Bagi petani kopi di Bali, kopi menjadi harapan yang harus terus diperjuangkan. Terlebih lagi, kini kopi menjadi komoditas berharga selayaknya ”emas hitam”. Namun, menjadi petani kopi tidak semudah dibayangkan orang.
I Ketut Jati (51) menjadi sosok petani di balik melambungnya nama kopi arabika Kintamani Bali. Jati adalah Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kintamani Bali. MPIG adalah pihak yang mengajukan permohonan sertifikasi IG kopi Kintamani Bali ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
MPIG terdiri dari kelompok petani produsen kopi gelondong merah yang beranggotakan kramasubak abian (petani kebun); pengolah kopi dengan anggota kelompok subak abian, pengolah, dan penyangrai swasta; serta dewan penasihat yang terdiri dari pemerintah daerah, organisasi pendukung, dan beberapa pembeli utama.
Tanpa sertifikasi IG, kopi arabika Kintamani mungkin tidak akan dikenal luas hingga luar negeri. Sertifikasi IG membuat kopi langsung diterima pasar di Eropa, bahkan negara lain, tanpa harus melalui perusahaan penyedia jasa sertifikasi dunia. Sertifikasi IG memberikan kepercayaan kepada konsumen bahwa kopi yang mereka nikmati adalah kopi berkualitas.
Lahirnya MPIG arabika Kintamani diawali sekitar tahun 2000. Ketika itu, Dinas Perkebunan Provinsi Bali memfasilitasi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) Jember dan mahasiswa serta peneliti dari Pusat Riset Pertanian dan Pembangunan Internasional Perancis (CIRAD) untuk mengadakan penelitian tentang kopi Kintamani. Mereka mencicipi kopi arabika yang ditanam petani di dataran Kintamani dan merasakan cita rasa jeruk pada kopi tersebut.
Dalam beberapa kali pengambilan sampel cita rasa kopi (2003 dan 2006), rasa jeruk pada kopi Kintamani tidak berubah. Hingga tahun 2007, cita rasa jeruk tersebut tetap ada. Akhirnya, disepakati bersama untuk mengurus hak paten kopi arabika Kintamani dengan dukungan pemerintah.
“Untuk bisa mengajukan IG, semua hal ditata, mulai dari memperbaiki budidaya pertanian, menata kelembagaan petani, hingga mengajak semua pihak memikirkannya bersama-sama. Dinas memberikan dukungan penuh hingga terbentuknya MPIG,” ujar Jati.
Hasilnya, tahun 2008, keluarlah sertifikat IG Kintamani untuk kopi yang berasal dari kawasan Kintamani di dataran dengan ketinggian 900-1.600 mdpl itu.
Perjuangan mendapatkan IG Kintamani tidak semudah yang dibayangkan. “Petani awalnya memetik kopi secara racut (memetik kopi dari pangkal ke ujung tanpa pilih), menjemur kopi di tanah, dan mengolah kopi itu seadanya. Itu cara kami dapat secara turun-temurun. Lalu, kami diajari cara budidaya kopi yang berbeda. Ini menimbulkan banyak pertentangan pada awalnya,” tutur Jati.
Karena menjalankan cara berbeda dari petani kopi yang lain dan gencar mengajak petani lain untuk mengubah cara budidaya kopi, Jati dipandang miring, bahkan dianggap gila. Namun, pria berpendidikan SMA itu tidak mundur selangkah pun mengajak petani lain melakukan budidaya kopi yang baik.
Jati pernah dipandang miring, bahkan dianggap gila.
“Saya sering mendatangi petani lain, baik di rumah atau di kebun mereka. Tujuannya hanya untuk membuka wawasan bahwa ada hal baik di luar sana yang bisa dicoba,” ucap Jati.
Jati memiliki pandangan berbeda dari petani kopi tradisional karena dia sering mengikuti pelatihan budidaya kopi dan menjadi binaan dinas.
Bukan hanya persoalan budidaya yang harus ditatanya. Jati kemudian merangkul tokoh-tokoh dari setiap kelompok subak abian dari tiga kabupaten. Dengan pendekatan terhadap tokoh-tokohnya dan menunjukkan hasil kopi yang lebih berkualitas, krama kelompok subak abian itu mau bergabung. “Petani percaya kalau ada contohnya,” kata Jati.
Kelompok subak abian dari empat kecamatan di tiga kabupaten di Bali setuju bergabung untuk mengangkat kopi arabika Kintamani. Mereka berasal dari Kecamatan Kintamani, Bangli; Kecamatan Petang, Badung; serta Kecamatan Sukasada dan Kecamatan Sawan, Buleleng.
Mereka tergabung dalam 64 kelompok subak abian. Setiap kelompok subak abian rata-rata beranggotakan 80-100 petani kopi. Luas lahan kopi arabika Kintamani mencapai 14.000 hektar dengan jumlah petani sekitar 6.000 keluarga.
Kelompok petani dari puluhan subak abian itu kemudian membentuk sebuah koperasi bersama. Koperasi bersama itu bertujuan untuk menguatkan pemasaran, menjaga kualitas produk dengan sistem kontrol tertata, hingga menguatkan posisi tawar petani di hadapan pembeli.
Koperasi bersama itu untuk menguatkan pemasaran.
Upaya menjaga kualitas kopi arabika Kintamani tidak berhenti sampai di sana. MPIG Kintamani secara rutin mengadakan uji cita rasa kopi mereka secara bersama-sama setiap satu tahun. Hingga kini, terdapat tujuh petani yang sudah terlatih untuk merasakan cita rasa kopi.
“Dengan kualitas bagus, harga kopi jauh meningkat. Dahulu, sebelum tahun 2000, harga kopi ceri (biji merah) kurang dari Rp 1.000 per kg. Kini, harganya kalau dihitung sudah Rp 10.000 per kg,” ucap Jati.
Adapun harga kopi arabika Kintamani rata-rata di atas Rp 40.000 per kg. “Sekarang ini, tidak ada petani kopi Kintamani yang mempraktikkan lagi petik racut,” lanjutnya.
Jati yang sejak tahun 1985 sudah bertani kopi itu berharap, pemerintah bisa menjamin kestabilan harga kopi sehingga harga kopi tidak lagi naik turun tanpa kontrol dan mengurangi praktik ijon. Saat ini, guna menyikapi harga kopi yang masih naik turun, petani rata-rata melakukan tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk.
“Tujuannya, saat belum panen kopi, petani bisa mendapat uang dari tanaman jeruk. Namun, sudah mulai banyak petani menanam kopi secara monokultur,” kata Jati. (COKORDA YUDISTIRA/DAHLIA IRAWATI)
BIODATA
Nama : I Ketut Jati
Lahir : Desa Catur, 31 Desember 1966
Pendidikan : SMA (1985)
Istri : I Wayan Budiarsi
Anak :
- Ni Luh Medi Jayanti
- Ni Kadek Sintia Indri Antari
- Ketut Adit Okta Dijaya
Pekerjaan : Petani kopi arabika Kintamani