Susur Rel 2015

Susur Rel: Serajoedal Stoomtram Menyusuri Kali Serayu * Liputan Khusus Susur Rel 2015

·sekitar 4 menit baca

Tergerak hati Sumarjo (90-an) untuk menuturkan pengalamannya. ”Saya pernah naik kereta api SDS dari halte Mandirancang sampai Stasiun Maos. Waktu itu mahal sekali, harus membayar dua sen,” katanya. SDS adalah nama maskapai perusahaan kereta apinya, singkatan dari Serajoedal Stoomtram.

Karena uzur, Sumarjo terbata-bata saat bercerita. Sedikit sulit untuk disimak. Tetapi, luar biasa. Dari semula, ia hanya terduduk dan tampak tak menyimak wawancara Kompas dengan anaknya, Warsono (59), Minggu (1/11).

Warsono tinggal di Desa Mandirancang, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Rumahnya tidak jauh dari bekas jembatan jalur rel kereta api yang dahulu dioperasikan maskapai SDS. Dari arah Maos, jalur rel itu menuju Stasiun Purwokerto Timur hingga berujung di Stasiun Wonosobo, Jawa Tengah. Panjang jalur rel dari Maos ke Wonosobo 119,2 kilometer (km).

Jalur itu melintasi Banjarsari. SDS membuat lintasan cabang dari Stasiun Banjarsari ke Stasiun Purbalingga sepanjang 6,5 km. Total panjang rel milik SDS sejak dibangun mulai 1896 sampai 1943 adalah 125,7 km. SDS membangun sebagian besar jalur relnya mendekati pinggir Kali Serayu dari wilayah Maos menuju hilirnya di Wonosobo.

”Sewaktu saya kecil, sekitar tahun 1960, masih dijumpai bantalan rel di atas jembatan kereta api SDS ini. Dulu, namanya jembatan merah, karena dicat berwarna merah, dan sekarang sudah diganti cat berwarna abu-abu,” kata Warsono.

Ketika itu Sumarjo duduk tidak jauh dari posisi kami. Di tengah perbincangan itu, tiba-tiba saja Sumarjo nyeletuk, ”Saya pernah naik kereta api SDS.”

Sumarjo seperti tersentak ketika mengingat sepenggal masa lalunya terkait kereta api itu. Sumarjo berulang kali menyebut, naik kereta api saat itu sangatlah mahal. Tiket itu terlampau mahal, sekalipun untuk pribumi dengan harga tiket termurah di kelas 3.

Sumarjo mengingat, uang dua sen untuk naik kereta api dari halte Mandirancang ke Stasiun Maos itu dari penjualan hasil bumi di Pasar Notog, tak jauh dari tempat tinggalnya di Desa Mandirancang.

Sumarjo mengingat bentuk uang dua sen itu. Dua keping yang berlubang di tengahnya.

Jika dirunut masa operasional kereta api SDS dari Stasiun Maos melintasi halte Mandirancang sampai Stasiun Purwokerto Timur, itu hanya berlangsung antara 1896 sampai 1943. Tentu mata uangnya masih gulden Belanda.

Pada tahun 1943, Pemerintah Pendudukan Jepang memereteli rel dari Stasiun Maos sampai Stasiun Purwokerto Timur. Jarak Stasiun Maos sampai Stasiun Purwokerto Timur sepanjang 29 km.

Dari Stasiun Maos hingga Stasiun Purwokerto Timur melintasi tujuh halte meliputi Pasar Maos, Slempang, Sampang, Gambarsari, Mandirancang, Patikraja, dan Karanggude.

Ada jembatan kereta api untuk menyeberangi Kali Serayu di antara halte Mandirancang ke Patikraja. Sumarjo mengingat jembatan itu pernah patah dihantam bom Jepang.

”Belanda kemudian datang lagi dan membenahi jembatan itu,” kata Sumarjo.

Mengapa Belanda yang membenahi? Karena lanjut usianya, Sumarjo tampak kesulitan untuk menjelaskannya.

Terowongan Kebasen

Di wilayah Kebasen, hingga sekarang masih terdapat terowongan Kebasen yang berangka tahun 1915. Ini masih aktif digunakan untuk jalur kereta api dari Purwokerto menuju Kroya sampai sekarang.

Bersama Kepala Laboratorium Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, Kompas menilik lokasi itu. ”Terowongan itu dibuat maskapai kereta api milik pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS), tahun 1915. Di sampingnya, ada jalur SDS,” kata Djoko.

Terowongan Kebasen berjajar dengan Kali Serayu, berjarak sekitar 15 meter. Di antara terowongan dan Kali Serayu itulah semula terdapat jalur kereta api milik SDS yang kemudian dipereteli Jepang tahun 1943.

Di dekat terowongan itu sekarang terdapat Bendung Gerak Kali Serayu. Terbayang, betapa ketika itu jalur kereta api di lokasi tersebut benar-benar ada di pinggir Kali Serayu.

Panorama keindahan Kali Serayu dan bebukitan hijau menjadi bonus ketika menaiki kereta api. Pada waktu itu, jalur SDS banyak mengangkut hasil bumi dan gula untuk dibawa ke Stasiun Maos, kemudian dibawa kereta api milik SS ke Pelabuhan Cilacap untuk diekspor ke Eropa.

Di tengah kota Purwokerto, maskapai SS membangun stasiun, yang kemudian dihubungkan dengan Stasiun Purwokerto Timur milik SDS. Pada masanya, jalur Stasiun Purwokerto di tengah kota itu terhubung hingga Stasiun Wonosobo memakai sebagian besar jalur yang semula dibangun SDS.

Stasiun Wonosobo

Stasiun Wonosobo menjadi ujung jalur SDS. Bangunan bekas Stasiun Wonosobo masih dapat dijumpai dan digunakan warga untuk bengkel dan pertokoan. ”Di salah satu ujung dinding stasiunnya masih ada tulisan ’Wonosobo’. Hurufnya sudah tidak terlihat jelas, tapi masih terbaca,” kata Djoko.

Lahan di sekeliling stasiun itu sudah dipenuhi permukiman. Banyak warga menempati tanah milik PT Kereta Api Indonesia. Sebagian mereka mengatakan suatu saat siap berpindah seandainya jalur kereta api itu kembali diaktifkan.

Jalur kereta api dari Stasiun Purwokerto Timur ke Stasiun Wonosobo itu tidak diaktifkan sejak tahun 1978. Pengaktifan kembali jalur ke Wonosobo, menurut Djoko, berpeluang untuk dihubungkan dengan stasiun terdekat di jalur lainnya, yaitu Stasiun Parakan di Temanggung, Jawa Tengah. Jalur dari Parakan sampai Stasiun Secang, Magelang, pernah aktif pada 1907 sampai 1973.

Gagasan Djoko ini mencakup reaktivasi dan inovasi atas jalur mati kereta api.

Artikel Lainnya