MENELUSURI JEJAK MASA SILAM
TAHUN depan, genap 500 tahun Columbus menemukan benua Amerika. Nama pelaut ulung ini sudah begitu eratnya terpateri dalam ingatan seluruh dunia, sama seperti para pelaut perkasa lainnya semacam Vasco da Gama, Bartholomeus Diaz, atau James Cook, yang sudah melayari lautan luas di dunia ini ratusan tahun lalu, dan tercatat dalam sejarah dunia.
Namun, sebenarnya jauh sebelum nama-nama di atas mencatatkan prestasinya dengan tinta emas, nenek moyang bangsa Indonesia sudah lebih dahulu dikenal sebagai pelaut yang tak kalah perkasa dan berjayanya di samudera. Bahkan konon bangsa di bumi khatulistiwa ini pernah memiliki armada layar terbesar di dunia. Mereka merupakan pelaut terbaik di muka bumi ini, yang sejak ribuan tahun silam untuk pertama kalinya berhasil melintasi samudera.
Sayangnya, perjalanan gagah berani ini tidak tercatat lengkap. Baik tentang nama-nama pelaut ulung kita yang secara teratur bertualang di samudera bebas, ataupun kapan persisnya era keemasan itu, semua tidak terekam secara pasti. Bahkan suku bangsa mana saja di Indonesia yang layak memiliki predikat sebagai suku pengarung samudera, tidak pernah ada kepastian hingga kini.
Ada beberapa suku yang memang sering disebut-sebut, di antaranya Melayu, Madura, dan Bugis-Makassar. Banyak wilayah baru yang berhasil ditemukan oleh para pelaut tradisional kita. Satu di antaranya adalah Madagaskar, yang dipercaya sudah sejak ratusan tahun lalu didarati oleh para pelaut “dari timur” (Indonesia).
Beberapa tulisan yang sebetulnya belum didukung bukti-bukti kuat, menyebutkan sejak abad ke-2 pelaut Indonesia telah tiba di negara kecil berbentuk pulau yang terletak di sebelah timur Afrika itu.
Miskin catatan
Madagaskar adalah sebuah negara pulau seluas sekitar 589 km persegi, yang termasuk pulau terbesar nomor empat di dunia, setelah Pulau Hijau (Greenland), Pulau Irian, dan Pulau Kalimantan. Madagaskar memproklamirkan diri sebagai Republik Malagasi, 26 Juni 1960, setelah dijajah Perancis selama sekitar 65 tahun.
Pulau ini sangat menarik perhatian para ahli dan peneliti, karena dinilai unik, sarat teka-teki dan misteri. Misalnya saja tentang letaknya yang sangat dekat dengan Afrika (hanya sekitar 300 mil), namun fauna dan flora yang terdapat di sana sangat berbeda dengan yang di benua tetangganya. Tak akan bisa dijumpai singa, harimau, zebra, atau gajah di Madagaskar.
Karena keunikannya ini, tak sedikit tulisan dibuat orang tentang Madagaskar. Sebagai gambaran, tahun 1935 saja seorang sarjana Perancis, Alfred Grandidier, sempat membuat bibliografi yang memuat sedikitnya 13 ribu judul karangan tentang Madagaskar, sebagian besar dalam bahasa Perancis.
Namun ironisnya, tulisan dalam bahasa Indonesia sendiri sangatlah miskin, padahal diyakini ada hubungan historis yang sangat erat antara Indonesia dengan Madagaskar. Almarhum S. Tasrif, pengacara yang mantan wartawan kawakan Indonesia, pernah mengeluhkan miskinnya kepustakaan Indonesia tentang Madagaskar ini, seperti yang ditulisnya dalam buku Pasang Surut Keradjaan Merina, Sedjarah Sebuah Negara jang Dididirikan oleh Perantau2 Indonesia di Madagaskar yang terbit tahun 1966 silam.
Mendirikan kerajaan
Dari buku S. Tasrif yang disusunnya berdasarkan studi kepustakaan ini pula disebutkan, para pelaut Indonesia yang sudah mendarat di Madagaskar, mendirikan kerajaan di sana. Menurut buku itu, dari beberapa suku yang ada di Madagaskar, yang termaju peradabannya adalah suku Merina yang berdiam di daerah pusat.
Yang paling menarik, suku Merina ini dipercaya sebagai keturunan langsung dari para pelaut Indonesia yang datang sebagai gelombang perantau terakhir pada pertengahan abad ke-16, setelah gelombang terdahulu di abad-abad sebelumnya. Suku bangsa ini mendirikan sebuah kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan Merina, dengan masa kejayaan cukup panjang. Bahkan disebutkan pula, sejarah kerajaan ini pada hakekatnya adalah sejarah Madagaskar, sampai kemudian kekuasaan imperialis Perancis mencengkram negara itu pada akhir abad ke-19.
Dari sini, tampak betapa dekat sebetulnya pertalian antara Madagaskar dengan Indonesia. Bahkan nama Madagaskar itu sendiri, menurut salah satu pendapat, memang berbau Indonesia. Dikatakan, nama itu berasal dari kata Mada dan gosse. Kata terakhir ini, dalam bahasa Swahili-lama, artinya orang. Jadi, Madagaskar kemungkinan berarti “orang-orang Mada”. Mada di sini barangkali saja asalnya dari Gajah Mada, patih Majapahit yang tersohor itu. Madagaskar juga dikenal sebagai Republik Malagasi, yang diduga berasal dari kata Mala dan gosse. Jika diartikan secara lengkap, Malagasi mungkin dimaksudkan sebagai “orang-orang Malayu”.
Memang, tak ada yang tahu pasti tentang berbagai teka-teki yang melingkupi negara ini. Yang ada hanya berbagai kemungkinan, dan seharusnya mengundang minat para peneliti dari Indonesia untuk menggalinya. Namun sulitnya lagi, nama Madagaskar sendiri sampai sekarang agaknya kurang berdengung di telinga orang Indonesia. Dulu, memang Indonesia sedikit banyak punya ketergantungan pada Madagaskar, yakni dalam hal impor cengkeh. Namun impor ini sejak 1985 tak ada lagi, setelah Indonesia menanam sendiri cengkeh dalam jumlah besar- besaran.
Hubungan kedua negara memang baik. Indonesia sendiri sudah sejak lama memiliki perwakilan di Madagaskar, dengan menempatkan Drs Is Rachmat sebagai Kepala Perwakilan/Kuasa Usaha Tetap RI di sana yang berkantor di ibu kota Madagaskar, Antananarivo. Namun Madagaskar sendiri hingga kini belum punya perwakilan diplomatik di Indonesia. Karena ini pula, rombongan ekspedisi pinisi “Ammana Gappa” sempat menemui kesulitan dalam urusan memperoleh visa ke sana.
Mudah-mudahan saja, ekspedisi pinisi “Ammana Gappa” yang cukup sarat misi mulai dari antropologi, sejarah, dan budaya ini, dapat lebih mempererat hubungan kedua negara di waktu-waktu mendatang. Dan mengingatkan kembali akan pertalian yang begitu kentalnya antara kedua bangsa…. (Fahmy Myala/Arya Gunawan)