Saat menginap di Rurukan, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Alfred Russel Wallace untuk pertama kali mengalami gempa di zona Wallacea. Pada 29 Juni 1859, pukul 20.15 waktu setempat, ia merasakan getaran halus di dalam rumah saat membaca buku. Getaran semakin kuat dan ia mencoba menikmati apa yang terjadi.
Hanya kurang dari 30 detik, getaran kian mengguncang kursi yang didudukinya. Rumah kayu yang ia tinggali berguncang seolah hendak roboh. Gempa berlangsung sekitar semenit dan ia merasa seperti sedang mabuk laut. Wallace pun lari ke luar rumah menyelamatkan diri.
”Tanah goyang! Tanah goyang!” demikian teriakan orang-orang dari seluruh penjuru kampung. Semua orang lari ke luar rumah. Anak-anak menangis dan kaum perempuan menjerit. Ketika kembali ke dalam rumah setelah gempa reda, Wallace mendapati semua perkakas di dalam rumah berserakan di lantai.
Demikian catatan Wallace, naturalis asal Inggris yang menjelajahi Nusantara pada 1854-1862, dalam bukunya berjudul The Malay Archipelago tentang gempa di Tomohon.
Tidak takut
Pulau Sulawesi disebut sebagai pulau yang rawan gempa lantaran terdapat banyak sesar aktif. Dalam riwayatnya, pulau ini terbentuk dari tiga lempeng besar, yaitu Pasifik, Indo-Australia, dan Eurasia. Pada buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 yang diterbitkan Pusat Studi Gempa Nasional, disebutkan bahwa Sulawesi memiliki 48 sumber gempa.
Gempa juga dirasakan Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas ketika mendaki Gunung Gandang Dewata di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, pada pertengahan Agustus lalu. Saat berada di Pos 2 di ketinggian 2.017 meter di atas permukaan laut, terdengar dentuman dari dalam tanah yang disusul dengan guncangan selama beberapa detik.
Terakhir kali Mamasa dihantam gempa hebat pada 3 November 2018. Dalam sepekan berikutnya, Mamasa diguncang gempa sebanyak 170 kali dengan variasi magnitudo 3 hingga 5,2. Pada Selasa (6/11/2018) dini hari, gempa dengan magnitudo 5,2 mengguncang Mamasa sehingga menyebabkan masyarakat berbondong-bondong mengungsi.
”Kampung kami menjadi sunyi karena nyaris semua orang meninggalkan rumah. Ada ketakutan terjadi gempa besar seperti di Palu. Hanya satu dua keluarga yang bertahan di rumah,” kata Tandi Karaeng (48), warga Desa Buntu Buda, Kecamatan Mamasa.
Tokoh adat di Mamasa, Thimotius Sambominanga (91), menuturkan, dari cerita orang-orang tua terdahulu, gempa merupakan hal biasa di Mamasa. Mereka tak pernah merasa takut saat gempa melanda.
”Pada tahun 1963, hampir selama sebulan kami diguncang gempa akibat Gunung Karua (Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan) mau meletus. Tapi, dulu tak ada rasa takut, sekarang pada lari,” kenang Thimotius.
Tahan gempa
Thimotius juga mengenang, kendati diguncang gempa berkali-kali ketika itu, tak ada kerusakan berarti pada rumah warga yang struktur bangunannya masih tradisional, yaitu rumah panggung berbahan kayu. Ia juga tidak bisa memahami kenapa sekarang banyak warga beralih membangun rumah beton yang terbukti tidak tahan gempa.
Salah satu pemilik rumah tradisional Mamasa di Desa Tondok Bakaru, Kecamatan Mamasa, David (58), mengatakan, secara tradisional, nenek moyang orang Mamasa membangun rumah yang sudah beradaptasi terhadap alamnya. Banua (rumah tradisional Mamasa) punya fleksibilitas tinggi lantaran tidak menggunakan paku, tetapi dengan ikatan rotan.
”Selain fleksibel, struktur bangunan sangat presisi sehingga saat gempa sama sekali tak berdampak serius pada bangunan,” ucap David.
Rumah tradisional milik David merupakan warisan turun-temurun selama delapan generasi terakhir. Diperkirakan usia rumah tersebut sekitar 400 tahun. Hingga kini, rumah yang seluruh strukturnya terbuat dari kayu tersebut masih kokoh tegak berdiri.
”Hanya saja, waktu gempa besar terakhir terdengar bunyi kreekkk… kreekkk… dari suara gesekan kayu rumah,” kata David.
Ia mengakui, ada banyak kendala bagi warga untuk membangun rumah asli Mamasa. Kendala itu terletak pada mahalnya ongkos membangun rumah tradisional yang benar-benar asli. Begitu banyak upacara adat yang harus diselenggarakan selama proses membangun rumah.
”Hendak memotong kayu, mengangkut kayu, hingga mendirikan rumah selalu disertai upacara adat. Ongkosnya bisa Rp 2 miliar-Rp 3 miliar untuk satu rumah adat yang asli. Bukan harga yang murah di Mamasa,” ucap David. (*)