Suatu sore senyap di Stasiun Kereta Api Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Sekilas, kawasan itu tampak biasa saja. Namun, setelah menyelisik ujung area stasiun, ternyata ada meja pemutar lokomotif yang unik. Alat ini mengarahkan lokomotif ke delapan jalur rel pendek menuju rumah parkir di dekatnya.
Itu satu-satunya di Indonesia. Itu menunjukkan kejayaan Deli Spoorweg Maatschappij, perusahaan swasta Belanda yang mengoperasikan angkutan kereta api di Sumatera Utara pada masanya,” kata Ibnu Murti Hariyadi, di Jakarta, Rabu (16/9). Ibnu adalah salah satu staf untuk Kelompok Kerja Bidang Sejarah pada Bidang Pelestarian Bangunan Sejarah Unit Pusat Pelestarian, Perawatan, dan Desain Arsitektur PT Kereta Api Indonesia.
Menurut dia, meja pemutar (turn table) di Depo Mekanik Stasiun Tebing Tinggi itu juga dikembangkan di negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Austria, dan Swiss.
Stasiun Tebing Tinggi resmi dioperasikan pada 1915. Pembangunan fasilitasnya tak kalah dengan Eropa waktu itu.
Suatu sore sekitar pukul 16.00 pada pertengahan tahun 2015, Kompas bersama Kepala Laboratorium Transportasi Universitas Soegijopranata di Semarang, Djoko Setijowarno, tiba di Stasiun Tebing Tinggi. Kami menyusuri jalur rel aktif dari Stasiun Medan menuju Stasiun Siantar di Pematang Siantar, yang mengarah ke wilayah Danau Toba. Suasana stasiun sangat sepi. Tidak ada calon penumpang dan hanya tampak dua atau tiga petugas.
”Ada sesuatu yang penting di sini,” kata Djoko, tanpa menguraikan apa maksudnya.
Setelah melewati pintu masuk stasiun, Djoko melangkah ke kanan menuju ujung area stasiun. Ternyata itu lokasi meja pemutar lokomotif tadi.
Meja pemutar lokomotif di beberapa stasiun atau depo mekanik kereta api di Indonesia pada umumnya memiliki satu jalur rel. Ini seperti di Stasiun Jatinegara, Stasiun Ambarawa, Stasiun Bedono, Stasiun Secang, dan sebagainya. Fungsinya untuk membalik arah lokomotif.
Meja pemutar lokomotif di Stasiun Tebing Tinggi ditujukan untuk mengatur posisi lokomotif memasuki delapan garasi. Ini menandakan kepemilikan lokomotif yang banyak untuk ditempatkan di garasi secara efisien.
Menurut Ibnu, pada masanya, perusahaan Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) memang memiliki banyak lokomotif. Selama beroperasi 55 tahun (antara tahun 1886 dan 1941) perusahaan itu tercatat memiliki 109 lokomotif dengan berbagai jenis, 10 kereta pembangkit tenaga, 223 rangkaian kereta penumpang, dan rangkaian gerbong angkutan barang yang sulit dipastikan jumlahnya.
Selama 55 tahun itu pula, DSM membangun secara bertahap jalur rel dari Stasiun Pangkalan Susu (ujung barat) hingga Stasiun Rantau Prapat (ujung timur) sepanjang 553,223 kilometer (km).
DSM menjadi satu-satunya perusahaan swasta Belanda yang mengoperasikan kereta api di Sumatera. Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda juga memiliki perusahaan Atjeh Stoomtram Staatspoorwegen (ASS) di Aceh, Staatsspoorweg ter Sumatra’s Westkust (SSS) di Sumatera Barat, serta Staatsspoorwegen in Zuid Sumatra (ZSS) di Sumatera Selatan dan Lampung.
Usaha tembakau
Riwayat pembentukan DSM bermula dari perusahaan perkebunan tembakau Deli, de Deli Maatschappij, yang berhasil meningkatkan ekspornya ke Eropa. Perusahaan itu kemudian membentuk DSM pada 28 Juni 1883, untuk memperlancar angkutan hasil perkebunannya ke pelabuhan untuk ekspor ke Eropa.
De Deli Maatschappij sebelumnya didirikan pada 24 Desember 1866 oleh pengusaha Belanda, Jahnsen, PW Clemen, dan Jacobus Nienhuys. Jacobus adalah seorang pengusaha tembakau dari Jawa yang memelopori pembukaan lahan perkebunan tembakau di Sumatera Utara. Tembakau deli dikenal sebagai tembakau pembungkus cerutu paling bagus di dunia.
”Saat itu, di Sumatera Utara bermunculan perusahaan asing, setelah Kesultanan Deli menyatakan takluk terhadap Pemerintah Hindia Belanda,” kata Ibnu.
Pada 7 Oktober 1865, Kesultanan Deli menandatangani perjanjian politik (Acte van Verbond) dengan Pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian menyebutkan, Sultan Deli harus taat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pemimpin lokal yang diangkat Sultan Deli jadi bagian koloni Kerajaan Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda sejak itu berhasil mengamankan wilayah di Sumatera Utara. Ini menjadi jaminan usaha bagi swasta ataupun Pemerintah Hindia Belanda.
Sekelas Eropa memudar
Menurut Ibnu, DSM ternyata menjadi satu-satunya perusahaan swasta Belanda yang masih diakui hingga beberapa tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Ini suatu hal yang jarang diketahui publik.
Pemerintah Indonesia melikuidasi DSM untuk digabung menjadi Perusahaan Negara Kereta Api pada April 1963. Lika-liku perjalanan perusahaan ini sangatlah pahit, setelah terjadi Perang Asia Pasifik 1942-1945 dan sesudah pernyataan Kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945. Belanda bersikukuh dalam berbagai diplomasinya untuk mempertahankan aset dan usahanya di Sumatera Utara melalui DSM. Ini berujung pada penyerahannya pada 1963.
DSM menjadi kenangan sejarah perusahaan perkeretaapian sekelas Eropa di Indonesia yang memudar. Namun, bekas kejayaannya masih tampak hingga sekarang di Stasiun Tebing Tinggi.
Meja pemutar lok di stasiun itu menjadi saksi bisu. Perkeretaapian di Indonesia sempat maju pada masa lalu. Tidak pernah terlambat untuk membangunnya kembali.