil berjajar.

”Jembatan trem memang harus lebar karena pada waktu itu semua rute trem di Jakarta memiliki dua jalur,” kata Adhitya.

Trem juga tidak memiliki bangunan stasiun. Trem hanya dilengkapi dengan halte-halte sederhana. Akibatnya, sekarang jejak trem sulit diketahui selain jembatan trem yang kemudian dialihkan menjadi jalan umum.

Menurut Adhitya, trem di Jakarta berakhir setelah 1954, ketika pengelola trem Bataviasche Verkeers Maatschappij (BVM) dinasionalisasi dan diubah namanya menjadi Peroesahaan Pengangkoetan Djakarta atau PPD. PPD mengalihkan jasa angkutan umum di Jakarta menjadi bus.

Sejarah trem

Warga Jakarta, dulu disebut Batavia, mengenal trem pada 1869 berupa kereta yang berjalan di atas rel dan ditarik dengan kuda. Pengelola trem pertama kali Bataviasche Tramweg Maatschappij (BTM), dengan jalur dimulai dari Oud Batavia atau Jakarta Kota yang sekarang, dengan titik awal waktu itu Amsterdam Port.

”Amsterdam Port ada di ujung utara Jalan Prinsenstraat (sekarang Jl Cengkeh), melintasi gedung yang sekarang menjadi Museum Sejarah Jakarta. Jalur ini melalui Jalan Molenvliet (sekarang Jl Gajah Mada), berakhir di Harmonie (sekitar Jalan Majapahit sekarang),” kata Adhitya.

Rute Amsterdam Port sampai Harmonie dibuka 20 April 1869. Diikuti pembukaan jalur trem lain yang masih dihela dengan kuda dengan rute Harmonie ke Tanah Abang. Kemudian rute Harmonie-Noordwijk-Kramat- Meester Cornelis (Jatinegara).

Menurut Adhitya, trem kereta yang dihela dengan kuda bertahan pada 1869-1882. Data lain menyebutkan waktu berbeda.

Menurut Widoyoko, dalam buku Tram Reborn (2010), terbitan PT Ilalang Sakti Komunikasi & Komunitas Sejarah Perkeretaapian Indonesia, trem kuda dihentikan pada 19 September 1881 saat perusahaan BTM diambil alih Nederlandsch Indische Tramweg Maatscappij (NITM).

Penyebabnya, kuda yang digunakan untuk menghela trem banyak yang mati. Terlampau banyak kuda dikorbankan untuk masa operasional trem sekitar 13 tahun. Adhitya menyebutkan, masih perlu riset untuk memastikan sumber kuda. Diperkirakan ada dua sumber kuda, Sumba, Nusa Tenggara Timur, dan Afrika Selatan yang masih menjadi koloni Belanda waktu itu.

Pengambilalihan BTM oleh NITM membawa perubahan trem di Jakarta. Kuda diganti dengan lokomotif uap menggunakan bahan bakar kayu.

Perusahaan pengelola trem di Jakarta mengikuti perubahan teknologi lokomotif. Pada 1899, muncul perusahaan Bataviasche Electric Tramweg Maatschappij (BETM). NITM dan BETM dilebur pada 1930 menjadi Bataviasche Verkeers Maatschappij (BVM).

Rute trem

Trem di Jakarta hingga 1941, menurut peneliti perkeretaapian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Taufik Hidayat, sudah sekelas trem di kota-kota Eropa. Beberapa rute yang dipilih jika terus dipertahankan sampai sekarang bisa menjadikan Jakarta tidak mengalami kemacetan seperti kini.

Peneliti masalah transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan, kecil kemungkinan untuk kembali memanfaatkan jalur trem pada masa lalu. Tetapi, pemanfaatan kembali trem dengan mengikuti perkembangan teknologi harus dicapai Jakarta.

Bus transjakarta dengan jalur-jalurnya sekarang memberikan peluang peningkatan teknologi menggunakan railbus (bus berbasis rel dengan sumber energi penggerak listrik). Mass rapid transit (MRT) juga menjadi pilihan untuk menggunakan angkutan publik berbasis rel, seperti ditempuh sekarang oleh Gubernur Jakarta Joko Widodo. MRT menghubungkan Lebak Bulus di Jakarta Selatan dengan Bundaran HI di Jakarta Pusat.

Rute trem Jakarta masa lalu, meski tidak memungkinkan untuk difungsikan kembali, tetap penting menjadi bagian dari sejarah kota Jakarta.

Menurut Adhitya, pernah ada empat rute trem di Jakarta. Rute pertama, dari Gerbang Amsterdam (Amsterdam Port) menuju Stadhuisplein (Taman Fatahillah), Nieuwpoort Straat (Jalan Pintu Besar Utara dan Selatan), Molenvliet West (Jalan Gajah Mada), dan Harmonie (Jalan Majapahit).

Rute kedua, dari Harmonie ke Rijswijk (Jalan Veteran), Wilhelmina Park (Masjid Istiqlal), Pasar Baru, Senen, Kramat, Salemba, Matraman, Meester Cornelis (Jatinegara), dan Kampung Melayu.

Rute ketiga, dari Harmonie menuju Tanah Abang, Kampung Lima Weg (Sarinah), Tamarin Delaan (Jalan Wahid Hasyim), Kebon Sirih, Kampung Baru (Jalan Cut Mutia), dan Kramat.

Rute keempat, dari Harmonie menuju Istana Gubernur Jenderal (Istana Merdeka), Koningsplein (Medan Merdeka)-Stasiun Gambir, Tugu Tani, Kampung Baru (Jalan Cut Mutia).

Artikel Lainnya