”Pengharapan ke hadapan Sanghyang Sangkara/Dewanya segala tetumbuhan/Agar semua tetanaman menjadi subur dan berbuah lebat/Serta kemudian, seluruh isi alam menjadi makmur dan sejahtera…”

Lirih kata terapal dalam doa para petani kopi Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Mereka memuja Sanghyang Sangkara, sang penjaga tetumbuhan.

Ketulusan hati mengalir bersama aroma kopi yang keluar dari banten saiban. Di antara dupa dan bunga, warga Desa Munduk tak lupa mengembalikan kopi kepada Sang Pemberi.

Doa dalam kegiatan bersyukur atas berkah kopi itu dilakukan warga Munduk setiap 25 hari sebelum hari raya Galungan dalam sebuah upacara tumpek uduh atau tumpek wariga, yaitu upacara menyambut turunnya Sanghyang Sangkara, penjaga tumbuh-tumbuhan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Umat Hindu beribadat dan mempersembahkan sesaji di Pura Kopi Subak Abian di Banjar Taman, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Munduk, Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali, Rabu (31/1/2018).

Pada saat itu, tepatnya Sabtu Kliwon Wuku Wariga (210 hari sekali), warga Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, berduyun-duyun datang membawa banten saiban (persembahan) ke Pura Kopi Subak Abian Munduk. Pura kopi itu terletak bersebelahan dengan lahan Puri Lumbung, penginapan pertama di Desa Munduk.

Posisi pura berada di lahan yang lebih tinggi, seakan menggambarkan kepala manusia dalam posisi rebah. Adapun bangunan lain berada di deretan di bawahnya, seakan menggambarkan badan dan anggota tubuh lain.

Warga memercayai bahwa Pura Kopi Subak Abian Munduk dibangun tahun 1920-an. Bendesa (Kepala Desa Adat) Desa Munduk Putu Ardana mengatakan, pura dibuat warga agar Sang Pencipta selalu dekat dengan mereka. Pura kopi tersebut, menurut Putu Ardana, tidak banyak dan hanya ada di daerah-daerah tertentu penghasil kopi.

“Keberadaan Pura Kopi Subak Abian Munduk tidak lepas dari sejarah Desa Munduk sebagai penghasil kopi. Tanaman kopi saat itu dibawa Belanda ke Munduk. Sebab, Desa Munduk menurut sejarahnya adalah salah satu pesanggrahan atau tempat peristirahatan Belanda di Buleleng sekitar awal tahun 1900-an. Saat itulah Belanda mulai mengenalkan tanaman kopi di sini,” tutur Putu Ardana.

Warga Desa Munduk berjumlah 6.000-an orang dan 10 persennya adalah petani kopi. Rata-rata kopi di Desa Munduk adalah jenis robusta karena ditanam di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Desa Munduk terletak pada ketinggian 600-1.500 mdpl.

Masa-masa kejayaan kopi Desa Munduk pada era 1920-an hingga sebelum tahun 1970. Sebab, tahun 1970, banyak tanaman kopi dibabat dan diganti dengan cengkeh. Itu terjadi karena harga kopi jatuh hingga sangat rendah.

Padahal, pada masa jayanya, para tuan tanah pemilik perkebunan di Munduk mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke luar Bali. Putu Ardana, misalnya, saat itu mampu mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

“Yang memanfaatkan Pura Kopi Subak Abian Munduk terutama adalah anggota subak dan petani kopi. Ini bentuk ucapan terima kasih kepada alam semesta akan rezeki berlimpah, terutama untuk tanaman perkebunan termasuk kopi,” ujar Nyoman Bagiarta, sesepuh Desa Munduk. Selain pura kopi, Desa Munduk juga memiliki pura sawah, tempat bersyukur petani padi.

Ini bentuk ucapan terima kasih kepada alam semesta akan rezeki berlimpah.

Hingga kini, Pura Kopi Subak Abian Munduk terus digunakan. Pura akhirnya menjadi monumen pengikat rasa syukur dan hormat nak (orang) Munduk dengan tanaman kopi yang menghidupi mereka.

Warga Desa Munduk pun mencoba mengembalikan kejayaan kopi miliknya. Mereka berjuang mengangkat kopi Munduk dengan kembali menggenjot produksi kopi robusta serta menguatkan ikon kopi arabika blue Tamblingan.

Blue Tamblingan adalah kopi arabika yang ditanam di sekitar Danau Tamblingan pada ketinggian 1.500 mdpl. Kopi tersebut tumbuh subur di kawasan hutan Amerta Jati.

Spesial

Bali juga terus bertumbuh sebagai penghasil kopi spesial di dunia. Kopi dibudidayakan hampir di seluruh daerah kecuali di Kota Denpasar. Dari delapan kabupaten di Bali, terdapat enam kabupaten yang memiliki kebun kopi arabika.

Adapun kebun kopi robusta berlokasi di seluruh delapan kabupaten. Hampir seluruh kebun kopi merupakan perkebunan rakyat.

KOMPAS/RIZA FATHONI

I Wayan Dira, pemilik kebun dan pabrik kopi skala rumah tangga, memanen kopi biji merah di areal perkebunan kopi rakyat di Pupuan, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, Bali, Senin (29/1/2018).

Dari pencatatan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali, luas lahan kopi di Bali mencapai 35.490 hektar. Dua pertiga dari luas lahan kopi itu merupakan kebun kopi robusta, sisanya lahan kopi arabika. Kebun-kebun kopi di Bali menghasilkan lebih dari 17.000 ton biji kopi pada 2016.

Hingga 2017, Bali memiliki dua kopi spesial yang sudah mendapatkan sertifikat indikasi geografis (IG), yakni kopi arabika Bali Kintamani dan kopi robusta Pupuan.

Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnu Ardhana menyebutkan, arabika Bali Kintamani dibudidayakan di tiga kabupaten, yaitu Bangli, Buleleng, dan Badung. Sementara lahan robusta Pupuan terdapat di Kabupaten Tabanan.

Sertifikasi IG awalnya diinisiasi oleh negara-negara Eropa untuk Indonesia (selain karena keterikatan sejarah masa lalu, juga karena orang Eropa berusaha menjaga plasma nutfah di Nusantara). Dengan IG, kopi Indonesia langsung diterima di Eropa tanpa harus mendapat sertifikasi dari perusahaan penyedia jasa sertifikasi dunia. (COKORDA YUDISTIRA/DAHLIA IRAWATI)