MENDUNG yang bergayut seharian tersingkap menjelang senja. Gerimis menghilang, berganti gumpalan awan keemasan bersepuh sinar matahari di langit lembayung. Hamparan padang sabana dan persawahan, juga lima danau yang terhampar di kaki deretan Bukit Barisan, merona kuning. Asap menguar dari danau-danau berair panas itu.
Itulah Suoh, lembah permai pada ketinggian 800 meter yang tersembunyi. Untuk mencapainya, mobil gardan ganda kami pun terpaksa ditarik hardtop yang dimodifikasi. Kami harus melewati enam sungai tanpa jembatan dan menyusuri jalanan berlumpur yang lebih pantas disebut kubangan kerbau.
Namun, pesona senja di pedalaman Lampung Barat itu menghapus penat lima jam perjalanan penuh siksa dari Liwa.
Kabarnya, Suoh adalah daerah subur yang boleh digarap berapa pun luasnya.
Alam nan permai itu pula yang menuntun Suharyono ke Suoh, lima puluh tahun silam. Awal tahun 1962, lelaki asal Sleman, Yogyakarta, itu berjalan kaki dua hari demi Suoh. Bersama 23 pemuda lain dari berbagai daerah di Jawa, lelaki yang kini berumur 67 tahun itu menembus hutan, rawa, dan menyeberangi sungai.
Para pemuda itu awalnya ikut orangtua mereka dalam program transmigrasi veteran ke Baradatu di Lampung Utara pada 1960. Di Baradatu, itulah mereka mendengar tentang Suoh.
”Kabarnya, Suoh adalah daerah subur yang boleh digarap berapa pun luasnya,” ujar Suharyono yang waktu itu 17 tahun.
Semangat hidup mandiri membakar darah muda. Mereka pun pergi ke Dusun Hantatai, kampung tertua di Suoh. Tetua Hantatai, Hasby Madiah, menerima mereka dengan terbuka dan membebaskan anak-anak muda itu mengelola lahan yang menghampar luas di tepi Sungai Semangko. Lahan yang cocok untuk persawahan itu dinyatakan sebagai tanah bebas dan tak ada ahli waris yang akan menuntut di kemudian hari. Hasby menyebut tanah kosong itu sebagai Kampung Kejadian.
Suharyono yang penasaran bertanya kepada Hasby, ”Suoh sangat subur dan luas, tetapi mengapa hanya dihuni 21 keluarga di Dusun Hantatai saja?”
Hasby pun mengisahkan sejarah kelam Suoh. Konon, Suoh dihuni satu marga di Kampung Banjar, Negeri Ratu, Muara Aman, Bandar Agung, dan Kejadian. Warganya hidup makmur, hasil pertanian berlimpah. Jalan sudah dibuka hingga ke Liwa dan bisa dilalui bendi kuda.
Namun, gempa tak berkesudahan melanda Suoh pada 1933. Gunung Ratu di tengah lembah menyemburkan aroma belerang disertai kepulan asap kelabu tebal dan air panas. Sebagian besar warga Suoh berbondong meninggalkan kampungnya. Mereka mengungsi ke Bandar Sukabumi di hilir Sungai Semangko. Yang bertahan kebanyakan tewas. Kengerian petaka itu membuat sebagian besar warga yang mengungsi enggan kembali.
Namun, gempa tak berkesudahan melanda Suoh pada 1933.
Kehancuran itu dicatat geolog Belanda, Ch E Stehn, yang datang ke Suoh pada pertengahan Juli hingga awal Agustus 1933. Ia ditugaskan Pemerintah Hindia Belanda untuk meneliti petaka itu. Laporan lapangan Stehn lalu dikutip Newhall pada jurnal terbitan United States Geological Survey (USGS) edisi Historical Unrest at Large Calderas of the World, Volume 1 tahun 1988.
Stehn menyebutkan, sekitar 13 jam setelah gempa, tanah-tanah di Suoh yang rekah mulai melontarkan air panas. Fenomena geologi ini dikenal sebagai letusan freatik (phreatic eruption), yaitu letusan yang dipicu masuknya air ke kantong magma. Persentuhan air dan magma memicu munculnya uap panas yang segera menjebol sumbat, melontarkan debu, bebatuan, hingga air panas.
Lontaran material panas semakin meningkat, hingga pada 10 Juli 1933 atau 14 hari setelah gempa terjadi letusan freatik besar di Suoh. Letusan membentuk dua kawah dan menghancurkan area dalam radius 10 kilometer dari pusat letusan.
Neumann van Padang dalam buku History of the Volcanology in the Former Netherlands East Indies (1983) menyebutkan, letusan freatik waktu itu terjadi di sepanjang batas cekungan Suoh di barat daya. Letusan membentuk dua kawah, yang masing-masing sisi terpanjangnya 1 kilometer dan 2 kilometer. Tanah-tanah retak, mencipta lebih dari seratus lubang di jalur 5 kilometer dengan lebar sebaran sekitar 1,5 kilometer.
Gejolak tektonik diikuti letusan vulkanik di Suoh itu masih bisa dilihat jejaknya hingga kini dalam bentuk lima danau yang mengeluarkan air panas: Danau Asam, Lebar, Minyak, Berikan, dan Selibis. Sementara, jejak perkampungan yang terkubur letusan kerap ditemukan Suharyono dan para perantau lain saat mengolah lahan di Kampung Kejadian. ”Saat awal-awal tinggal di Suoh, kami sering menemukan ranjang besi, tempayan, dan kendi,” kata dia. Benda-benda rumah tangga itu terkubur tanah hingga 0,5 meter.
”Saat kami di sini sudah ada repong (rumpun) durian dan duku. Tanaman tertata rapi, mungkin ditanam orang-orang yang dulu tinggal di sini. Kami tinggal memetik buahnya,” ujar Suharyono.
Sementara, jejak perkampungan yang terkubur letusan kerap ditemukan Suharyono dan para perantau lain saat mengolah lahan di Kampung Kejadian.
Penemuan lain yang membuat Suharyono dan para pemuda tercengang kala itu adalah tangkai padi lengkap dengan bulir-bulirnya yang tersemen dalam tanah padat berwarna putih. Mereka menemukan endapan tanah putih di bawah rumpun hutan bambu di sudut desa.
”Tanah putih itu seperti kapur. Saya menggunakan untuk mengajar anak-anak di sini menulis di papan,” ujar Suharyono, yang waktu muda menjadi guru anak-anak di Hantatai.
Jejak perkampungan yang terkubur dan gelegak air panas di danau-danau tak menyurutkan para perantau itu untuk menetap di Suoh. Tanah subur dan alam yang permai membuat para pendatang betah. Panen padi, kopi, cokelat, sayur-mayur, dan buah-buahan yang berlimpah membuat mereka menutup mata terhadap jejak petaka yang nyata di depan mata.
Kini, daerah ini berkembang pesat dan mekar menjadi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Suoh yang terdiri atas tujuh desa dan Bandar Negeri Suoh yang meliputi sepuluh desa. Menurut sensus penduduk 2010, total warga di dua kecamatan ini 42.574 jiwa. Sebagian besar warga Suoh merupakan pendatang dari Jawa yang tak memiliki tautan memori dengan petaka 1933.
Ketika gempa besar mengguncang Suoh pada 1994, warga Suoh bertahan. Padahal, gempa tahun itu merusak nyaris seluruh rumah warga. Korban pun berjatuhan. ”Ada satu keluarga yang belum ditemukan sampai sekarang karena rumah mereka terkena longsoran bukit saat gempa,” kata Suparman (45), warga Sumber Agung, Suoh. ”Jalan ke desa kami putus. Korban luka lambat ditangani. Bantuan dari luar dikirim melalui helikopter.”
Sesaat setelah gempa, beberapa danau air panas di Suoh menguarkan bau belerang menyengat. Namun, letusan freatik sebagaimana tahun 1933 tak terjadi. Warga Suoh yang sempat mengungsi segera kembali. Selekas itu pula petaka dilupakan.
Sesaat setelah gempa, beberapa danau air panas di Suoh menguarkan bau belerang menyengat.
Demikian halnya di Liwa. Kota di lembah berketinggian 800 meter di atas permukaan laut ini diberkahi kesuburan. Jajaran Bukit Barisan yang mengelilinginya mencipta suhu sejuk. Dulu, Belanda menjadikan Liwa sebagai kota peristirahatan.
Aneka tanaman, seperti sayur-mayur, lada, cokelat, dan kopi, tumbuh permai di lereng. Liwa merupakan pusat utama kopi Lampung yang masyhur itu. ”Tanpa diberi pupuk pun hasil pertanian di sini selalu baik,” kata Darlim (50), petani sayur di Desa Rantau Panjang.
”Dari semua daerah rantau yang pernah saya datangi, ini yang paling subur,” ujar transmigran asal Cilacap yang pernah tinggal di Krui, Kalianda, dan beberapa daerah lain di Sumatera ini.
Kesuburan itu membuat Darlim tetap untung meski harus menyewa Rp 1,5 juta per tahun untuk tanah seluas sekitar 4.000 meter persegi. Ia menanam seledri dan wortel di tanah itu.
Jejak perkampungan yang terkubur dan gelegak air panas di danau-danau tak menyurutkan para perantau itu untuk menetap di Suoh. Tanah subur dan alam yang permai membuat para pendatang betah.
(AGUNG SETYAHADI/ PRASETYA EKO P/ AHMAD ARIF/ INGKI RINALDI)