KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Stasiun Kereta Api Slahung di Slahung, Ponorogo, Jawa Timur, Kamis (4/2). Stasiun Slahung yang tidak lagi beroperasi sejak 1983 merupakan perhentian terakhir kereta api uap yang dulu melayani transportasi Madiun-Ponorogo-Balong. Ruas rel Balong-Slahung sepanjang 9 kilometer diresmikan pada 1922.

Susur Rel 2016

Susur Rel: “Mimpi” yang Tertunda di Ujung Ponorogo * Liputan Khusus Kompas Susur Rel 2016

·sekitar 4 menit baca

Jauh sebelum wacana pembangunan jalan lintas selatan Jawa digaungkan, Pemerintah Hindia Belanda telah merintis pembangunan jalur rel di kawasan itu. Bukti-bukti sejarahnya tampak di jalur kereta api nonaktif Madiun-Ponorogo yang berakhir di Stasiun Slahung dan Badegan.

Pada 1907, perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS), meresmikan pembangunan jalur KA Madiun-Ponorogo sepanjang 32 kilometer, jalur Ponorogo-Balong sepanjang 17 kilometer, dan Ponorogo-Sumoroto sejauh 7 kilometer. Ketiga jalur ini mengarah ke sisi selatan Jawa yang minim akses transportasi.

Pembangunan terus dilanjutkan. Dari Ponorogo, SS membuat jalur KA lebih jauh ke selatan, memecahnya menjadi dua jalur menuju ke Slahung dan Badegan yang diresmikan pada 1922. Namun, di dua stasiun terakhir ini, jalur perjalanan kereta uap terhenti di ujung jalan buntu.

Pada periode tahun yang sama, perusahaan KA swasta, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), yang mendapat konsesi dari Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur rel Wonogiri-Baturetno sepanjang 19 kilometer pada 1923. Di sisi timur, SS membangun jalur KA Campur Darat-Trenggalek-Tugu sepanjang 34 kilometer dengan perkiraan peresmiannya dilakukan pada 1922-1923.

”Dari arah Wonogiri (Jateng), kalau diambil jalur lurus ke timur menuju Pacitan hingga Ponorogo, sebenarnya rel KA akan bertemu di Stasiun Badegan. Begitu pula dari Stasiun Slahung, jika ditarik ke timur akan tersambung ke Stasiun Tugu, Trenggalek,” kata Ketua Komunitas Kereta Anak Bangsa Aditya Dwi Laksana, Rabu (17/2), di Jakarta.

Di sisi barat Jawa, Pemerintah Hindia Belanda sudah ”mencicil” pembangunan jalur KA lintas selatan. Jalur itu mulai dari Kiaracondong-Dayeuhkolot-Soreang-Ciwidey, kemudian Tasikmalaya-Singaparna dan Cibatu-Garut-Cisurupan-Cikajang, hingga jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang. Semua jalur yang telah mati itu menuju ke selatan, tetapi belum saling terhubung satu sama lain.

”Pembangunan jalur rel lintas selatan bertujuan menghidupkan perekonomian selatan Jawa. Ada sebagian yang sudah terbangun, seperti di Tulungagung-Blitar-Wlingi-Kepanjen-Malang yang sampai sekarang masih beroperasi,” tutur Aditya. Sayangnya, menjelang 1930-an, pembangunan jalur rel KA yang dilakukan oleh Belanda berhenti akibat krisis ekonomi pasca Perang Dunia I.

Saat Perang Dunia I masih berlangsung, beberapa pembangunan sempat tetap berjalan, antara lain pembangunan Stasiun Manggarai dan Kroya. Namun, pembangunan dua stasiun tersebut dilakukan dengan biaya yang lebih ekonomis. Atap-atap peronnya hanya terbuat dari kayu, bukan besi kokoh dengan desain artistik seperti stasiun-stasiun sekelas lainnya.

Slahung dan Badegan kini

Pada masa pendudukan Jepang tahun 1943, jalur KA Ponorogo-Badegan dibongkar. Pada 1983 atau empat dekade berikutnya, Jalur Ponorogo-Slahung juga berhenti beroperasi. Setahun kemudian, jalur Ponorogo-Madiun ikut berhenti beroperasi.

Karena telah dibongkar Jepang, jejak-jejak rel Ponorogo-Badegan kini nyaris hilang. Muncul dugaan, rel-rel dari tempat ini dibawa ke tempat lain untuk keperluan pembangunan jalur baru. Ada dugaan lain, rel-rel ini dipakai untuk membangun jalur rel Saketi-Bayah di Banten, jalur maut Muaro-Pekanbaru, atau diangkut ke Burma (Myanmar) guna pembangunan jalur rel KA negara itu.

Slamet (68), warga Badegan, Kecamatan Badegan, Ponorogo, ingat betul bagaimana bentuk Stasiun Badegan yang sekarang rata menjadi tanah di Desa Badegan. ”Pada 1953, saat saya berusia lima tahun, bangunan Stasiun Badegan masih berdiri meski tanpa atap. Jalur relnya sedikit menjorok ke utara menuju tempat omben (pengisian air),” ucap Slamet.

Sementara itu, di beberapa ruas jalur Ponorogo-Slahung, masih tampak sisa-sisa rel dan sejumlah stasiun. Meski demikian, banyak pula rel yang hilang tertutup dengan bangunan-bangunan rumah.

Di sepanjang jalur ini bisa ditemui bekas-bekas stasiun, seperti Stasiun Jetis dan Balong. Kondisi Stasiun Jetis kini berimpitan dengan pertokoan.

Adapun Stasiun Balong berubah menjadi toko daging sapi. Stasiun yang dahulu menghadap ke utara itu juga telah berubah, beralih menghadap ke sisi selatan, menyesuaikan dengan jalan raya di depannya.

Memasuki Slahung, jalur rel tampak mendaki, menaiki areal perbukitan dan persawahan. Jalur rel berakhir di sebuah pasar tradisional yang tepat berada di Stasiun Slahung.

Pada pekan lalu, di Slahung, seorang warga, Sukami (60), yang mengalami keberadaan kereta uap jalur Slahung-Ponorogo, menyampaikan pengalamannya naik kereta ke Ponorogo. ”Dulu, saat pergi ke Pasar Legi Ponorogo atau ke Madiun, saya selalu naik KA dari sini. Setiap hari, ada dua perjalanan KA. Kami sering menggunakannya untuk mengangkut barang-barang dagangan ke pasar,” ucapnya.

Selain dimanfaatkan sebagai angkutan umum, transportasi KA di kawasan Ponorogo dan Madiun juga dimanfaatkan untuk mengangkut gula dari pabrik gula dan minyak dari depo Pertamina. Beberapa pabrik gula yang beroperasi di sekitar jalur itu ialah Pabrik Gula Rejoagung, Kanigoro, dan Pagotan.

Menuju kebangkitan KA

Setelah ”kematian” jalur-jalur rel di sisi selatan Ponorogo dan sekitarnya, perkembangan perkeretaapian bergeser ke Madiun dan sekitarnya. Eksistensi perkeretaapian Madiun ditegaskan dengan keberadaan PT Industri Kereta Api (Persero) yang berdiri sejak 1981 di atas lahan bekas Balai Yasa bengkel lokomotif uap SS.

”Balai Yasa lokomotif uap pada 1981 diserahkan kepada pemerintah dan kemudian dijadikan pusat industri perkeretaapian (PT INKA),” ujar Sekretaris Perusahaan PT INKA Surjanto.

Beberapa hasil produksi PT INKA antara lain gerbong barang (1982), kereta penumpang (1985), kereta rel listrik (1987), KA Argo Bromo (1995), Ballast Hopper Wagon yang diekspor ke Thailand (1998), container wagon bodies dan Blizzar Center Sills yang diekspor ke Australia (2004), lokomotif diesel hidrolik CC 300 (2011), serta 150 kereta penumpang yang diekspor ke Banglades (2014).

Di Madiun, berdiri pula Akademi Perkeretaapian Indonesia (API). Institusi ini merupakan tempat penggemblengan calon-calon sumber daya manusia perkeretaapian nasional.

Direktur API Catur Wicaksono mengatakan, meski baru menerima dua angkatan taruna sejak 2014, semua calon lulusan API telah dipesan PT Mass Rapid Transit (MRT).

”API akan membangun jalur rel baru 2,5 kilometer menuju Stasiun Madiun dan PT INKA. Hal ini merupakan kesempatan baik untuk membangun kerja sama guna meningkatkan kualitas perkeretaapian kita,” kata Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno.

Artikel Lainnya