RUMAH PANJANG YANG PENDEK NASIBNYA
SALAH satu ciri khas orang Dayak, yang pribuminya Kalimantan, tentu saja rumah panjang atau betang! Bangunan besar dan panjang serta berlantai panggung beberapa meter tingginya memiliki naungan satu wuwungan atap yang biasanya terbuat dari atap sirap atau seng.
ISI rumah lebar dan panjang itu kira-kira setengahnya berupa sederetan gabungan kamar-kamar dengan bagian belakang dapur. Selebihnya merupakan serambi berupa ruangan besar tunggal sepanjang puluhan hingga seratusan meter, sebagai arena sosial warga pemukim rumah lebar itu.
Rumah panjang yang juga disebut lamin atau rumah panjai ini memiliki nama khas sesuai dengan suku Dayak yang bersangkutan. Kabar terakhir tim ekspedisi pada Sabtu (18/6) lalu, dalam perjalanan melintas Barito-Muller-Mahakam, 20 Juni 2005), tim menemukan rumah panjang atau balai di Desa Konut, Kecamatan Tanah Siang, Kabupaten Murung Raya, di Kalimantan Tengah yang sekitar 18 kilometer dari Puruk Cahu, nyatanya mulai kosong.
Dari sembilan bukung atau bilik yang ada, kini hanya tujuh bukung yang dihuni dan menampung 27 keluarga. Tiga bukung lainnya masih kosong dan kondisinya rusak tidak terurus lagi. Bangunan cukup tua itu sepertinya tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Memang kelihatan bekas renovasi dan perbaikan bantuan dana pemda setempat, tetapi pembangunan itu tidak sesuai dengan harapan banyak warga. Hasilnya betang adat Tanah Siang itu berupa barak bangunan kayu saja.
Bangunan kayu puluhan meter buatan awal abad ke-20 itu perlahan- lahan ditinggalkan warga keluarga luas itu dengan berbagai alasan. Alasan-alasan itu antara laiin diduga karena kian memudarnya solidaritas budaya antarwarga serta solidaritas sosial dan diduga juga masyarakat adat Dayak di sana mulai individualistis dan tidak lagi rela menanggung beban hidup bersama-sama.
***
KEBERADAAN dan berapa jumlah persisnya rumah panjang di Kalimantan memang tidak pernah diteliti khusus dan disensus rapi. Sejak sekitar 17 tahun lalu di Palangkaraya, beberapa pengamat budaya Kalteng sudah menyatakan betang di kampung halamannya serius terancam punah.
Dalam suatu kunjungan ke rumah besar atau huma hai di Tumbang Malahoi, sekitar 150 kilometer utaranya Palangkaraya, terjadi diskusi kecil dan ujung-ujungnya menyimpulkan rumah panjang khas Kalteng, khususnya betang orang Dayak Ngaju, sungguh nasibnya bakalan pendek.
Dalam kunjungan waktu itu, tim menemukan beberapa rumah betang di Tumbang Kurik dan Tumbang Gago pun sudah dalam keadaan rusak dan tidak terurus bagus. Bahkan, sudah kosong ditinggal beberapa keluarga.
Begitu juga dengan betang terkenal di Tumbang Anoi, rumah panjang adat yang 100-an tahun pernah menjadi pusat pertemuan perdamaian sesama warga Dayak se-Kalimantan. Saat itu rumah bersejarah itu sudah tinggal reruntuhan. Karena terlalu tua, tak terurus, dan kemudian terbakar pula.
Begitu pun dalam pertemuan di suatu seminar soal Dayak Kalimantan, sekitar 1992 di Pontianak, Kalbar, soal betang pun menjadi pembahasan panjang. Ada satu pernyataan menarik saat itu, kira-kira begini:
“Betang itu merupakan sisa kebudayaan material Dayak di Kalbar, di daerah yang kebetulan memiliki rumah panjang terbanyak di Kalimantan. Nakjun di antara semua itu, hanya beberapa rumah panjangnya orang Iban, Kantuk, Bukat, Embaloh, dan lainnya.”
“Namun, betang yang benar-benar masih terurus dan memang panjang bentuknya, mungkin tersisa dengan baik di betang-nya Dayak Taman di Malapi I, serta rumah panjang terpanjang milik masyarakat Embaloh Palin di Nanga Jabau, dekat kota Putussibau di Kabupaten Kapuas Hulu. Betang itu ukurannya 268 kali 18 kali delapan meter. Ya, panjangnya 268 meter! Itulah sisa budaya unik Dayak Kalbar. Kita bisa saja membuat rumah panjang baru. Namun, tanpa nilai budaya dan sosial- historis masyarakat Dayak bersangkutan, ya buat apa,” begitu kira- kira pendapat sang moderator.
***
DAHULU rumah panjang hampir ada di setiap dusun Dayak. Perkembangan zaman yang membuka “isolasi” dusun, serta “kemajuan” dan kian terbukanya sarana hubungan dengan masyarakat luar rupanya telah mengikis nilai-nilai adat dalam rumah panjang ini.
Mantan Bupati Kapuas Hulu mengatakan antara lain, “Perkembangan zaman mendorong beberapa keluarga membuat rumah biasa, ya rumah pendek. Rumah keluarga itu untuk keluarganya saja serta terpisah dari rumah panjang yang milik adat kesatuan sosialnya. Rumah keluarga itu memang kehendak individual, bukan dampak dari instruksi atau kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Jadi kehendak keluar dari rumah panjang lalu membuat “rumah pendek” sendiri di luar sempat disimpulkan sebagai gejala internal pihak bersangkutan. Juga dalam pertemuan itu disebutkan, semoga menyusutnya jumlah rumah panjang itu bukan karena faktor pendorong dari luar sebab rumah panjang atau betang sempat memiliki pendangan stereotip tersendiri.
Katanya, rumah panjang itu kotor dan tidak sehat juga hidup berkerumun di bawah satu atap, kurang baik bagi pengembangan keluarga. Tinggal di rumah panjang beramai-ramai, selalu terancam bahaya kebakaran. Lebih celaka lagi, hidup rame-rame di rumah panjang, konon bisa menghambat program pembangunan. Rumah panjang sebagai pusat adat istiadat amat tidak cocok dengan kebijakan pembangunan.
Pembahasan soal rumah panjang ini sempat menjadi bahan diskusi menjelang tim ekspedisi meninggalkan Banjarmasin.
Setia Budhi dari Universitas Lambung Mangkurat dan Marko Mahin dari Sekolah Tinggi Theologi Gereja Kristen Evangelis berusaha sekali menemukan alasan dan bukti mutakhir perihal kasus makin pendeknya nasib rumah panjang di ujung hulunya Sungai Murung menjelang di perbatasan Kalteng-Kaltim.
Kedua antropolog asal Dayak Bakumpai dan Dayak Ngaju itu pasti agak kecewa menemukan betang di Tanah Siang itu mulai kosong. Juga rumah panjang itu tidak terurus malah terkesan sempat direnovasi pemerintah, namun pembangunannya tidak sesuai harapan masyarakat.
Bukan rahasia lagi, masalah rumah panjang masyarakat Dayak sempat mendapat perhatian dari pemerintah dengan segala dampak baik buruknya. Bagaimana ceritanya rumah panjang itu, ya kisahnya panjang. (TRY HARIJONO/RUDY BADIL)
Image:
Peta: Samarinda
KEARIFAN ADAT HULU BARITO LINDUNGI HUTAN DARI KERUSAKAN
Kearifan adat yang masih dipegang oleh warga sekitar di bagian Hulu Barito melindungi hutan dari kerusakan yang lebih parah. Pantauan tim Ekspedisi Barito-Muller-Mahakam menunjukkan warga masih cukup menghormati aturan adat karena mereka menyadari ketergantungan mereka terhadap hutan.
Tim Ekspedisi Barito-Muller-Mahakam, Selasa (21/6), memperkirakan bisa tiba di Desa Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Desa ini merupakan permukiman paling hulu di Daerah Aliran Sungai Barito.
Dari survei pra-ekspedisi, warga di sini masih cukup menaati peraturan adat, di antaranya mengenai masalah pengambilan hasil hutan. Warga menyadari ketergantungan mereka terhadap sumber daya hutan karena penghasilan utama mereka saat ini adalah mencari gaharu di hutan, selain dari sarang burung walet.
Jipen tidak hanya diterapkan kepada para pendatang. Jipen telah menjadi pranata adat yang tidak hanya menjaga keseimbangan kehidupan sosial budaya masyarakat, melainkan juga menjaga keseimbangan hubungan dengan alam sekitarnya.
Hingga kini hutan di sekitar Tumbang Topus, kampung terakhir di hulu Sungai Barito itu, masih lestari karena aturan adat melarang mereka menebang pohon secara serampangan. Dua kilometer dari tepi sungai pohon-pohon dilarang ditebang. Jika melanggar, pasti akan menghadapi jipen yang berat. Satu jipen nilainya sekitar Rp 30.000 dan siapa pun yang melanggar harus mendapatkan sanksi adat ini.
Hanya saja, menurut penuturan warga, sejumlah perusahaan tidak mengindahkan peraturan ini. Penebangan tetap mereka lakukan tanpa mengindahkan hukum adat sehingga sebagian kawasan hutan mengalami kerusakan parah.
Beberapa waktu lalu di sekitar desa pernah ada penebangan hutan yang oleh warga sekitar disebut penebangan lokal.
Namun, menurut sejumlah warga, akhir-akhir ini penebangan lokal tersebut berhenti karena selain mereka mulai menyadari pentingnya kelestarian hutan sebagai sumber kehidupan mereka, juga karena kayu yang mereka tebang hanya menguntungkan cukong-cukong kayu.
Dulu saat masih melakukan penebangan lokal, kayu tersebut dijual murah, hanya sekitar Rp 100.000 per meter kubik, sementara oleh cukong kayu tersebut bisa dijual hingga Rp 900.000 per meter kubik.
Hukum adat yang juga masih dipatuhi warga hingga saat ini di antaranya saat warga membuka hutan untuk keperluan berladang. Hukum adat melarang warga menebang pohon sembarangan. Salah satu pohon yang dilarang ditebang adalah pohon yang biasa digunakan untuk lebah madu bersarang. Warga mengungkapkan tidak setiap pohon bisa menjadi sarang lebah madu. Biasanya lebah madu bersarang pada pohon yang mempunyai kulit halus.
Setiap ada pelanggaran terhadap hukum ini, warga yang bersangkutan akan dikenai denda jipen melalui sidang adat dan besarnya denda diukur berdasarkan besar pohon lebah madu yang mereka tebang. Untuk satu pohon lebah madu berdiameter sekitar satu meter, seorang warga yang menebangnya bisa dikenai denda hingga lebih dari enam jipen atau Rp 180.000. (RAY/Tim Ekspedisi)