Dua puluh enam tahun lalu, Christopher E Brown datang ke Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali, untuk menyelam dan membuat usaha wisata. Namun, dia salah perhitungan karena peliknya masalah lingkungan yang terjadi di sana. Masalah itu yang mengikat hidupnya dengan tanah Buleleng.

Sekitar tahun 1991 saat Brown datang pertama kali, Desa Pemuteran sebetulnya memiliki potensi sebagai obyek wisata penyelaman. Hanya saja dia menyadari kondisi terumbu karang yang rusak parah akibat penambangan oleh warga setempat untuk dijual sebagai bahan bangunan. Sebagian lagi rusak karena penggunaan bahan peledak dalam mencari ikan.

Kerusakan terumbu karang itu menjadi rentetan dari kemalangan yang menimpa warga Desa Pemuteran. Untuk menjual terumbu karang sebagai kapur, butuh diolah di dalam tungku yang dibakar oleh api, bahan bakarnya dari kayu yang diambil dari hutan.

Hutan habis, laut rusak, hanya malapetaka dan kekeringan yang menanti mereka. Kemiskinan dan perusakan alam membawa masyarakat Desa Pemuteran sampai pada titik kelaparan.

Di luar penyelaman, Brown menyusuri pantai Desa Pemuteran yang terletak di pesisir utara Bali itu. Beberapa kali dia menemukan kura-kura dan penyu diikat atau dikandangkan di rumah warga. Kura-kura dan penyu itu mau diperdagangkan demi uang untuk menyambung kehidupan.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko

Seekor penyu di lokasi penyelaman Bat Cave, Pulau Menjangan, Kabupaten Buleleng, Bali, Jumat (27/10). Pulau dengan sejumlah lokasi penyelaman menarik tersebut berada di dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat.

“Gunung dan laut telah rusak. Mereka menjadi miskin dan lapar. Bukan larangan merusak alam yang dibutuhkan, melainkan kesadaran untuk memperbaiki dan membangun rumah bagi alam dan mereka sendiri,” kata Brown.

Mulailah Brown kembali berkeliling desa dan berdialog dengan warga. Pekerjaannya sebagai ahli komputer, pemecah masalah dan komunikasi publik, serta strategi perencanaan di sebuah perusahaan di Australia, dia tinggalkan. Berbekal keahlian-keahlian itu dan kemampuan berbahasa Indonesia dasar, Brown menjawab panggilannya untuk mengembalikan harmonisasi alam-manusia di Pemuteran.

Kunci dari masalah kelaparan dan kemiskinan adalah membuat masyarakat bisa makan dan lepas dari kemiskinan sembari melestarikan lingkungan.

Prosesnya tidak mudah dan berlangsung lama, yaitu mulai 1991 sampai 1996. Ia menyentuh problem paling mendasar masyarakat, yaitu kemiskinan dan kelaparan. Dengan sabar, Brown terus-menerus menyerukan kerusakan gunung dan laut menyebabkan sumber-sumber makanan hilang.

Masyarakat perlu memperbaiki kerusakan itu secara mandiri agar sumber-sumber pangan kembali. Setelah sumber-sumber pangan itu kembali, masyarakat perlu menjaga dan terus-menerus melestarikannya.

Proyek penyu

Tidak hanya blusukan ke masyarakat, Brown juga mendirikan Reef Seen untuk mengonservasi terumbu karang dan penangkaran penyu. Ia menyadari, kalau hanya menyadarkan masyarakat melestarikan lingkungan, tanpa ada imbal ekonomi sementara, usaha itu tidak akan berhasil.

Kompas/Didit Putra Erlangga Rahardjo

Christopher E Brown (kanan), pendiri Reef Seen dan aktivis konservasi di Buleleng, Bali, Kamis (27/10), berbicara dengan tamunya di Buleleng.

Kunci dari masalah kelaparan dan kemiskinan adalah membuat masyarakat bisa makan dan lepas dari kemiskinan sembari melestarikan lingkungan. Berbekal dana pribadi dan donasi dari sebuah perusahaan di New York, Amerika Serikat, sebesar 4.000 dollar AS, Brown memulai Proyek Penyu.

Menurut dia, Proyek Penyu tidak untuk mencari keuntungan. Proyek itu guna membantu menyelamatkan dan melindungi penyu dan telur penyu sekaligus memberikan sumber pendapatan bagi penduduk setempat.

Caranya adalah dengan membeli penyu atau telur penyu yang ditemukan penduduk dengan harga lebih tinggi dari harga pasar. Sembari itu, penduduk dijelaskan mengenai pelestarian penyu. Penyu betina dapat kembali sampai empat kali dalam satu musim untuk bertelur.

Sekali bertelur, jumlahnya 60-150 butir. Telur-telur itu dipindahkan ke tempat penangkaran hingga menetas. Setelah menetas dan berusia 2-3 bulan, penyu-penyu kecil itu dilepaskan.

“Penduduk desa menyadari, mereka dapat menghasilkan lebih banyak uang dengan menjual telur kepada kami dan memastikan penyu betina kembali ke laut ketimbang menangkap, menjual, atau membunuhnya,” kata Brown.

Pendekatan budaya

Pendekatan dan dialog budaya dengan para tetua adat juga dilakukan. Aturan adat atau awig-awig menjadi kunci utama sebagai upaya mengonservasi alam. Hal itu terkait erat dengan ajaran Tri Hita Karana, yaitu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa (Parahyangan), sesama (Pawongan), dan alam lingkungan (Palemahan).

Hasilnya, lahirlah aturan atau awig-awig Desa Pakraman Pemuteran. Aturan itu melarang masyarakat antara lain untuk menggali terumbu karang untuk bahan bangunan, mencari ikan dengan bom dan racun, serta menangkap ikan hias untuk diperdagangkan. Yang melanggar, akan diberi sanksi mulai dari sanksi edukasi, denda, hingga diasingkan dari desa adat.

Ada lebih kurang 33 patung dewa yang dipasang di dasar laut dan menjadi salah satu destinasi penyelaman.

Selain itu, Brown juga mengonservasi terumbu karang melalui program Reef Gardeners. Program itu diawali bersama masyarakat setempat dengan membersihkan bintang laut berduri (Acanthaster planci) yang merusak dan mematikan terumbu karang. Bintang laut itu menghasilkan kerusakan yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan pemutihan terumbu karang (bleaching).

Awalnya dilakukan dengan sederhana, yaitu menangkap, kemudian mengubur hama laut itu di darat. Seiring perkembangan waktu, pemusnahan hama itu dilakukan dengan menginfeksikan bintang laut itu dengan bakteri yang membunuhnya dalam waktu sekitar 24 jam.

Brown juga berupaya kian memperindah karang-karang di Pemuteran sembari melakukan transplantasi terumbu karang. Ia pun membuat taman dewa dan pura di dasar laut. Ada lebih kurang 33 patung dewa yang dipasang di dasar laut dan menjadi salah satu destinasi penyelaman.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko

Beragam bentuk wahana digunakan untuk tempat pelestarian terumbu karang pada proyek Biorock di kawasan pantai Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali, Sabtu (28/10). Tempat tersebut juga menjadi salah satu daya tarik wisata bahari.

Semua upaya itu melahirkan kemandirian ekonomi masyarakat setempat. Masyarakat bisa membuka usaha warung, restoran, dan jasa layanan wisata (misalnya pemandu, instruktur selam, dan komunitas penari yang mengisi acara-acara di hotel-hotel besar). Nelayan setempat juga memiliki wawasan konservasi berkelanjutan sehingga tidak mencari ikan dengan cara-cara yang merusak lingkungan.

Meski Brown adalah orang asing, kiprahnya mendatangkan apresiasi dari masyarakat setempat. Kini mereka bahkan menyebutnya dengan nama lokal Bali, “Pak Nyoman“, sebagai gestur telah menganggap Brown sebagai bagian dari keluarga.

Bersama-sama pelaku pariwisata lainnya, Brown membangun kesepahaman bahwa wisatawan yang mereka cari adalah turis yang berkualitas. Artinya, meski jumlahnya hanya sedikit, mereka mau mengeluarkan uang demi mendapatkan pengalaman yang berkesan.

“Arah wisata Pemuteran selanjutnya adalah menghindari terjadinya mass tourism atau wisata massal. Untuk itu, kami bersama pelaku-pelaku usaha berupaya tidak menjual kawasan Pemuteran secara murahan, tetapi cukup mahal dan berkualitas,” katanya.

Dia bahkan sudah berencana agar nanti jasadnya dikremasi dan disimpan di dalam sebuah patung yang akan ditanam di taman dewa.

Berpadu dengan awig-awig di Desa Adat Pemuteran, konsep wisata eksklusif tengah dijalankan di sana, misalnya larangan bagi pedagang asongan untuk menawarkan dagangan kepada wisatawan yang berada di pantai, serta larangan mendirikan warung di bibir pantai. Semua menghasilkan pengalaman yang menyenangkan bagi turis dalam menghabiskan masa liburan mereka di Desa Pemuteran.

Dengan keadaan yang membaik serta ditemukannya solusi untuk masalah lingkungan, apa rencana Brown selanjutnya? Apakah petualangan baru di tempat lain?

“Sebetulnya saya berencana untuk meninggal di sini,” katanya sambil tersenyum.

Dia bahkan sudah berencana agar nanti jasadnya dikremasi dan disimpan di dalam sebuah patung yang akan ditanam di taman dewa, berdekatan dengan sebuah bangku yang dibangun lewat sumbangan dari adiknya, Paul Brown. Apabila nanti dia sudah meninggal, adiknya akan menyelam ke taman itu dan duduk di bangku sambil bercakap-cakal dengan patung Brown.

Chris Brown tidak bisa lagi dipisahkan dengan Desa Pemuteran. (HENDRIYO WIDI/DIDIT PUTRA ERLANGGA)

Christopher E Brown

  • Lahir: Sydney, Australia, 20 Juli 1959
  • Kebangsaan: Australia dan Indonesia (dengan KITAP)
  • Pekerjaan: Pemilik dan Direktur Reef Seen Divers’ Resort Pemuteran, Bali
  • Status: Singel dengan 2 anak tanggungan
  • Riwayat Pekerjaan:
    • 1989 meninggalkan posisi Country Support Engineer IBM
    • 1992-kini, pendiri dan pengelola Reef Seen Divers’ Resort
  • Riwayat pekerjaan selam:
    • 1974 mulai menjadi penyelam scuba
    • 1989 Instruktur Open Water penyelam scuba PADI
    • 1990 Pelatih Penyelam Scuba Master
    • 1995 mendapat Tanda Penghargaan dari Gubernur Bali Ida Bagus Oka akan Pelestarian Pantai dan Pelestarian Penyu
    • 2015 Scuba Diver Australasia menjadikan Reef Seen Divers’ Resort sebagai 16 Ekoresort terbaik di Asia Pasifik
    • 2016 menerima penghargaan ”Recognition for Businesses that Link Communities to Sustainable Marine Tourism Initiatives” saat pelaksanaan Konferensi Regional Segitiga Terumbu Karang di Nusa Dua, Bali