Pengantar:
Pada masa kolonial Belanda, Indonesia pernah memiliki rel kereta api sepanjang lebih dari 6.700 kilometer, 10 terowongan, dan 600 stasiun. Namun, kini, hanya sekitar separuhnya yang berfungsi. Pemerintah memang kurang peduli terhadap moda angkutan massal ini. Padahal, selain hemat bahan bakar, kereta api juga memiliki daya angkut besar dan sangat ramah lingkungan. Untuk menggambarkan kondisi perkeretaapian saat ini, Kompas menurunkan liputan khusus dari Kamis hingga Sabtu.
Mentari pagi belum merekah ketika orang-orang bergegas memasuki peron selatan Stasiun Solobalapan di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (18/2). Mereka calon penumpang kereta api Kalijaga yang berangkat pukul 05.31 dan tiba di Stasiun Semarang Poncol pukul 07.58. Jaraknya 110 km.
Jalur Semarang-Surakarta ini jalur kereta api tertua di Indonesia. PT Kereta Api Indonesia (KAI) menghidupkan lagi setelah beberapa tahun jalur mati,” kata Catur Tutinia (20), penumpang yang juga mahasiswi anggota Komunitas Edan Sepur Indonesia, kelompok pencinta KA. Ia menumpang KA Kalijaga pada hari ketiga setelah dioperasikan.
PT KAI menghidupkan jalur Semarang-Surakarta itu pada Sabtu (15/2). Sebelumnya, KA Pandanwangi melayani jalur tersebut hingga berhenti beroperasi tanggal 24 Oktober 2011.
KA Kalijaga membuka jalur mati. Akses transportasi masyarakat di tenggara Kota Semarang pun bertambah. Mereka bisa memanfaatkan KA untuk pergi-pulang ke Semarang atau Surakarta.
”Sekarang penumpang Kalijaga masih sepi, mungkin kurang sosialisasi. Mungkin tarif Rp 25.000 masih berat,” kata Catur.
Titik awal pemberangkatan Kalijaga dari Stasiun Purwosari, Surakarta, pukul 05.25. Enam menit kemudian tiba di Stasiun Solobalapan. Dari sana, KA Kalijaga berhenti di Stasiun Gundih, Kedungjati, Semarang Tawang, dan Semarang Poncol.
Pada hari yang sama, Kalijaga diberangkatkan dari Semarang Poncol (pukul 09.05) menuju Semarang Tawang, Kedungjati, Gundih, Solobalapan, dan Purwosari.
Sepanjang perjalanan selepas Kota Surakarta hingga sebelum masuk Kota Semarang, pemandangan kiri-kanan jalur rel adalah sawah-ladang. Sesekali hamparan bukit di kejauhan. Jarang dijumpai bukit dengan tanaman keras. Hanya pohon jati muda sesekali terlihat.
”Kawasan itu di masa pembangunan jalur rel KA pertama jadi penghasil kayu jati,” kata pemerhati transportasi yang juga peneliti pada Pusat Studi Urban Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno.
Menurut dia, jalur Semarang-Surakarta saat ini lebih hemat waktu daripada menggunakan angkutan jalan raya. Jarak 114 kilometer (km) dari Stasiun Semarang Poncol sampai Stasiun Purwosari di Surakarta ditempuh 2,5 jam.
”Perjalanan lewat jalan raya kian macet, bisa tiga sampai empat jam. Belum lagi kalau jalan rusak,” kata Djoko.
Masih minimnya penumpang KA Kalijaga, menurut Djoko, harus disikapi PT KAI dan pemerintah daerah. Dari sisi konsumen, sebenarnya calon penumpang dari wilayah tenggara Semarang relatif banyak.
Insentif atau keringanan biaya untuk calon penumpang pun dinilai perlu. Bahkan, setiap pemerintah daerah perlu menyubsidi calon penumpang moda transportasi massal itu.
”Subsidi untuk penumpang oleh setiap pemerintah daerah sebenarnya tak terlampau besar dan harus dipertanggungjawabkan PT KAI secara transparan. Tapi, kebijakan ini sampai sekarang belum ada yang mengupayakan,” kata Djoko.
”Vorstenlanden”
Selain memberi alternatif moda transportasi, menghidupkan lagi jalur KA Semarang-Surakarta juga menyajikan sejarah penting perkeretaapian Tanah Air. Jalur rel KA pertama Semarang-Surakarta itu dilanjutkan sampai Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, 1864-1873.
Jarak Semarang-Surakarta 110 km, sedangkan Surakarta-Yogyakarta 75 km. Wilayah Surakarta dan Yogyakarta pada era Hindia Belanda disebut vorstenlanden, daerah yang dikuasai raja lokal: Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta.
Vorstenlanden saat itu memiliki lahan subur dengan hasil perkebunan dan hutan jati melimpah. Komoditas itu tersebar di Semarang Selatan, Surakarta, dan Yogyakarta. Ada sejumlah komoditas ekspor penting, antara lain kayu jati, tembakau, gula, dan kopi.
Jalur rel KA pertama dibangun mulai 17 Juni 1864 dan diresmikan 10 Agustus 1867. Jalur rel pertama 25 km itu dimulai dari Stasiun Samarang, Semarang, hingga Stasiun Tanggung di Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan.
Pembangunan jalur kereta ini bersamaan dengan kejayaan ekonomi Hindia Belanda buah tanam paksa (cultuurstelsel).
Perang Diponegoro pada 1825-1830 sebenarnya hampir membangkrutkan ekonomi Hindia Belanda. Lalu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch tahun 1830 mengeluarkan kebijakan cultuurstelsel. Setiap desa wajib menyisihkan 20 persen tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, seperti kopi, tebu, atau tembakau. Hasilnya harus disetor kepada pemerintah kolonial.
Penduduk yang tak punya tanah wajib bekerja di perkebunan Pemerintah Hindia Belanda selama 75 hari setahun. Praktiknya, penduduk dipaksa bekerja sepanjang tahun. Pemilik lahan yang dikenai cultuurstelsel pun dikenai pajak.
Sebelumnya, 15 Agustus 1840, pejabat militer Hindia Belanda, Kolonel Jhr van der Wijk, mengusulkan pembangunan alat transportasi baru KA di Pulau Jawa. Di tengah pro-kontra, Kerajaan Belanda menyambut ide itu dan mengeluarkan Koninklijk Besluit (Surat Keputusan) Nomor 20 pada 28 Mei 1842.
Saat itu disebutkan, akan dibangun jalur KA Semarang-Kedu dan Semarang-Surakarta-Yogyakarta.
Keputusan ini menarik perhatian para pengusaha kaya di Belanda. Beberapa dekade kemudian, mereka berlomba-lomba mendirikan perusahaan swasta yang mengelola jalur KA di Jawa. Terhitung 18 perusahaan swasta menangani jalur KA di Hindia Belanda, yang terdiri dari Jawa-Madura, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Iman Subarkah dalam buku Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992 tahun 1992 memaparkan, jalur rel pertama sudah dibangun dari Stasiun Samarang sampai Stasiun Tanggung antara 17 Juni 1864 dan 10 Agustus 1867. Dari Tanggung dilanjutkan ke Kedungjati sepanjang 9 km dan mulai dioperasikan untuk angkutan umum pada 19 Juli 1868.
Kiprah NIS
Perusahaan swasta Belanda yang pertama kali membangun stasiun dan jalur rel KA adalah Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). NIS melanjutkan jalur rel dari Kedungjati hingga Stasiun Solobalapan, Surakarta, yang mulai beroperasi 10 Februari 1870.
NIS ingin melanjutkan jalur Surakarta-Yogyakarta, tetapi didera masalah finansial. Mereka menerima pinjaman tanpa bunga dari Pemerintah Hindia Belanda karena fungsi KA penting bagi pertumbuhan ekonomi dari usaha perkebunannya.
Para pengusaha perkebunan pun bersedia membayar uang di muka demi memanfaatkan jasa KA. NIS memperoleh modal lagi dan awal tahun 1871 kembali melanjutkan pembangunan jalur Surakarta-Yogyakarta. Pada 1 Januari 1973, NIS membuka dan mengoperasikan jalur Stasiun Lempuyangan-Surakarta.
”KA juga penting untuk mobilisasi militer,” kata Djoko. Atas dasar itu, NIS juga dibebani membangun jalur KA menuju Benteng Militer Willem I di Ambarawa.
Tampaklah latar belakang pilihan pengembangan transportasi KA di wilayah vorstenlanden. Pertahanan militer dan ekonomi adalah sumber inspirasinya. Kini?