Jaringan rel kereta api dan trem di Jakarta pernah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda sekelas jaringan rel transportasi massal di kota-kota Eropa. Sebuah peta kuno milik Belanda tentang jalur kereta api dan trem di Batavia sekitar tahun 1941 menunjukkan hal itu.
”Sistem transportasi massal berbasis rel yang masih digunakan di kota-kota Eropa, pernah ada di Jakarta. Jika jaringan rel tetap dipelihara dan dikembangkan, Jakarta tidak akan macet seperti sekarang,” kata Taufik Hidayat, peneliti perkeretaapian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Senin (17/3), di Bandung.
Peta itu menggambarkan jaringan rel kereta api melingkari Jakarta dengan simpangan-simpangan ke luar kota. Simpangan meliputi jalur rel kereta api menuju Tangerang melalui Stasiun Duri. Simpangan jalur rel kereta api ke Anyer Kidul melalui Rangkasbitung dibuat dari Tanah Abang melalui Palmerah, Kebayoran, dan seterusnya.
Simpangan ke Bekasi, Karawang, Cirebon, Semarang, dan seterusnya dibuat melalui Stasiun Jatinegara ke arah timur. Dari Stasiun Jatinegara ke arah selatan ke Stasiun Pasar Minggu menjadi simpangan jalur rel kereta api ke Bogor terus berlanjut ke Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan seterusnya.
Di bagian utara ada simpangan ke Stasiun Tanjung Priok. Jalur ini penting untuk mendistribusikan penumpang dan barang dari atau ke pelabuhan.
Jaringan trem
Jaringan rel kereta api jarak pendek (trem) juga tampak di peta pada 1941 itu, menghubungkan lokasi-lokasi strategis di Jakarta. Dari pintu gerbang Amsterdam Poort di Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, jalur trem ke selatan melintasi pusat kota Batavia.
Pada peta itu di kota Batavia ada percabangan trem menuju Asemka hingga Jembatanlima, kemudian dari kota Batavia ke selatan melintasi Jalan Gajah Mada hingga ke sejumlah percabangan.
”Jalur-jalur trem yang ada pada waktu itu akan sangat membantu transportasi masyarakat Jakarta. Dengan perkembangan permukiman makin ke selatan seperti sekarang akan membutuhkan pengembangan jalur trem,” kata Taufik.
Tumbuh dan berkembang
Sarana perkeretaapian peninggalan masa kolonial Belanda saat ini bukan hasil perencanaan dari awal. Stasiun-stasiun dengan jalur rel kereta api tumbuh dan berkembang ke arah yang makin sempurna menyesuaikan kebutuhan zaman.
”Jejak rel kereta api pertama yang masih terlacak di Pinangsia, Jakarta Barat, itu hanya bagian dari simpangan 16 jalur ke Stasiun Pusat Batavia Hoofdstation dari Stasiun Gambir waktu itu,” kata Adhitya Hatmawan, anggota tim ahli sejarah pada Pusat Pelestarian dan Desain Arsitektur PT Kereta Api Indonesia (KAI Persero).
Hoofdstation yang mulai dioperasikan pada 1871 kemudian disebut sebagai Stasiun Batavia Noord (Utara). Pada 1887, dibangun dan mulai dioperasikan Stasiun Batavia Zuid (Selatan). Bekas lokasi Stasiun Batavia Utara sekarang menjadi lahan parkir gedung BNI Jakarta Kota. Stasiun Batavia Selatan berubah menjadi Stasiun Jakarta Kota, masih dioperasikan sampai kini.
Stasiun Batavia Noord milik perusahaan swasta Nederlanche Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Stasiun Batavia Zuid dibangun perusahaan swasta Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS).
Stasiun Zuid berjarak sekitar 200 meter di selatan Batavia Noord. Sesuai nama pemiliknya, perusahaan BOS, stasiun itu dikenal sebagai Stasiun Beos (dibahasakan dari singkatan BOS).
Stasiun Batavia Zuid melayani transportasi kereta api dari Batavia menuju Bekasi dan Karawang. Selain perusahaan swasta NIS dan BOS, ada perusahaan Pemerintah Belanda yang mengoperasikan jalur kereta api, Staatspoorwegen (SS).
SS pada 1877 dikontrak Departemen Pembangunan Kelautan Batavia untuk membangun jalur kereta api dari Stasiun Kleine Boom di Pasar Ikan sampai Tanjung Priok. Pada 1885, SS mengambil alih pengelolaan jalur kereta api dari Batavia menuju stasiun dan pelabuhan di Tanjung Priok.
Pada 1897, SS membeli dan mengambil alih Stasiun Batavia Zuid dan jalur kereta api milik BOS. Pada 1913, SS membeli jalur kereta api Batavia-Buitenzorg (Bogor) milik NIS, meski NIS tengah meraih banyak keuntungan dari jalur itu.
Pada 1915, muncul keinginan SS menyatukan Stasiun Batavia Noord dan Batavia Zuid. Menyusul rencana membuat stasiun kereta layang dari Stasiun Sawah Besar sampai Batavia. Rencana jalur layang kereta api ini tidak terlaksana, hingga tahun 1923, SS menetapkan pembangunan stasiun utama untuk mempersatukan Stasiun Batavia Noord dan Batavia Zuid.
Pada 1923, Stasiun Batavia Zuid dirobohkan dan mulai dibangun stasiun utama. Operasional kereta api diarahkan ke Stasiun Batavia Noord sehingga emplasemen ditingkatkan menjadi 16 jalur rel kereta api.
Tahun 1924, terjadi skandal penyelewengan uang negara untuk pembangunan stasiun utama Batavia sebesar 40,5 juta gulden. Urusan ini mampu diselesaikan, hingga 8 Oktober 1929 stasiun baru diresmikan dengan nama Stasiun Benedenstad, sekarang dikenal sebagai Stasiun Jakarta Kota (Beos).
Setelah Stasiun Benedenstad dioperasikan, Stasiun Batavia Noord ditutup dan dibongkar. Tahun 1925, di Stasiun Batavia Noord sempat dibuat elektrifikasi dengan jaringan Listrik Aliran Atas. Elektrifikasi jalur kereta api ini terus berkembang, terutama untuk jalur-jalur trem wilayah perkotaan Jakarta.
Kini, pada era Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dimulai pembangunan mass rapid transit (MRT). Ini seperti trem masa lalu dengan pengembangan teknologi dan jalur-jalur baru.