Susur Rel 2015

Susur Rel: Stasiun Juwana Menaungi Pengungsi Banjir * Liputan Khusus Susur Rel 2015

·sekitar 5 menit baca

Tak habis-habisnya Mohammad Hasyim (44) mengecam peristiwa puluhan tahun lalu ketika serombongan orang menggunakan surat palsu untuk menipu masyarakat setempat. Mereka kemudian membongkar kompleks bangunan Stasiun Juwana, Jawa Tengah, menjarah kayu-kayu jati dan besi baja.

Sampai sekarang hanya tersisa bangunan peron. Warga tetap akan mempertahankan bangunan ini, sekalipun secara resmi PT Kereta Api Indonesia yang ingin membongkarnya. Tempat ini sudah menjadi penampungan warga setiap kali terkena banjir luapan Kali Juwana,” kata Hasyim, Senin (2/11), ketika ditemui di Stasiun Juwana.

Ketika itu truk-truk besar terparkir di bawah naungan atap peron Stasiun Juwana. Di sisi lainnya digunakan untuk lapangan badminton.

Hasyim tidak mengingat persis kapan tahun pembongkaran kompleks stasiun tersebut. Ia menceritakan, pada suatu malam datang serombongan orang menunjukkan surat pembongkaran kompleks Stasiun Juwana. Surat yang ditunjukkan itu dari kantor Daerah Operasi (Daop) 4 Semarang perusahaan pengelola kereta api pada waktu itu.

Polisi sama sekali tidak mengetahui rencana pembongkaran itu dan membiarkannya berlangsung. Siang-malam serombongan orang itu melepas konstruksi besi dengan las dan mencopot balok-balok kayu jati kemudian dibawa pergi menggunakan truk-truk.

”Semula ada bangunan depo yang sangat besar. Semua kayu jati dan besi-besi bajanya habis dibongkar dan dibawa pergi,” kata Hasyim, yang memiliki ayah seorang pekerja perkeretaapian di Stasiun Juwana pada masa lalu.

Ada pula jembatan kereta api di Kali Juwana. Hasyim menyebutkan, ”para mafia” itu juga memereteli jembatan itu sampai ludes.

Jurnatan

Stasiun Juwana salah satu stasiun terbesar milik perusahaan Semarang-Juwana Stoomtram (SJS). SJS memiliki satu di antara tiga stasiun terbesar di Semarang, yaitu Stasiun Jurnatan. Selain itu, Stasiun Tawang milik perusahaan Nederlands(ch)-Indische Spoorweg (NIS) dan Stasiun Poncol milik Semarang Cheribon Stoomtram atau SCS.

Stasiun Jurnatan sudah lenyap. Sekarang tergantikan deretan bangunan ruko di Jalan Agus Salim, kawasan Pasar Johar, Semarang.

SJS ini perusahaan swasta kedua pada masa Hindia Belanda setelah NIS. NIS memperoleh konsesi dari Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1862, dan mengoperasikan kereta api pertama kali pada tahun 1867. SJS mendapatkan konsesi serupa pada tahun 1881.

Pada masa Hindia Belanda, perkeretaapian terus berkembang hingga akhirnya melibatkan sebanyak 18 perusahaan pada tahun 1901. Pemerintah Hindia Belanda memiliki perusahaan pengelola transportasi kereta api, Staats Spoorwegen (SS), sejak 6 April 1875 dengan rute pertama dari Surabaya ke Pasuruan pada 16 Mei 1878. Dilanjutkan dari Pasuruan ke Malang, selesai pada 20 Juli 1879.

Sebelum kemunculan SS, NIS mengalami kesulitan finansial untuk pembangunan jalur rel. Hal ini membuat perusahaan swasta lain kurang tertarik menanamkan investasi untuk perkeretaapian. Pemerintah Hindia Belanda lantas membuat perusahaan sendiri, yaitu SS. Kemudian NIS menunjukkan keberhasilan dan meraih keuntungan atas pengoperasian maskapainya. Hal ini mendorong perusahaan swasta lain ikut mengajukan konsesi itu.

Tram SJS

Setelah mengantongi konsesinya, SJS pada mulanya membangun jaringan tram di Kota Semarang. Jalur tram sepanjang 8 kilometer dibangun dari Jomblang-Jurnatan-Bulu pada tahun 1882-1883.

Menurut Ketua Yayasan Kereta Anak Bangsa Aditya Dwi Laksana, SJS juga mengerjakan jalur rel ke pelabuhan di Semarang. Dari Stasiun Jurnatan, SJS mengembangkan jalur ke Demak-Kudus-Pati-Juwana antara 1883 dan 1884 sepanjang 87 kilometer. Tahun 1887 dibuat lintas percabangan dari Kudus ke Mayong. Berikutnya, dari Demak ke Purwodadi hingga Blora hingga tahun 1894. Dari Stasiun Juwana dibangun cabang pelintasannya hingga Tayu pada 1899-1900.

Pada tahun 1900 itu pula, SJS memperpanjang lagi jalur dari Juwana ke Rembang dan Lasem. Lalu dilanjutkan lagi dengan jalur dari Lasem ke Pamotan dan Jatirogo selesai tahun 1919.

”Wilayah operasional SJS memiliki komoditas utama kayu jati, gula, dan kapuk. Perusahaan ini sangat untung dan mampu bertahan hingga Jepang masuk tahun 1942,” kata Aditya.

SJS juga diuntungkan dengan adanya komoditas minyak dari wilayah Cepu. Perusahaan itu membangun jalur rel dari Cepu Kota ke Blora, lalu dilanjutkan ke Rembang sepanjang 70 kilometer pada tahun 1901-1902.

”SJS kemudian juga membangun lintasan kereta api dari Stasiun Juwana menuju pelabuhan Juwana. Tetapi, pada mulanya, ekspor komoditasnya masih dari pelabuhan di Semarang,” kata Aditya.

Stasiun Demak

Stasiun Demak sebagai stasiun besar milik SJS setelah dari Stasiun Jurnatan. Ketika mengunjungi bekas Stasiun Demak awal November 2015 lalu, kondisinya terbengkalai.

Lokasi itu pernah difungsikan sebagai kafe. Kursi dan meja makan masih tampak. Sampah bekas sajian makanan masih berhamburan. Pada dinding fasad depan terpampang tulisan Stasiun Angkasa. Di halaman depan masih dihiasi berbagai macam tanaman hias.

Ketika Kompas mengunjungi lokasi itu, sama sekali tidak ada penjaganya. Dalam kekumuhannya, Stasiun Demak masih menunjukkan kemegahan masa lalunya.

Dari Stasiun Demak, perjalanan dilanjutkan ke cabang lintasan ke Stasiun Mayong. ”Bangunan Stasiun Mayong sudah dipindahkan ke Ambarawa,” kata Badri (63), mantan pekerja perkeretaapian yang tinggal di belakang Stasiun Mayong.

Maksud Badri, Stasiun Mayong yang dibuat dengan konstruksi kayu itu kini berada di Losari, perkebunan kopi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Bangunan stasiun itu disewa untuk mempercantik kawasan wisata perkebunan kopi.

”Pada tahun 1963, kereta api masih banyak digunakan untuk mengangkut balok-balok kayu jati. Ada juga kelapa, karung goni, dan beras,” kata Badri. Namun, Stasiun Mayong sekarang sudah tidak berbekas.

Selanjutnya, di Stasiun Kudus, masih ada bangunan stasiun yang tampak megah. Bahkan, masih ada papan bertuliskan ”Kudus”.

”Setahu saya, Pemerintah Kabupaten Kudus menyewa lahan sekitar 1 hektar milik PT Kereta Api Indonesia yang digunakan untuk tiga pasar tradisional. Salah satunya di Stasiun Kudus ini,” kata Mohammad Toha, petugas pasar di Stasiun Kudus.

Jadi tempat usaha musik

Menarik sekali ketika bergeser ke Stasiun Pati. Bangunan permukiman penduduk mengelilingi bekas Stasiun Pati. Bangunan stasiun itu sendiri sudah direnovasi sedemikian rupa sehingga menjadi tempat usaha hiburan musik hidup.

Bentuk asli Stasiun Pati sulit dilacak. Di dekat bangunan itu, terdapat lahan milik Perhutani untuk menimbun potongan-potongan kayu jatinya.

Perjalanan beranjak ke stasiun berikutnya, di Stasiun Juwana. Dari Stasiun Juwana, menuju Stasiun Rembang. Seperti Stasiun Kudus, Stasiun Rembang sudah dialihfungsikan untuk pasar tradisional.

Banyak di antara warga yang ditemui di beberapa stasiun itu, berujar, sudah sering bangunan dan jalur kereta api itu disurvei. Ada yang menaruh harap untuk diaktifkan kembali. Setidaknya warga masih tetap berusaha menjaga peninggalan perkeretaapian kita masa lalu untuk parkir truk, pasar, usaha hiburan, dan sebagainya.

Artikel Lainnya