Santa dyuh santa prthivi,
santam idam urvantariksam,
santa udan vatir apah,
santa nah sautu osadih.
“Semoga langit penuh damai, semoga bumi bebas dari gangguan-gangguan, semoga suasana lapisan udara yang meliputi bumi yang luas menjadi tenang, semoga perairan yang mengalir menyejukkan, dan semoga suasana tanaman dan tumbuhan menjadi bermanfaat untuk kami.” (Kitab Atkarvaveda XIX.9.1)
Pesan suci ini yang teringat saat mengunjungi Desa Pemuteran di Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali. Desa sederhana yang tenang. Di desa yang ditempuh 3-4 jam dari Denpasar atau 1-2 jam dari Banyuwangi, Jawa Timur, ini pernah mengalami langsung pahit dan manisnya mengelola laut.
Mereka tidak akan melupakan kisah pahit berupa tragedi busung lapar karena hilangnya sumber makanan, baik di darat maupun laut. Peristiwa yang berlangsung pada tahun 1980-an itu menjadi momentum berbenah diri dalam relasi dengan lingkungan demi memperbaiki hubungan dengan sesama manusia serta Sang Pencipta.
Mengunjungi Desa Pemuteran saat ini akan sulit memercayai bahwa desa yang kini makmur dari usaha pariwisata berkualitas lewat wisata selam tersebut dulunya pernah memiliki anak-anak yang kekurangan pangan. Kenangan masa sulit itu sangat membekas di memori Made Gunaksa (45).
Seperti masuk ke perangkap lingkaran setan, masyarakat dengan motif mengisi perut kala itu mengambil manfaat dari laut dengan cara yang destruktif. Bom dipakai untuk mencari ikan sehingga merusak terumbu karang. Sebagian karang juga diambil untuk bahan bangunan. Karang yang diambil nantinya diolah menjadi kapur dan butuh diolah di dalam tungku dan butuh kayu untuk dibakar. Kayu-kayu tersebut datang dari hutan.
Makanan kami adalah gadung dari hutan. Sebelum diolah, harus dibawa ke pantai untuk dibersihkan karena mengandung racun.
Laut menjadi rusak karena masyarakat mencari ikan dengan racun dan bahan peledak. Sumber makanan utama dari laut menjadi sangat terbatas. Mencari ikan tak lagi bisa 1-2 jam dapat. Butuh waktu 1-2 hari dengan area tangkapan yang semakin jauh.
Ajaran Tri Hita Karana yang menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dan Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa (Parahyangan), sesama (Pawongan), dan alam lingkungan (Palemahan) terabaikan.
Made mengingat warga setempat biasa menanam jagung selama musim hujan untuk dimakan sebagian, sisanya disimpan selama musim kering sebagai nasi jagung. ”Padahal, sekarang kita bisa menemukan warung yang menjual makanan khas Taiwan sampai Eropa,” katanya.
“Makanan kami adalah gadung dari hutan. Sebelum diolah, harus dibawa ke pantai untuk dibersihkan karena mengandung racun. Kami juga pernah makan batang lunak pohon kamboja. Kalau mau membuat urap, kami menggunakan daun pohon intaran,” kata Jero Mangku Pura Pemuteran, Ketut Wirdika (42), menambah kisah kenangan pahit itu.
Perintis konservasi Desa Pemuteran dan pendiri organisasi Reef Seen, Christopher E Brown, mengatakan, alam yang rusak justru semakin membuat mereka lapar. Tindakan perusakan karang dan penangkapan ikan dengan peledak sudah tidak bisa dicegah petugas patroli gabungan pemerintah, polisi, dan TNI.
Satu-satunya jalan adalah membangun kesadaran warga agar mau melestarikan lingkungan meski tidak mudah. “Saya datang ke masyarakat memberikan pemahaman tentang terumbu karang sebagai rumah ikan. Anda merusak terumbu karang, maka kelaparan akan terjadi,” tuturnya.
Pola hidup yang merugikan lingkungan tersebut terbukti sulit ditertibkan dengan perangkat hukum positif karena berhadapan dengan masyarakat yang perutnya lapar. Hingga muncul solusi untuk menggunakan hukum adat.
Alam yang rusak justru semakin membuat mereka lapar.
“Awig-awig”
Kuncinya ada pada aturan adat atau awig-awig. Ketentuan adat yang disepakati sekitar tahun 2000-an itu adalah larangan mencari terumbu karang untuk bahan bangunan, mencari ikan dengan bom atau racun, hingga menangkap ikan hias untuk diperdagangkan.
Seperangkat sanksi dipersiapkan untuk para pelanggar. Bila sekali melanggar hanya akan diperingatkan dan mendapatkan sosialisasi mengenai konversi, dua kali melanggar akan diminta untuk menyerahkan beras sebanyak 25 kilogram saat rapat adat berlangsung.
Sanksi paling berat dari awig-awig ini adalah dikeluarkan dari desa adat atau kesepekang.
Menurut Made, sanksi ini tidak terlalu memberatkan secara ekonomi, tetapi cukup telak secara sosial. Menyerahkan denda di tengah rapat adat berarti dia akan dilihat oleh seluruh peserta rapat dan hal tersebut akan sangat memalukan. Umumnya para pelanggar di desa itu hanya sampai dua kali saja.
Namun, untuk mereka yang masih membandel hingga tiga atau empat kali, sanksinya adalah tidak mendapatkan layanan untuk keperluan adat. Padahal, layanan tersebut dibutuhkan untuk keperluan pernikahan dan urusan kemasyarakatan lainnya. Sanksi paling berat dari awig-awig ini adalah dikeluarkan dari desa adat atau kesepekang.
Untuk menegakkan peraturan adat ini, dibentuklah pecalang segara (laut). Nama pecalang umumnya ditemui di darat sebagai penegak aturan adat, dan pecalang segara seperti namanya akan menegakkan awig-awig di laut.
“Tugas kami adalah berpatroli di lepas laut dan pantai untuk mengawasi pelanggaran-pelanggaran awig-awig. Para pecalang bersama dengan lembaga swadaya masyarakat mengonservasi kembali terumbu karang yang rusak,” kata Made Gunaksa (45), salah satu pecalang segara Desa Pemuteran .
Konservasi di Desa Pemuteran itu menghasilkan perbaikan terumbu karang yang rusak. Berbagai cara dilakukan dengan membuat biorock, taman dewa, dan pura di dasar laut. Di darat, pesisir pantai dijaga dari kebisingan dan material sampah. Salah satunya adalah dengan membuat aturan pedagang dilarang berjualan di tepi pantai. Di gunung, konservasi tanaman dilakukan untuk melindungi satu-satunya sumber air Desa Pemuteran yang berada di Pura Pemuteran.
Nyepi Segara
Menjaga alam menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat Bali. Tradisi secara turun-temurun itu tertuang dalam Tri Hita Karana, tak hanya dianut Desa Pemuteran. Masyarakat Bali di Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, juga menjaga tradisi itu.
Berbeda dengan Pemuteran yang daerahnya gersang dan tandus, Nusa Penida masih memiliki areal agraris, sumber-sumber air bersih, pesisir, dan keindahan alam bawah laut. Namun, mereka melakukan kesalahan yang sama seperti Desa Pemuteran, yakni tidak bijak dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Tradisi memberikan waktu istirahat bagi laut itu dilakukan setiap purnama sasih kapat atau purnama keempat berdasarkan penanggalan Bali.
Sektor pariwisata yang berkembang pesat di kawasan itu juga berkontribusi terhadap kerusakan alam. Banyak ponton tak berizin yang berada di kawasan pantai. Penangkapan ikan di sejumlah titik dilakukan dengan kompresor sehingga dapat merusak biota laut.
Untuk menjaga keharmonisan alam-manusia-Tuhan, masyarakat Nusa Penida melanggengkan tradisi Nyepi Segara. Tradisi memberikan waktu istirahat bagi laut itu dilakukan setiap purnama sasih kapat atau purnama keempat berdasarkan penanggalan Bali. Biasanya terjadi pada bulan Oktober.
Tradisi itu dilakukan masyarakat sejak tahun 1600-an atau saat masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong. Dalam Nyepi Segara, seluruh aktivitas laut dihentikan selama sehari. Penghentian itu tidak hanya berlaku bagi aktivitas nelayan, tetapi juga bagi aktivitas transportasi laut dari dan menuju Nusa Penida, serta pariwisata di laut.
“Nyepi Segara merupakan bentuk penghormatan kepada Dewa Baruna yang adalah penguasa laut dan samudra dan sebagai wujud bentuk menjaga hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Laut telah memberikan kehidupan bagi kami, maka kami memberikan waktu istirahat baginya,” kata Prajuru Pura Ped Nusa Penida, Nyoman Sukarta, kepada tim Jelajah Terumbu Karang Kompas, Oktober lalu.
Majelis Alit Nusa Penida, Wayan Supartawan, menambahkan, para tokoh adat berupaya menjaga ajaran Sadkertih. Sad artinya enam dan Kertih artinya suatu karya yang positif. Keenam hal yang patut dijaga itu adalah Atma (kesucian) Kertih, Samudra (laut) Kertih, Wana (hutan) Kertih, Danu (sumber-sumber air tawar) Kertih, Jagat (bumi) Kertih, dan, Jana (kualitas manusia) Kertih.
Wayan Supartawan ingin di tengah-tengah perkembangan pariwisata yang pesat, alam dan manusia tetap terjaga baik.
Konkretnya, para tokoh adat juga berupaya membuat awig-awig, aturan desa untuk melindungi keharmonisan. Salah satunya adalah menjaga tempat-tempat suci di setiap desa. “Kami juga meminta setiap desa mengawasi masuknya narkoba karena dapat merusak generasi muda,” katanya.
Dalam Babad Nusa Penida disebutkan, Nusa Penida berasal dari istilah Manusa Pandita. Pada tahun Saka 50, dua manusia bernama Jumpungan dan Dukuh itu bertapa dan berkarya di Gunung Mundhi. Masyarakat setempat menyebut mereka sebagai Manusa Pandita.
Dengan nilai luhur yang menjadi modalitas masyarakat ini, Wayan Supartawan ingin di tengah-tengah perkembangan pariwisata yang pesat, alam dan manusia tetap terjaga baik. Nusa Penida diharapkan benar-benar menjadi pulau manusia-manusia yang pandita atau memiliki moral yang baik. (DIDIT PUTRA ERLANGGA/HENDRIYO WIDI/HARRY SUSILO/ICHWAN SUSANTO