Hampir sepanjang 3.000 kilometer jalur rel kereta api kita telah dimatikan. Reaktivasi begitu indah untuk dibayangkan demi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Namun, ternyata tidak mudah menemukan sosok pemimpin yang berani menghidupkan kembali jalur-jalur rel mati itu.
Suatu siang pertengahan Maret 2015, Manajer Sekretariat Koperasi Pariwisata Ngabean Yogyakarta Krisnadi menyambut Kompas untuk memotret dan melihat-lihat kondisi bekas Stasiun Ngabean, di sebelah barat kawasan Keraton Yogyakarta. Bangunan yang diperkirakan didirikan sekitar tahun 1895 itu kini digunakan untuk mengelola paket perjalanan wisata dengan mobil minibus menuju Pagelaran, Keben, Magangan, dan Taman Sari, area wisata utama Keraton Yogyakarta.
”Pemerintah daerah sudah pernah membahas masalah pengaktifan kembali jalur kereta api melalui Stasiun Ngabean ini. Waktu itu tujuannya untuk menambah daya tarik pariwisata di Yogyakarta,” kata Krisnadi.
Stasiun Ngabean juga menyimpan sejarah penting. Menurut Tjahjono Rahardjo, anggota Indonesian Railway Preservation Society Semarang, yang juga dosen di Universitas Katolik Soegijapranata, Stasiun Ngabean pernah dilintasi kereta api jenazah Raja Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Paku Buwono X menuju tempat pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 1939.
Paku Buwono X lahir 29 November 1866 dan dinobatkan menjadi Raja Kasunanan Surakarta, 30 Maret 1893, pada usia 27 tahun. Masa kepemimpinannya 46 tahun hingga wafat pada 1 Februari 1939.
Semasa hidupnya, dia banyak bekerja di balik layar untuk mendukung pergerakan nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan. Salah satunya, dia menyokong pendirian organisasi Serikat Dagang Islam di Surakarta pada tahun 1905.
Selain sebagai penjaga kuat tradisi Jawa, Paku Buwono X juga dikenal sebagai pendorong modernisasi Jawa. Pada masanya, ia menciptakan sistem kredit rumah bagi warga kurang mampu.
Sejumlah pasar, stasiun kereta, rumah sakit, dan sekolah, seperti sekolah Pamardi Putri dan Kasatriyan, juga dibangun. Pasar Klewer dan Stasiun Solo Balapan termasuk warisannya.
Kenangan lain adalah dia dinilai berhasil mempersatukan trah Kerajaan Mataram, yang sejak 1755 terpecah jadi Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta.
Pundong dan Sewugalur
Rel dari arah Stasiun Tugu Yogyakarta ke Stasiun Ngabean, bercabang ke dua arah, yaitu rel menuju stasiun akhir di Pundong, Bantul, dan ke Sewugalur, Kulon Progo. Pada 1943 sampai 1944, rel dari Ngabean sampai ke Pundong sepanjang 27 kilometer dipreteli Jepang. Nasib tragis serupa dialami percabangan lain, yaitu rel dari Stasiun Palbapang di Bantul hingga Sewugalur sepanjang 5 kilometer.
Pada masa Hindia Belanda, keberadaan jalur rel tersebut berperan meningkatkan produksi tebu dan gula. Sebelum kereta api beroperasi saja, pada 1884 dilaporkan ekspor gula dari Yogyakarta mencapai 34.408 ton.
Produksi gula dari wilayah Yogyakarta pada masa Hindia Belanda mampu menyumbang 17 persen dari total ekspor gula dari Pulau Jawa ke Eropa. Ini diungkap Waskito Widi Wardojo dalam bukunya, Spoor Masa Kolonial (2014).
Dalam buku Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992, Iman Subarkah memaparkan, perusahaan swasta Hindia Belanda, Nederland Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), membangun lintasan rel dari Stasiun Tugu Yogyakarta ke Pundong dan Sewugalur tersebut. Pelaksanaannya bertahap.
Rel dari Stasiun Tugu Yogyakarta menuju Srandakan sepanjang 23 kilometer mulai digunakan pada 21 Mei 1895. Pembangunan rel berlanjut di Srandakan ke Brosot sepanjang 2 kilometer dan mulai digunakan pada 1 April 1915. Rel dari Brosot ke Sewugalur sepanjang 3 kilometer mulai digunakan pada 1 April 1916.
Pembangunan jalur Ngabean-Pundong juga terbagi dua tahap. Ngabean-Pasar Gede sepanjang 6 kilometer, mulai digunakan 15 Desember 1917. Kemudian dilanjutkan Pasar Gede-Pundong sepanjang 21 kilometer yang dioperasikan sejak 15 Januari 1919.
Bersama Asep Suherman, seorang pencinta kereta api yang pernah tergabung di Indonesian Railway Preservation Society, Kompas menyusuri bekas kedua jalur rel dari Stasiun Ngabean tersebut.
Jejak lintasan rel kereta api Ngabean-Pundong hampir tidak berbekas sama sekali. Asep lantas menunjukkan salah satu bekas fondasi jembatan rel kereta api di dekat Jalan Lingkar Selatan Yogyakarta, di Jalan Ngipik Raya, Karanglo, Banguntapan, Bantul.
Ketika menyusuri bekas jalur tersebut, Asep memanfaatkan penggabungan peta terkini dari Google Earth dengan peta lama jalur rel kereta api peninggalan Hindia Belanda.
Ada beberapa bekas jembatan sungai kecil untuk melintasi rel ke Pundong. Jembatan di Kali Bulus, Desa Paten, Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Bantul, misalnya, masih memperlihatkan fondasi kunonya. Namun, jalur rel lain sulit dikenali karena telah berubah menjadi lahan sawah atau jalan.
Untuk jalur Ngabean-Sewugalur, tidak terlalu sulit untuk melacaknya hingga Stasiun Palbapang, Bantul. Relnya masih ada, tetapi sebagian besar terpendam di dalam tanah.
Dari Palbapang, melewati Srandakan, lintasan rel kemudian menyeberang Kali Progo. Jembatan bekas jalur rel masih ada dan masih bisa dimanfaatkan warga. Namun, bagian tengah jembatan amblas sehingga kondisi beton di bagian tengah jembatan itu melengkung.
Di sebelah selatannya, sekarang dibangun jembatan baru untuk jalur utama kendaraan. Jejak jalur rel setelah menyeberangi Kali Progo juga masih terlacak. Di antaranya, berupa jembatan-jembatan kecil jalur rel untuk melintasi parit yang ada hingga menuju Sewugalur.
”Dulunya memang pernah ada rel kereta api di sini,” kata Hadi Subandi (78), warga Sewugalur. Jejak rel di Sewugalur sudah tidak berbekas.
Berdasarkan peta yang ditunjukkan Asep, perkiraan lokasi Stasiun Sewugalur sekarang sudah berubah menjadi SMP Negeri 2 Galur.
”Setiap stasiun yang ada di lintasan Ngabean ke Pundong dan Sewugalur ini hampir selalu memiliki percabangan lintasan rel ke sebuah pabrik gula. Itu sebabnya mengapa di Yogyakarta produksi gula terus meningkat sewaktu ada jalur rel kereta api yang juga digunakan untuk angkutan tebu ke pabrik-pabrik gula,” tutur Asep.
Baturetno
Titik akhir jalur rel kereta api di sebelah timur Pundong berada di Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Bersama ahli transportasi Djoko Setijowarno dari Universitas Katolik Soegijaranata, Semarang, Kompas berhasil melacak bekas Stasiun Baturetno, yang berjarak 19 kilometer dari Stasiun Wonogiri tersebut.
Untuk mencapai lokasi Stasiun Baturetno, kami harus memutar arah ke sisi timur Waduk Gajah Mungkur. Jalur relnya sekarang terendam waduk itu.
”Reaktivasi jalur rel yang terbenam waduk bisa dibuat dengan konstruksi jembatan di atas air. Jika dilakukan, ini menjadi potensi wisata yang menarik, menambah potensi wisata lain di Waduk Gajah Mungkur,” kata Djoko.
Suyati (61), salah satu warga yang tinggal di dekat bekas bangunan Stasiun Baturetno, mengatakan, terakhir kali kereta api bisa digunakan dari Baturetno ke Surakarta ketika ia duduk di kelas IV SD tahun 1966. Setelah itu tidak bisa lagi karena ada banjir besar yang merusak beberapa jembatan jalur rel kereta.
Krisnadi di Ngabean berpandangan serupa dengan Djoko Setijowarno. Keduanya menilai, jika pemerintah mampu menghidupkan dan memanfaatkan kembali jalur-jalur kereta api yang pernah ada itu, ada potensi pariwisata yang menguntungkan. Hanya saja, untuk itu, perlu keberanian.