Banyuwangi, ”kota osing” itu, memiliki jalur kereta api aktif hingga Jember dan Surabaya. Dulu, jaringan kereta di ”Bumi Blambangan” lebih komplet lagi, menyambungkan desa dengan desa, pasar dengan pasar, hingga ke Benculuk, titik paling selatan jalur kereta Pulau Jawa.
Betapa riuhnya Banyuwangi dulu, ketika kapl-kapal saudagar bersandar di Pelabuhan Boom, 9 kilometer dari Pealabuhan Ketapang ke arah selatan.
Pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan Pelabuhan Boom, yang terletak di sisi timur kota Banyuwangi, sebagai pelabuhan bagi kapal penyeberangan ke Bali. Pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, pelabuhan ini bahkan menjadi tempat singgah saudagar-saudagar antardaerah dan antarnegara. Kapal-kapal bermuatan kopra serta perahu nelayan berbaur.
Untuk mengangkut barang dagangan, Belanda memang harus membangun jalur kereta api dari Pelabuhan Boom ke Stasiun Banyuwangi lama yang kini telah berubah menjadi kompleks pertokoan. Jaraknya hanya 1 kilometer. Pemerintah juga mendirikan halte kecil di pelabuhan, Halte Banyuwangihaven.
Kompas bersama Aditya Dwi Laksana dan Gurnito Rakhmat Wijokangko dari Komunitas Anak Bangsa pada awal Maret 2016 mencoba mencari letak Halte Banyuwangihaven dengan bertanya kepada penduduk sambil mencocokkannya dengan peta jalur KA milik Belanda. Hasilnya, nihil. Bangunan telah rata dengan tanah sehingga kami hanya bisa mengira-ngira.
”Di sana, mungkin,” kata Baco, buruh pelabuhan asal Makassar yang telah puluhan tahun menetap di Banyuwangi. Ia menunjuk ke satu titik. Mungkin? Bagaimana mungkin di sana?
Jalur percabangan
Jalur nonaktif Banyuwangi-Kabat sepanjang 10 kilometer yang dibuka pada 2 Februari 1903, jalur Rogojampi-Srono sejauh 13 kilometer (dibuka pada 26 Oktober 1921), serta Srono-Benculuk sepanjang 18 kilometer (dibuka pada 1 November 1922) merupakan jalur percabangan yang cukup penting. Namun, karena kurang ramai, jalur Rogojampi-Srono-Benculuk ditutup pada 1976, sedangkan jalur Kabat-Banyuwangi ditutup pada 1988.
Merujuk buku De Stoomtractie op Java en Sumatra karangan JJG Oegema (1982), pembukaan jalur KA di Jawa Timur oleh Staatsspoorwegen, sebuah perusahaan KA milik Pemerintah Hindia Belanda, dimulai dari Surabaya hingga Pasuruan pada 1878. Pembangunan dilanjutkan ke Malang yang dibuka pada 1879; Blitar dan Probolinggo (1884); serta Jember, Bondowoso, dan Panarukan (1897). Pembangunan jalur kereta terakhir dilakukan di Banyuwangi (1903).
Panjang rel KA dari Surabaya ke Banyuwangi mencapai 317 kilometer. Ruas lintas cabang Rogojampi-Benculuk sepanjang 18 kilometer menyusul kemudian.
Di jalur nonaktif antara Banyuwangi dan Benculuk ada satu ruas dari Rogojampi-Kabat sejauh 4 kilometer yang masih aktif. Kabat menghubungkan
jalur buatan Belanda dengan jalur baru yang dibangun Pemerintah Indonesia melalui PJKA.
Pembangunan jalur kereta dari Kabat ke Stasiun Banyuwangi Baru, melalui stasiun kecil Karangasem dan Argopuro sejauh 10 kilometer, dikerjakan pada 1985. Stasiun Banyuwangi Baru yang berjarak hanya 400 meter dari Pelabuhan Ketapang ini tentulah sangat strategis.
Jalur lapuk
Kami selalu mengalami hal ini ketika menyusuri rel-rel kereta di pinggir jalan yang tiba-tiba lenyap di perkampungan warga: pandangan mata bertanya sekaligus curiga. ”Apakah jalur kereta mau dihidupkan lagi? Apakah kami mau digusur? Apakah Anda dari PT KAI?”
Hal ini kami alami ketika menyusuri rel sepanjang Rogojampi-Srono-Benculuk, lalu jalur di Lumajang-Ambulu serta Malang dan Kediri pada hari-hari berikutnya.
Paling seru jika kami harus melewati gang-gang sempit, tersesat, dan berhenti sesaat. Lega kalau bisa menemukan bangunan bekas stasiun yang meski kotor dan lapuk, bentuk aslinya masih terlihat.
Stasiun Srono, misalnya, kini menjadi Toko Sumber Rezeki milik Asmanul. Interior stasiun masih ada. Di sisi jalan di sepanjang Rogojampi-Srono, rel-rel kereta tampak utuh. Ada rel kereta yang masih menggantung, seperti di Jembatan Jokopekik di Jalan Mangir.
Sesampai di Benculuk, kami kembali mencari, blusukan hingga ke hutan yang penuh pohon-pohon tua, hingga bertemu Suhaini (64), warga setempat. Ia dengan ceria mengisahkan pengalaman masa kecilnya, mandi di keran air dekat stasiun, saban sore.
”Dulu saya suka naik kereta sampai Rogojampi. Sayangnya, tahun ’70-an sudah tidak ada. Seharusnya kereta bisa mengantarkan turis ke titik-titik wisata. Potensi wisata di Benculuk ini banyak. Ada Pantai Plengkung, Teluk Hijau, dan Pantai Merah,” tutur Suhaini.
Menurut Aditya, belum ada rencana pemerintah untuk mengaktifkan kembali jalur Banyuwangi-Kabat dan Rogojampi-Benculuk. Pemerintah belum merencanakannya mungkin karena jalur yang pendek itu kurang bermanfaat, tidak sebanding dengan biaya untuk mengaktifkannya kembali. Hal senada dikatakan Ilham Zoebazary, pengajar di Universitas Jember, Jawa Timur. Menurut dia, sudah ada jalur aktif Banyuwangi-Jember yang ramai ditumpangi mahasiswa Universitas Jember asal Banyuwangi.
Kondisi tersebut sudah mencukupi. ”Kalau alasan pengaktifan kembali jalur mati itu untuk pariwisata, alasan tersebut kurang kuat. Masyarakat kelas bawah tidak terlalu membutuhkan rekreasi. Jalur Banyuwangi-Jember ramai, tetapi bukan untuk rekreasi,” ujarnya.
Jadi, biarlah yang lapuk makin lapuk?