Titi Gantung adalah jembatan buatan Hindia Belanda yang melintas di atas jaringan rel di Stasiun Kereta Api Medan, Sumatera Utara. Peninggalan bersejarah itu menjadi saksi atas perubahan kota, termasuk pembangunan jembatan penyeberangan orang di dekatnya yang tak kunjung diselesaikan.
”Titi juga berarti jembatan. Masyarakat sering memanfaatkan Titi Gantung ini untuk menikmati pemandangan dan lalu lalang kereta api di Stasiun Medan,” kata Gregorius Helmy Widya Pamungkas, ketua pencinta kereta api dari Komunitas DivreI Railfans di Medan, Sumatera Utara, akhir April 2015.
Bersama rekan komunitasnya, Rifky dan Tri Prabowo, Widya siang itu mengajak Kompas menyusuri Titi Gantung di atas keramaian jalur kereta api di Stasiun Medan. Jembatan tersebut menggunakan rangka baja. Panjangnya sekitar 50 meter, tinggi sekitar 8 meter, dan lebar sekitar 5 meter.
Ada sarana unik yang disiapkan di situ, yaitu tangga untuk pejalan kaki. Untuk pengendara sepeda motor, disediakan jalur landai untuk naik ke jembatan. Ruang di bawah kolong jembatan menjadi jalan untuk mobil dengan jalur memotong jaringan rel kereta api.
”Jalur mobil sudah ditutup sejak lama,” kata Widya.
Siang itu, bagian atas jembatan dipenuhi para pedagang minuman dan makanan. Para pengendara sepeda motor juga banyak yang berhenti untuk sekadar nongkrong menikmati pemandangan.
Sebuah prasasti di sisi barat jembatan bertuliskan, ”Titi Gantung. Dibangun pada tahun 1885. Berfungsi sebagai jembatan penyeberangan dari daerah Kesawan menuju Jalan Jawa. Dinas Kebudayaan dan Pendidikan Kota Medan”.
Ketika menuruni Titi Gantung di sisi barat, ada sebuah jembatan penyeberangan orang yang masih buntung alias belum rampung dibangun. Jembatan tersebut dirancang untuk menghubungkan lokasi parkir di Alun-alun Merdeka ke Stasiun Medan. Namun, pembangunannya tak kunjung diselesaikan.
Kesepakatan dijalin antara Pemerintah Kota Medan dan PT Kereta Api Indonesia (Persero). Pembangunan jembatan di bagian luar stasiun menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota Medan. Sementara pembangunan di wilayah stasiun menjadi tanggung jawab PT KAI.
”Kami tidak ingin menyelesaikan jembatan itu karena tak ingin menggunakan Alun-alun Merdeka untuk lahan parkir stasiun. Rencana kami, lahan parkir akan dibangun di lahan kami yang sekarang sedang dipersengketakan di Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur,” kata Kepala Divisi Regional I PT KAI Sumatera Utara dan Aceh Saridal di Medan, beberapa waktu lalu.
”Piknik” perkeretaapian
Desain Titi Gantung yang unik sekaligus fungsional itu mewarnai kehidupan masyarakat Medan. Selain untuk jembatan penyeberangan, jembatan ini sering kali digunakan sebagai tempat ”piknik” menikmati perkeretaapian.
Pada waktu sore hari, banyak keluarga yang membawa anak-anak melihat-lihat kereta api di stasiun dari jembatan. Ini sisi lain dari sebuah stasiun.
Pada kenyataannya, setiap stasiun kereta api di mana pun selalu menjadi daya tarik bagi masyarakat, terutama yang ada di sekitarnya. Kegiatan di dalam stasiun, terutama melangsir lokomotif, menjadi pemandangan yang paling sering dinikmati masyarakat.
Emplasemen atau ruang parkir kereta api kerap menjadi lokasi pilihan masyarakat untuk menikmati pemandangan di stasiun. Lokasi emplasemen kurang aman karena masyarakat kadang bisa masuk jalur rel.
Di Titi Gantung, masyarakat justru akan selalu aman untuk menikmati pemandangan stasiun. Belanda merancang jembatan semacam ini di Medan tentu sebagai upaya untuk menjamin keselamatan masyarakat.
Menurut Widya, penyebutan angka tahun pembuatan Titi Gantung pada tahun 1885 pada prasasti sebenarnya masih kontroversial. Ada informasi lain yang menyebutkan, Titi Gantung dibangun dan diresmikan bersamaan dengan Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta Belanda di Sumatera Utara, yakni Deli Spoorweg Maatschappij pada tahun 1920. Gedung tersebut saat ini menjadi Kantor Pusat PT KAI Divisi Regional I Sumatera Utara dan Aceh.
”Tahun 1886, pembangunan jaringan perkeretaapian baru diselesaikan antara Stasiun Labuhan dan Stasiun Medan. Arah jalurnya ke utara, berlawanan dengan arah jalur yang dilintasi Titi Gantung,” kata Widya.
Utara didahulukan
Pembangunan jalur kereta api ke arah utara dari Stasiun Medan ternyata lebih didahulukan dibandingkan dengan jalur ke arah selatan. Setelah jalur Medan ke Labuhan dan diperpanjang sampai Pelabuhan Belawan sepanjang 24 kilometer usai, baru dilanjutkan pembangunan jalur rel dari Medan ke Binjai sepanjang 21 kilometer dan diresmikan pada 1 Mei 1887.
Belanda lantas membuat jalur baru lagi dari Stasiun Medan menuju Stasiun Deli Tua hingga berakhir di Stasiun Batu, sepanjang 14 kilometer. Jalur ini dioperasikan 4 September 1887.
Jalur kereta api dari Stasiun Medan ke selatan, ke Stasiun Serdang, baru diresmikan 1 Juli 1889. Menurut Widya, kecil kemungkinan Titi Gantung itu dibuat pada tahun 1885 sebagaimana tercantum pada prasasti buatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Medan.
”Arsitektur Titi Gantung perpaduan antara budaya Tiongkok dan Belanda. Ini punya daya tarik historis,” kata Widya.
Stasiun Medan juga memiliki ikon pemandangan menarik lain, seperti jam menara dan lokomotif kuno di sisi barat laut stasiun. Lokomotif uap itu bertipe 2-6-4T buatan Hartmann dari Chemnitz, Jerman, tahun 1914. Warisan-warisan tersebut menandai sekaligus menjadi saksi atas perjalanan dunia perkeretaapian Indonesia.