Kopi dan tradisi ada di Pulau Bali. Akhir Januari 2018, kami menikmati eksotisme tradisi Bali, persisnya di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Saat itu, ada upacara ”piodalan” di pura keluarga Tunggalan Sanggah Cekoh, Desa Munduk.
Pagi itu, sekitar pukul 10.00 Wita, para keluarga Sanggah Cekoh berdatangan. Mereka memakai kain terbaik dan mengajak anak-anak mereka bertemu dengan kerabatnya.
Para orang tua terlihat sibuk menyiapkan perlengkapan upacara, seperti ayam berumbun (ayam tiga warna, yaitu merah, putih, dan hitam) serta memasang kain pada pelinggih (tempat yang disucikan).
Perempuan berbagi tugas menyiapkan aneka makanan ringan dan minuman kopi atau teh untuk mereka yang datang. Sementara remaja pria membunyikan musik tetabuhan khas Bali.
Ayam berumbun nantinya akan digunakan untuk sesembahan guna membersihkan lingkungan pelinggis dari keburukan. Adapun kopi, menjadi pengikat keakraban persaudaraan.
”Silakan kopinya, jangan sungkan. Ini untuk menghangatkan badan,” kata seorang ibu, menyapa siapa saja yang datang. Kopi memang menjadi suguhan, bersama kue-kue khas Bali sebagai camilan.
Yang menarik, mereka bangga mengatakan kopi yang disajikan adalah kopi asli Bali. Kopi dari petani Bali dinikmati sendiri oleh nak Bali dan juga disuguhkan untuk tamu yang datang.
Kopi, selain menjadi pengikat hubungan, juga menjadi wujud rasa bangga atas hasil bumi mereka.
Kebanggaan warga Desa Munduk akan kopi tidaklah salah. Dalam sejarahnya, Desa Munduk merupakan kawasan perkebunan kopi pada masa Belanda. Masa-masa kejayaan kopi di Desa Munduk adalah era tahun 1920-an hingga sebelum tahun 1970.
Masa kejayaan berakhir pada tahun 1970 ketika ada banyak tanaman kopi yang dibabat, kemudian diganti dengan cengkeh. Kondisi tersebut terjadi karena harga kopi jatuh hingga sangat rendah.
Piodalan adalah upacara memperingati hari lahir leluhur. Upacara menjadi istimewa karena saat itu bertepatan dengan bulan penuh, atau purnama, sekaligus fenomena gerhana bulan.
Uniknya, kopi menjadi bagian kegembiraan perayaan tersebut meski bukan sebagai bagian rangkaian upacara.
Ketua penglingsir keluarga Sanggah Cekoh, Mangku Gede Sedana, mengatakan, piodalan di pura mereka saat itu menjadi istimewa karena bertepatan dengan purnama. “Ketika hari suci bertemu purnama, keistimewaannya bertambah karena gelombang kesucian lebih besar. Dengan piodalan saat purnama ini, harapannya keluarga besar kami mendapat keselamatan, kebahagiaan, dan lebih baik di masa mendatang. Kebaikan serupa semoga juga tercurah untuk seisi alam,” tutur Sedana.
Meskipun bukan nak (orang) Bali, kami tetap disambut dengan baik. Kami juga dipersilakan menyaksikan jalannya ritual upacara di pura keluarga tersebut. Tentu saja kami harus menghormati tradisi Bali, yakni setiap masuk ke dalam pura harus memakai kain.
Yang tertarik menengok upacara tersebut ternyata bukan hanya kami. Beberapa wisatawan luar negeri pun dengan antusias menyaksikan seluruh prosesi acara dan mengabadikannya dengan kamera.
Meski piodalan menjadi upacara sakral bagi nak Bali, mereka tidak menutup diri dari orang luar yang ingin menyaksikan. Urusan dengan Tuhan memang penting. Namun, hubungan persaudaraan di antara sesama manusia, bagi mereka, juga tetap harus dijaga. Dan, alat perekat persaudaraan itu bernama segelas kopi. (COKORDA YUDISTIRA/DAHLIA IRAWATI)