Marga bagi orang Raja Ampat di Papua Barat bukan sekadar nama keluarga. Nama marga juga menunjukkan penghormatan terhadap makhluk hidup lain yang tinggal di bumi. Dengan kata lain, konsekuensi menyandang marga tertentu berarti ikut pula merasakan pamalinya. Bahkan, melihat hewan laut larangan saja sudah meriang. Inilah kisah mitologi sekaligus konservasi alam di Misool, yang sayangnya semakin tergerus seiring kemajuan zaman.
Sekira 3,5 tahun lalu, suatu siang pada pertengahan 2014, di dermaga Kampung Kapatcol, Distrik Misool Barat, Raja Ampat, Papua Barat, Muhammad Jen Weul (38) bersiap menjalankan kapal. Tiba-tiba, seorang rekannya meneriaki, memintanya menaikkan seekor ikan pemberian warga ke atas kapal.
Nyalinya ciut melihat ikan tersebut. Barakuda. Ikan yang ditakutinya.
”Maaf, saya memegang. Tidak ada maksud lain,” begitu dia meminta izin, lalu memegang ikan predator tersebut. Sayangnya, dia terburu-buru saat berusaha meletakkannya. Ikan itu jatuh dari tangan dan terbanting di lantai kapal. Celaka!
Pikirannya mulai tidak tenang. Hanya saja, dia berusaha tetap santai dan membawa kapal kembali ke tempat kerjanya di Kampung Harapan Jaya, 1 jam perjalanan menggunakan kapal. Apa yang ditakutkannya terbukti benar. Sore hari, badannya mulai menggigil. Panas-dingin tidak ada sebab. Melewati maghrib, dia mulai meracau.
”Saya kayak mati rasa. Habis itu tidak sadar sudah. Terakhir ingat, saya diangkat sama teman-teman. Pas bangun sudah di rumah. Padahal, pas sore tadi masih di pulau lain,” cerita warga Kampung Fafanlap ini.
Jen lalu mengaitkan pamali dirinya dengan barakuda. Dia memiliki garis darah yang berkaitan erat dengan ikan itu. Meski menyandang marga Weul, di dalam dirinya juga mengalir darah keluarga Macab, dari garis keluarga ibunya. Sejak kecil, dia juga menetap bersama sang nenek dari pihak ibu yang selalu mengingatkan soal pamali ikan barakuda.
”Baru sadar sudah malam pokoknya. Habis dikasih minum air yang sudah diomong-omong,” ujar Jen.
Cerita tidak beda dituturkan Harun Loji (30), juga warga Kampung Fafanlap. Marga Loji memiliki pamali dengan hiu dan kerapu. Tidak perlu memegang, sekadar melihat di laut saja keturunan marga ini langsung merasakan “tuah”.
Sejak kecil, tutur Harun, dia telah diwanti-wanti untuk tidak mendekati, mengganggu, apalagi sampai memakan hewan ini. Sampai suatu saat, dia melihat hiu di perairan dari pinggir pulau. Saat pulang ke rumah, dia tiba-tiba menggigil. Panas-dingin.
”Orang rumah su tahu itu kalau habis ketemu pamalinya. Macam ada orang yang migrain atau sakit gigi, tetapi tidak sembuh-sembuh itu pasti habis lihat atau pegang pamali,” ungkap Harun. ”Sama kalau ada yang gatal-gatal kayak kudis itu sudah pasti salah makan. Dia makan pamalinya,” ujarnya menyambung cerita.
Dalam beberapa kasus, keterkaitan marga dengan pamalinya ini tergolong ekstrem. Memakan minyak goreng yang sebelumnya dipakai untuk menggoreng ikan larangan, misalnya, akan mendapatkan dampak buruk.
Bahkan, ada yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sebuah marga, tetapi juga ikut menjalani pamali. ”Istri saya itu bukan orang sini (Misool). Namun, baru tiga hari menikah, ia sudah gatal-gatal. Sekarang sudah sering kesurupan karena hiu atau kerapu,” ucap Abu Loji sembari tertawa.
”Obatnya dikasih air, sembuh sudah,” katanya. Air yang dimaksud adalah air ramuan khusus dari orang yang dituakan dalam marga. Hanya dengan sesaji sirih pinang, dengan “omong-omong” kepada leluhur, lalu sesaji itu dibuang ke laut. Tetua akan mengambil air laut dengan takaran sebuah mug lalu meminumkannya ke keturunan yang sakit. Dan, cling, dijamin sembuh, klaimnya.
Mitologi dan konservasi
Di Misool, bukan hanya marga Loji dan Macab yang memiliki pamali. Sebut saja marga Wainsaf dengan pamali ikan barakuda, marga Umbalak dengan ikan pampang, marga Soltif yang pamali udang dan tenggiri, atau marga Iba yang pamali hiu. Beberapa suku lainnya bertentangan dengan penyu atau lobster.
Beberapa marga di kampung lain di Misool memiliki pamali dengan laut juga dengan tumbuhan di darat. Di Kampung Folley, Distrik Misool Barat, ada yang berpantangan dengan sagu atau buah tertentu.
Jen menuturkan, dari cerita orangtua dan neneknya, pamali itu ada karena pengalaman erat keluarganya dengan ikan barakuda. ”Mungkin dulu pernah ditolong jadi bersumpah tidak pernah makan lagi. Atau mungkin juga tahu kalau ikan itu penting jadi dikasih pamali. Saya tidak tahu yang mana benar, tetapi saya merasakan sendiri pamalinya,” tuturnya.
Kepercayaan atas totem tertentu, seperti jenis-jenis ikan, bukan hanya ditemukan di Misool. Di tempat lain di Papua banyak ditemukan. Orang-orang Marind-anim (Merauke) percaya kepada totem tertentu yang berkaitan dengan alam di sekitar mereka. Masing-masing marga memiliki totem tersendiri.
Misalnya, marga Gebze yang memiliki totem kelapa. Ini berarti mereka akan menjaga kelestarian bumi, tanah, batu, dan semua hewan yang bersimbiosis dengan kelapa. Ada marga yang memiliki totem kasuari, sagu, bahkan hingga musamus (rayap). Totem mereka harus dijaga, tidak boleh punah, karena kepunahannya berarti runtuhnya eksistensi mereka (Kompas, 1/9 2007).
Pengajar Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua, Manokwari, George Mentansan, menyampaikan, secara tradisi, totem itu ada di penjuru Nusantara. Hanya saja, yang membedakan adalah istilah dan ekologi yang dimaksud.
Di Papua, ada empat klasifikasi ekologi, yaitu dataran tinggi, tebing, dataran rendah, dan pinggiran atau kepulauan. ”Untuk pinggiran, tentu dekat dengan hewan laut, pantai, atau tanjung. Secara mitologi, dulu ada peristiwa erat yang berkaitan dengan hiu, kerapu, atau penyu. Secara logika, mungkin ada alergi atau hal tidak baik untuk kesehatan jika memakan hewan tertentu,” papar George yang banyak membahas soal kearifan lokal dan kaitannya dengan kelestarian alam di Papua.
Pada intinya, lanjut George, kearifan lokal terkait totem berujung pada upaya menjaga stabilnya ekosistem. Kearifan seperti itu seharusnya terus diaplikasikan dalam upaya konservasi yang sedang berlangsung di Misool dan Raja Ampat umumnya. Misool adalah salah satu bagian dari Raja Ampat dengan keanekaragaman hayati tinggi. Wilayah kepulauan ini memiliki 1.318 jenis ikan karang dan 533 jenis karang keras.
Sayangnya, upaya mengagregasi kearifan lokal dengan konservasi modern belum maksimal. Padahal, menekankan keduanya bisa berdampak pada upaya konservasi yang lebih mudah dan murah.
Di lapangan, terbukti perburuan hiu, penyu, dan hewan dilindungi lainnya oleh masyarakat setempat, ataupun pendatang, masih terus berlangsung. Apalagi, saat ini pengawasan di Misool yang termasuk Kawasan Konservasi Perairan Daerah telah empat bulan tidak berjalan karena biaya operasional.
Orang-orang di Misool telah lama mengajarkan untuk menjaga mencintai alam dan isinya. Majaga tin batan, macinta tin batan, begitu kata tetua. “Menjaga kita punya alam, mencintai kita punya alam”. Demikian ajaran baik mereka. (SAIFUL RIJAL YUNUS)