WARGA lereng Merapi memiliki ingatan buruk tentang program relokasi pada masa lalu. Laksono mengatakan, pasca-letusan Merapi tahun 1961, pemerintah menetapkan Dukuh Gimbal di Desa Kaliurang, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, sebagai daerah terlarang untuk dihuni. Sejumlah 228 keluarga dipindahkan ke Way Jepara, Lampung Tengah, pada 1962. Namun, kehidupan di daerah transmigran tak lebih baik.
Potret suram nasib warga Merapi di transmigrasi itu digambarkan oleh antropolog UGM, Masri Singarimbun, dalam artikelnya di majalah Prima, Tanah Seberang Tak Menarik: Studi Kasus Daerah Krasak, 1980. Letusan Merapi pada 1961 menghancurkan tiga desa, menewaskan lima warga lereng Merapi.
Sementara di Lampung, hanya dalam tiga minggu, 29 orang asal Dusun Gimbal meninggal karena malaria. Tidak aneh jika warga memersepsi tinggal di daerah transmigrasi tidak lebih aman daripada di lereng Merapi.
Menyusul tewasnya 29 tetangga dan kerabat mereka, sedikitnya 34 keluarga memilih kembali ke tempat asal mereka di Merapi. Karena dusun lama mereka telah dikosongkan, mereka membangun dukuh baru bernama Sumberejo di tepi Sungai Bebeng, dan secara administratif menginduk ke Desa Kaliurang.
Peristiwa itu membuat warga lereng Merapi belajar bahwa tinggal di lereng Merapi tidak lebih berbahaya daripada tinggal di tempat lainnya. Warga belajar bahwa bencana bisa terjadi di mana-mana.
”Dalam setahun, berapa orang yang meninggal karena bencana?” Laksono kemudian membandingkan dengan korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas, yang bisa jadi angkanya lebih besar. ”Bagi warga, hidup di lereng Merapi itu lebih masuk akal daripada kehidupan orang yang melintas di jalan raya,” katanya.
Penelitian oleh LAURA FIB UGM setelah erupsi Merapi tahun 2010 melengkapi temuan PM Laksono dan Masri Singarimbun pada tahun 1960-an. ”Alasan utama masyarakat Merapi tidak mau meninggalkan dusunnya karena tidak ada kepastian jika pindah hidup mereka akan jauh lebih baik,” kata Bambang.
Bagi warga yang hidup di lerengnya, Merapi bukan hanya kenyataan hidup yang harus diterima. Merapi adalah kehidupan itu. Bencana erupsi tidak semata dipandang sebagai musibah, tetapi juga berkah yang menghidupi.
Selain menyimpan ancaman yang berpotensi merusak wilayah sekitarnya, Merapi juga membanjiri wilayah ”kekuasaannya” dengan sumber daya alam yang memutar roda perekonomian masyarakat. Ia menjadi sandaran hidup bagi jutaan penduduk yang menjual pesona keindahan dan keasrian alamnya, minum dari mata airnya, memanen dari kesuburan tanahnya, bahkan mengeruk pasirnya.
Pakar geomorfologi terapan Fakultas Geografi UGM, Prof Sutikno, dalam Kerajaan Merapi: Sumberdaya Alam dan Daya Dukungnya, 2007, menghitung sebaran wilayah Merapi mencakup luasan 212.438,74 hektar yang dibatasi alur-alur sungai.
Batas wilayah ini disusun berdasarkan persebaran material Merapi di sekitar tubuh gunung ataupun lahar yang dibawa melalui alur-alur sungai. Wilayah ini meliputi empat kabupaten di Provinsi DI Yogyakarta dan enam kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.
Nilai produksi dari sumber daya ekonomi di wilayah Merapi per tahun mencapai Rp 33,04 triliun. Merapi menjadi penggerak tujuh sektor perekonomian andalan, yaitu pertanian (Rp 2,15 triliun), perkebunan (Rp 24,98 triliun), peternakan (Rp 1,35 triliun), perikanan (Rp 4,53 triliun), kehutanan (Rp 6,82 miliar), pertambangan (Rp 396 juta), dan pariwisata (Rp 1,8 miliar).
Nilai perekonomian di ”Kerajaan Merapi” yang didominasi pertanian dan perkebunan bisa berkembang pesat karena Merapi berfungsi sebagai daerah tangkapan air yang baik. Abu Merapi juga merupakan pupuk alami yang sangat bermanfaat bagi produksi sayur-mayur hingga padi.
Petani di sekitar Merapi bisa memanen padi tiga kali setahun. Petani di Kalimantan yang tak memiliki gunung api tak bisa memanen padi sebanyak itu. Rumput untuk pakan ternak juga tumbuh sepanjang tahun di lereng Merapi yang permai, menjadi sumber hidup bagi ternak sapi perah dan menjadikan Boyolali (Jawa Tengah) dan Cangkringan (Sleman) ”gudang emas putih” karena produksi susunya.
Selain itu, sumber daya yang gampang sekali diambil dari Merapi pasca-letusan adalah pasir. Material pasir yang terkandung dalam material vulkanik yang dimuntahkan gunung api, termasuk Gunung Merapi, merupakan pasir kualitas terbaik untuk bahan bangunan.
Ujung pasir (silika) letusan gunung berapi yang runcing membentuk partikel yang memiliki banyak sudut, yang membuat ikatan pasir gunung api dengan semen menjadi lebih kuat. Kandungan silika (SiO2) yang tinggi membuat kualitasnya menjadi sangat baik.
Dahsyatnya erupsi Merapi tahun 2010 membawa berkah pasir hingga jauh ke hilir. Sebelumnya, legit bisnis penambangan pasir hanya dirasakan warga di hulu sungai Merapi pada radius 10 kilometer. Kini, warga tengah kota yang berjarak lebih dari 30 kilometer dari Merapi turut mencicipinya.
Nilai total pasir Merapi sebanyak 150 juta meter kubik diperkirakan mencapai lebih dari Rp 7 triliun dan tak akan habis hingga 20 tahun ke depan, dengan asumsi pola penambangan yang sama dengan saat sebelum letusan tahun 2010.
Masyarakat yang hidup di lereng Merapi sadar betul dengan potensi sumber daya ini selain juga faktor risiko yang mesti ditanggung karena hidup bersanding dengan gunung api. Oleh karena itu, warga khawatir jika mereka pergi, tanah itu akan diakuisisi orang lain.
”Orang lain yang akan menikmati keuntungan ekonomi pascaerupsi,” kata Bambang. ”Menakuti warga dengan paparan risiko bencana tidak akan membuat warga mau pindah ke permukiman yang lebih aman,” lanjutnya.
Orang lain yang akan menikmati keuntungan ekonomi pascaerupsi.
Namun, dengan alasan mitigasi bencana, pemerintah tetap akan memindahkan 2.682 keluarga dari 11 dusun yang dikategorikan Area Terdampak Langsung I. ”Walaupun dusun-dusun itu telanjur dibangun dan dihuni kembali, tetap akan dipindahkan,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman Urip Bahagia.
Warga yang harus direlokasi itu meliputi Desa Argomulyo (Dusun Ketingan dan Besalen), Desa Umbulharjo (Kinahrejo dan Pangukrejo), Desa Kepuharjo (Dusun Kali Adem, Jambu, Petung, dan Kopeng), serta Desa Glagaharjo (Dusun Srunen, Kali Tengah Lor, dan Kali Tengah Kidul).
Urip mengakui, beberapa dusun itu telah kembali menjadi tempat bermukim warganya, seperti Srunen, Kali Tengah Lor, dan Kali Tengah Kidul.
”Bagaimanapun, 11 dusun itu tidak boleh dihuni lagi,” kata Urip. ”Yang sampai Desember 2011 belum mau direlokasi, ya, tiga dusun itu. Sebagian warga Pangukrejo juga belum mau direlokasi,” lanjutnya.
Warga menentang keras rencana itu karena awalnya relokasi akan diikuti dengan pengambilalihan tanah warga yang direlokasi oleh negara untuk dijadikan hutan lindung atau hutan rakyat. ”Orangtua saya memiliki tanah seluas 3.500 meter persegi, yang selama ini menjadi ladang rumput bagi empat sapi miliknya,” kata Ketur, warga Pangukrejo.
Karena tawaran relokasi dikaitkan dengan pengambilan tanah, warga Pangukrejo akhirnya memutuskan kembali ke dusun. “Semuanya kami jalani tanpa bantuan pemerintah, tanpa aliran listrik, tanpa fasilitas apa pun,” ujar Ketur.
Ahmad Arif; Indira Permanasari; Aryo Wisanggeni Genthong; Aloysius B Kurniawan; Agung Setyahadi; Lucky Pransiska; Slamet J Prihatin; Gunawan