Udara pantai terasa sejuk pagi itu. Warga Aceh, Sofyan Yahya (34), menunjuk ke sebuah plang bertuliskan ”Aset PT Kereta Api Indonesia” saat melintas di ujung jalan menuju gerbang Pelabuhan Ulee Lheue, satu-satunya pelabuhan di Banda Aceh. Ia menjelaskan, di ujung paling barat Indonesia itu, pernah dibangun stasiun kereta api oleh Belanda pada tahun 1876 atau 140 tahun silam.
Stasiun dan jalur rel kereta apinya sudah tidak ada bekasnya lagi. Namun, warga Aceh sampai sekarang masih menanti-nanti dihidupkannya kembali angkutan kereta api,” ujar Sofyan, warga asli Aceh asal Lhok Sukon, Aceh Utara. Ia menyukai sejarah kereta api di Aceh karena memiliki pengalaman masa kecil sering bermain di Stasiun Kereta Lhok Sukon.
Sofyan bersama Gurnito Rakhmat Wijokangko dari lembaga Kereta Anak Bangsa Jakarta, Selasa (16/8), mendampingi Kompas untuk mengerjakan Liputan Khusus Susur Rel di Aceh. Sejarah perkeretaapian di wilayah itu unik, berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Dari buku Laporan Akhir Sejarah Perkeretaapian di Indonesia I (1990) oleh PT Incarto Indonesia (Grup Telaga Bakti Nusantara), pembangunan serta pengoperasian kereta di Aceh dilakukan oleh Departemen Peperangan (Departement van Oorlog) Pemerintah Hindia Belanda. Padahal, biasanya, perusahaan kereta api pada masa kolonial dibentuk dan dimiliki oleh swasta yang merupakan konsorsium perusahaan-perusahaan perkebunan.
Pembangunan di Ulee Lheue dimulai pada tahun 1876 hingga 1 Januari 1916, kemudian pengelolaannya diserahkan oleh Departemen Peperangan kepada Atjeh Staatsspoorwegen (ASS). ASS merupakan perusahaan pengelola kereta api yang dibentuk dan dimiliki pemerintah Hindia Belanda.
Departemen Peperangan Hindia Belanda mengoperasikan kereta api di Aceh selama 40 tahun. Selama itu pula, Departemen Peperangan berhasil membangun jaringan rel kereta api di Aceh hingga sepanjang 502 kilometer.
Riwayat
Rel kereta api yang dibangun oleh Departemen Peperangan terbentang dari Stasiun Ulee Lheue sampai Stasiun Semadam, Aceh Tenggara, mendekati perbatasan Sumatera Utara. Awalnya, digunakan rel dengan lebar 1.067 milimeter dari Pelabuhan Ulee Lheue ke Kota Raja atau Banda Aceh sekarang. Panjang lintasannya hanya sekitar 4 kilometer.
Lebar rel kemudian diubah lebih kecil menjadi 750 milimeter pada tahun 1884. Setelah itu, sejak 1885, Departemen Peperangan getol mengembangkan jalur-jalur rel kereta api di Aceh dengan lebar rel 750 milimeter.
Pada 1885, diselesaikan jalur rel 7 kilometer dari Banda Aceh menuju Lambaro. Lalu, tahun 1898 sampai 1899 dibangun jalur rel Lambaro ke Sigli sepanjang 82 kilometer. Jalur rel Sigli kemudian dihubungkan ke Beureunun hingga Langsa sepanjang 319 kilometer pada tahun 1906.
Di tahun yang sama, dibangun percabangan rel dari Beureunun ke Lammeulo sepanjang 19 kilometer. Jalur rel Langsa juga dilanjutkan ke Kuala Langsa sepanjang 9 kilometer.
Enam tahun kemudian atau tahun 1912, Langsa dihubungkan ke Kuala Simpang dan Semadam dengan rel sepanjang 45 kilometer. Pembangunannya selesai pada tahun 1914, atau dua tahun sebelum penyerahan pengelolaan kereta api dari Departemen Peperangan kepada ASS. Inilah satu-satunya jalur rel di Indonesia yang dibangun oleh instansi peperangan.
Sekarang, hampir seluruh rel di sepanjang jalur itu raib. Jejak jalur hanya menyisakan beberapa jembatan atau fondasi jembatan yang kokoh.
Seperti diungkap Sofyan Yahya, ternyata warga Aceh tetap menanti-nantikan pengaktifan kembali jalur kereta api. Pemerintah setempat memberikan harapan dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Induk Perkeretaapian.
”Melalui peraturan itu, pemerintah menghendaki pembangunan jalur baru sehingga ada proyek pengadaan tanah. Padahal, sebagian besar jalur rel lama masih berpotensi untuk dimanfaatkan kembali,” ujar Sofyan.
Perang Aceh
Kereta api di Aceh dibangun oleh Departemen Peperangan Hindia Belanda dengan tujuan untuk mengangkut keperluan militer atau perlengkapan perang. Pada masa itu, berlangsung Perang Aceh, yakni peperangan Kesultanan Aceh melawan pemerintahan Hindia Belanda.
Di berbagai referensi, disebutkan Perang Aceh berlangsung pada tahun 1873-1904. PT Incarto Indonesia mencantumkan Perang Aceh sudah dimulai sejak 1856 dan baru benar-benar selesai pada tahun 1912. Empat tahun kemudian, pada tahun 1916, Departemen Peperangan Hindia Belanda menyerahkan pengelolaan kereta api di Aceh kepada ASS.
Kesultanan Aceh akhirnya mengalami kekalahan dalam Perang Aceh yang berlangsung 40 tahun, bahkan berlangsung 56 tahun sesuai yang dicantumkan oleh PT Incarto Indonesia.
Menurut Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno, sejarah kelam berupa kekalahan perang mungkin memengaruhi elite politik lokal Aceh saat ini. Karena itu, mereka enggan untuk memanfaatkan kembali sarana peninggalan Hindia Belanda berupa jalur kereta api tersebut. Konsekuensinya, usaha menghidupkan kembali kereta api di Aceh harus ditempuh dengan membangun jalur baru yang dinilai akan memakan anggaran lebih besar.
Sulit dilacak
Di Banda Aceh, bekas jalur rel kereta api sudah sulit dilacak. Jalur-jalur rel berubah fungsi menjadi bagian badan jalan. Bahkan, sebagian jalur rel itu mungkin telah berubah menjadi kawasan bisnis di tengah kota.
Gurnito dari Kereta Anak Bangsa menunjukkan sebuah kompleks ruko di tengah Kota Banda Aceh sebagai bekas lokasi Stasiun Banda Aceh. Lokasinya tak jauh dari Masjid Raya Baiturrahman, yang diberi penanda sebuah bangunan untuk memajang lokomotif uap jenis BB 84 buatan Jerman.
Jaringan rel yang dibangun di tengah kota ditunjukkan dari sebuah peta yang dimuat di dalam buku berbahasa Belanda, Het Indische spoor in oorlogstijd karya Jan de Bruin. Jalur rel kereta api itu seperti membentuk benteng kota. Di dalam jaringannya terdapat benteng-benteng militer. Jalur rel ketika itu dijadikan penghubung dari satu benteng ke benteng lainnya.
Peta di dalam buku ini menunjukkan kondisi jalur rel pada tahun 1891 sampai 1897, yakni tatkala Perang Aceh berkecamuk. Kereta api berfungsi menunjang mobilisasi pasukan Hindia Belanda.
Di saat perang berakhir, kereta api di Aceh menjadi sarana untuk mengangkut penumpang dan hasil-hasil bumi. Pada tahun 1976, jalur rel di Banda Aceh berhenti beroperasi. Jejaknya kini makin tenggelam dan kian sulit dilacak.