Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan pariwisata dalam semarak budaya ngopi. Padahal, jika dimanfaatkan, kopi dan wisata bisa menjadi penyangga ekonomi yang potensial. Butuh ”branding” kopi yang kuat dan kerja sama seluruh pihak agar wisata dan kopi sama-sama kian terdongkrak.

Kopi pantas disematkan sebagai kultur di Belitung. Tradisi minum kopi di Belitung berumur hampir seabad. Awal abad ke-19, ribuan kuli kontrak asal China didatangkan ke Belitung untuk menggarap tambang timah. Pada 1980-an, warung kopi mulai menjamur. Seiring dengan geliat pariwisata, kini terdapat sekitar 200 warung kopi di Kecamatan Manggar. Fantastis!

Padahal, produksi kopi di Belitung Timur pada 2016 hanya 0,022 ton. Sebagian besar bahan baku jenis robusta didatangkan dari Lampung.

Sayangnya, label Belitung sebagai “Kota Wisata 1.001 Warung Kopi” terancam. Ajang festival kopi yang menjadi salah satu andalan pariwisata setempat mandek. Festival hanya digelar pada 2011 hingga 2013. Setelah itu, festival terhenti karena tak mendapat dukungan dana dari pemerintah daerah.

“Kami berharap festival warung kopi digelar lagi. Saat ini, hanya tiga warung kopi dengan tempat luas yang paling menikmati kunjungan wisatawan,” ujar Ayung, Ketua Koperasi Warung Kopi Manggar.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Hestian Grenpin (kiri) dan Harianto menunjukkan biji kopi arabika dan robusta di sebuah kedai kopi di Tanjung Pandang, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (23/5/2018). Anak muda di Belitung mulai membuka kedai kopi untuk merespons budaya meminum kopi di Belitung. Padahal, tidak ada kebun kopi di Belitung.

Kepala Bidang Promosi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Belitung Timur Amrullah mengakui, festival warung kopi tak lagi digelar karena keterbatasan anggaran. Namun, menurut dia, wisatawan tetap diajak ke warung kopi saat berkunjung ke Manggar.

Persoalan serupa mengakibatkan mandeknya pelaksanaan Indonesian Coffee Festival (ICF) setelah 2014. Pendiri sekaligus Kepala Komite Pelaksana ICF Yanthi Tambunan mengatakan, semula festival gencar digelar untuk mengangkat branding kopi Nusantara. Namun, dukungan dana tak berlanjut sejak empat tahun terakhir di tengah meningkatnya antusiasme dunia. “Selama ini, ICF diminati banyak pencinta kopi dari sejumlah negara. Mereka terus bertanya-tanya, kapan ICF akan digelar lagi,” katanya.

Semula festival gencar digelar untuk mengangkat ”branding” kopi Nusantara. Namun, dukungan dana tak berlanjut sejak empat tahun terakhir di tengah meningkatnya antusiasme dunia.

Yanthi menceritakan kekaguman dunia luar pada keberagaman cita rasa kopi Nusantara. Negara-negara lain getol mengemas pariwisata berbasis kopi, bahkan dengan memanfaatkan kopi Indonesia sebagai jualan pariwisata di negerinya.

Ia contohkan, tahun 2009, untuk pertama kali China menggelar China Coffee Festival. Padahal, selama ini China dikenal sebagai negara bertradisi minum teh. Saat itu, seluruh dunia dibuat kaget karena China yang belum memiliki kebun kopi telah mengklaim sejumlah produk kopi sebagai Chinese coffee, dengan kopi-kopinya dipasok dari Indonesia.

Ironi itu membuatnya gelisah. Jika China sukses mendatangkan uang mengalir ke negerinya lewat pariwisata kopi, mengapa Indonesia tidak. Dua tahun setelah penyelenggaraan festival kopi di China, ia pun menggelar ICF pertama di Bandung, tahun 2011. Pada tahun-tahun berikutnya, festival kopi ICF digelar di Bali (2012), Yogyakarta (2013), dan Bali (2014). Rangkaian kegiatan mulai dari kunjungan ke kebun kopi, lelang, hingga diskusi kopi ternyata berhasil menyedot animo pelaku pasar dan wisatawan sangat besar. “Kami adakan kunjungan ke kebun kopi, dikemas menjadi ekowisata, peminatnya sangat banyak,” ujarnya.

Infrastruktur dan promosi

Di Waerebo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, wisata kopi berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan. Lembaga Pelestarian Budaya Waerebo mencatat, pada 2016 jumlah wisatawan 5.000 orang. Tahun lalu jumlah pengunjung meningkat menjadi 7.000 orang. Total transaksi wisata di sana tahun lalu Rp 2 miliar. Kopi Waerebo turut terangkat. Paket wisata “Perjalanan Secangkir Kopi” pun dibuat. Paket ditawarkan kepada wisatawan saat musim panen kopi, yakni Mei-September setiap tahun.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Barista Escape Bajo di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, menyajikan kopi kepada tamunya, Selasa (6/2/2018).

Sayang infrastruktur tak terbangun baik di kawasan ini. Butuh waktu delapan jam dengan mobil sebelum akhirnya mendaki menuju Waerebo. Jalan dari poros utama lintas Flores relatif masih buruk. Jalanan sempit dan sebagian berlubang.

Infrastruktur yang lebih mapan didapati di Bondowoso, tetapi pariwisata dan kopi belum sepenuhnya menyatu. Padahal, kawasan ini menjadi penghasil kopi berkualitas dan mempunyai sejarah yang kuat tentang kopi. Akses menuju destinasi ternama Kawah Ijen salah satunya melewati kabupaten ini.

PTPN XII sudah mengenalkan wisata kopi di kawasan ini. Saat musim panen, pengunjung bisa melihat proses pengolahan biji kopi arabika di pabrik-pabrik tua. Kopi dengan kualitas bagus pun bisa dicicipi di kafe di penginapan Kalisat-Jampit atau Catimor. Momen perayaan kopi di Ijen dikenalkan pula oleh Pemerintah Kabupaten Bondowoso. Pada saat panen kopi, mereka mengadakan festival di lapangan Sempol di Lembah Ijen. Kopi yang mereka kenalkan adalah kopi rakyat.

Namun, promo wisata kopi belum bergaung. Pemandu khusus untuk wisata pun masih minim. Pelancong dari Eropa rata-rata hanya tinggal sehari, dengan tujuan utama naik ke Gunung Ijen.

Sebastian, turis asal Belanda yang penggemar kopi, bahkan belum paham bahwa Bondowoso adalah penghasil java coffee. Saat berkunjung ke Catimor, Maret lalu, ia melihat kebun kopi saat melintas ke jalur Ijen. Ia girang bukan kepalang. Sayang ia harus ikut rombongan melanjutkan perjalanan ke tempat lain.

Serba kopi

Ikon kopi memang belum terbangun dalam pariwisata Indonesia. Berbeda dengan Brasil dan Kolombia, kopi sudah dikenalkan bahkan ketika wisatawan tiba di bandara.

Anggota Dewan Penasihat Dewan Kopi Indonesia, Trie Edi Mulyani, menceritakan pengalamannya selama bertugas sebagai Duta Besar untuk Kolombia (2012-2017). Di negara itu, kopi tak hanya familiar dalam keseharian masyarakatnya. Wisatawan yang berkunjung diakrabkan dengan kopi.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Sajian kopi Flores dan kudapan lokal, kompiyang, di Kafe La Bajo di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Selasa (6/2/2018). Labuan Bajo saat ini mulai mengembangkan kedai kopi dan tidak hanya sebagai daerah penghasil green bean kopi.

Mendarat di Bandara El Dorado, Bogota, wisatawan akan mendapatkan suvenir kopi gratis. Singgah di kedai pun bisa menikmati kopi gratis. Menginap di hotel, disuguhi kopi gratis dan diberikan lagi suvenir kopi. Mau menikmati spa dan pijat beraroma kopi, tersedia di salon-salon. Tersedia pula sejumlah jenis minuman dan makanan yang diracik dengan kopi.

Berwisata di Kolombia juga takkan jauh dari pariwisata kopi. Kunjungan wisata ke kebun kopi adalah paket-paket yang paling diminati. Pengunjung dapat memanen langsung buah kopi. Mereka diajarkan cara panen yang benar.

Berwisata di Kolombia juga takkan jauh dari pariwisata kopi. Kunjungan wisata ke kebun kopi adalah paket-paket yang paling diminati.

“Ada panduannya, buah kopi mana yang boleh dipetik. Bukan cuma buah merah, tapi merah tua. Memetik selain (warna) itu, kita bisa kena penalti. Artinya, ini menjadi wisata yang edukatif,” tuturnya.

Kolombia juga berhasil mentransformasikan kopi ke dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Tak hanya kedai kopi tumbuh di mana-mana, kunjungan pariwisata hingga hiburan, layanan kecantikan, dan layanan kesehatan pun memanfaatkan kopi sebagai produk jualan.

“Pengembangan hilir begitu berkembang. Kopi akhirnya menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara itu,” ujarnya.

Ia sempat gamang ketika ingin mempromosikan kopi-kopi Nusantara di Kolombia. Melihat banyaknya jenis kopi yang harus dijual, branding-nya belum ada satu pun yang kuat. “Yang mana dulu yang mau dipromosikan, apakah Gayo, Toraja, atau Mandailing,” ucapnya.

Beragamnya kopi di Indonesia semestinya bisa menjadi kekuatan. Namun, karena belum dikemas menjadi brand-brand yang kuat, akhirnya identitas kopi asal Indonesia tampak lemah.

Seandainya pariwisata dan kopi benar-benar digarap betul, tidak mustahil branding kopi Indonesia lebih kuat dan pariwisata akan lebih bergeliat. (IKI/ITA/NIT/GRE/VDL/ESA)