Jota Karim (56), salah satu anggota suku Mbojo, menunjukkan beberapa jenis biji-bijian dari dalam bangunan kayu yang dinamai masyarakat setempat sebagai uma lengge. Secara bergantian, dia menunjukkan simpanan padi, sorgum, jawawut, dan jagung. Sebagian biji-bijian itu digantung dan sebagian lagi bulirannya disimpan di dalam karung plastik.
”Ini warisan turun-temurun. Memiliki lumbung menjadi kebanggaan bagi kami,” ucap Jota kepada Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas yang berkunjung ke kompleks uma lengge di Desa Maria, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Rabu (17/7/2019).
Budaya menyimpan bahan pangan di dalam lumbung suku Mbojo di Desa Maria ditandai dengan bangunan bernama uma lengge. Uma lengge adalah rumah panggung kecil berukuran sekitar 2 meter x 3 meter dengan empat tiang kayu penyangga. Dinding bangunan terbuat dari papan kayu dan beratap alang-alang. Sebagian dinding kayu uma lengge di kompleks itu lapuk dimakan usia, sedangkan sisanya tampak atap seng menggantikan atap alang-alang.
Tercatat, ada hampir 100 bangunan lumbung di kompleks uma lengge tersebut. Lumbung itu merupakan warisan turun-temurun yang kemudian akan diwariskan lagi kepada generasi berikutnya. Masyarakat di Desa Maria juga rutin menggelar upacara Ampa Fare, yakni tradisi syukuran setelah panen usai.
”Ampa Fare itu syukuran yang diselenggarakan setelah panen usai. Nah, dalam upacara itu, hasil panenan dinaikkan bersama-sama ke dalam uma lengge,” ujar Jota yang juga ditunjuk sebagai juru pelihara uma lengge.
Tipe sawah di Desa Maria yang berupa sawah tadah hujan mengakibatkan petani di sana hanya mampu panen sekali dalam setahun. Agar warga tidak kekurangan pangan, tradisi menyimpan hasil panen ke dalam uma lengge menjadi tradisi penyelamat dari bencana kelaparan. Tradisi tersebut diyakini berlangsung sejak abad ke-8.
”Setelah panen tiba, saya akan sisihkan setidaknya dua pertiga dari hasil panen untuk disimpan di uma lengge,” ucap Jota.
Tak hanya padi, masyarakat suku Mbojo juga dikenal memiliki tradisi menanam aneka ragam pangan. Jenis lain yang dibudidayakan selain padi adalah sorgum, jawawut, dan jagung. Sayangnya, sorgum dan jawawut mulai jarang dibudidayakan.
”Orang-orang sekarang lebih banyak menanam padi. Sudah sangat jarang yang menanam sorgum atau jawawut. Selain padi, yang masih cukup banyak ditanam adalah jagung,” ucap Aminah (55), salah satu pemilik warung di kompleks uma lengge.
Seperti yang dituturkan Anhar (29), warga Desa Tonggorisa, Kecamatan Palibelo, yang hanya mengenal nasi sedari kecil sebagai makanan utama. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai sopir taksi di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Bima, ini tak pernah mengenal ragam pangan selain nasi. Bahkan, nasi jagung pun belum pernah disantapnya.
Tak serakah
Ketua Lembaga Adat Desa Maria Hasan Abubakar (81) menjelaskan, ada filosofi yang terkandung dalam tradisi uma lengge. Selain budaya menyimpan pangan di dalam lumbung, masyarakat juga ditabukan untuk mengambil pangan dari uma lengge lebih dari dua kali dalam seminggu. Filosofi itu mengajarkan masyarakat untuk berhemat.
”Lumbung tak boleh kosong. Kata orang tua, tak baik jika sampai kosong. Pesan itu menyiratkan bahwa kita tidak boleh serakah,” kata Hasan.
Hasan menuturkan, pada tahun 1960-an, pertanian di Wawo pernah dilanda gagal panen lantaran serangan hama. Namun, cukup beragamnya jenis pangan yang disimpan warga dapat menghindarkan warga dari musibah kelaparan. Saat tanaman padi gagal panen, warga masih memiliki cadangan berupa sorgum atau jawawut.
”Pergantian zaman berhasil membuktikan kebaikan fungsi lumbung bagi suku Mbojo. Saat bencana kelaparan terjadi pada tahun 1960-an, warga masih diselamatkan oleh sedikit simpanan makanan di lumbung,” ujar Hasan.
Ada pula aturan khusus bagi warga dengan hasil panenan yang tak melimpah. Jika hasil panen mereka hanya cukup untuk kebutuhan makan selama enam bulan, cadangan yang disimpan di uma lengge harus diambil pada saat-saat terakhir saja. Selagi warga bisa berusaha, mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hasil panen pun tabu jika dijual atau ditukar dengan barang lain semacam baju atau lauk-pauk. Selagi bisa berusaha, warga tetap diminta bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Aturan adat uma lengge menggambarkan kearifan dan kerja keras suku Mbojo. Mereka pantang berpangku tangan atau hidup boros.
Direktur Program pada Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Rony Megawanto mengatakan, ketersediaan aneka ragam pangan bisa menghindarkan masyarakat Indonesia dari ancaman kerentanan ketahanan pangan. Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, beras sangat dominan sebagai pilihan utama sumber pangan rakyat Indonesia.
”Padahal, tradisi di Indonesia justru mengenal beragam jenis pilihan sumber pangan dan tidak hanya bergantung pada beras semata,” ucap Rony. (SIWI YUNITA C/LUKI AULIA/ARIS PRASETYO)