Foto: Kompas/Prasetyo Eko P

BERSIAP-Mempelajari kehidupan warga di pedalaman menjadi salah satu tujuan Tim Ekspedisi Barito-Muller-Mahakam Kompas, di antaranya niat untuk meneliti orang Punan Kaki Merah. Para warga di pedalaman seperti tampak di atas sedang bersiap untuk mencari gaharu di hutan.

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 2

Mencari-cari Punan ‘Kaki Merah’

·sekitar 4 menit baca

MENCARI-CARI ‘PUNAN KAKI MERAH’

SEKUJUR kaki manusia itu konon kulitnya berwarna merah. Jejak telapaknya melesat cepat merambas semak pekat hutan. Juga sepasang tangannya terampil merayapi tebing batu terjal, atau juga gesit berloncat-loncat kala menuruni jurang sambil meliuk melewati dahan dan batang pepohonan. Pokoknya, pria berkaki merah yang merupakan pemukim goa gamping itu, katanya, hanya bercawat dan selalu bergentayangan dengan hunusan parang tajam dan sumpitan berpanah racun. Sungguh berita cukup menakutkan dan memancing rasa penasaran.

Saya juga dengar berita itu beberapa waktu lalu. Malah informan itu yakin menunjukkan lokasi goa dan nama desa terdekatnya,? ujar Marko Mahin, dosen antropologi Sekolah Tinggi Theologi Gereja Kalimantan Evangelis, pekan lalu di Banjarmasin. ?Daripada penasaran, kami bentuk tim kecil dan saya ikut mendatangi orang Dayak yang kakinya merah, pemukim goa di tebing kaki Pegunungan Muller,? ujarnya.

Singkat cerita, Marko akhirnya menemukan kelompok ?Dayak Kaki Merah? itu. Sambil tertawa-tawa, antropolog lulusan Universitas Leiden, Belanda, itu berkata, ?Orang itu masih rumpun jauh warga kami, Dayak Ngaju. Mereka hidup dalam goa dan kerja utamanya berburu landak untuk mencari geliga atau batu dari tubuh landak berduri itu. Namun, mereka sengaja memerahkan kakinya dengan kunir hutan agar warga kampung lain ketakutan. Tujuannya supaya tidak ada saingan saat berburu landak.?

Ujung-ujungnya, diskusi menyerempet soal Dayak Punan, khususnya Punan Kaki Merah yang terkenal. Dalam survei pra-ekspedisi awal bulan Juni, di Tumbang Topus, sebagai desa paling ujung di hulunya Sungai Murung, beberapa warga mengaku sebagai orang Punan.

Lalu dengan tegas dan meyakinkan salah satu warga Ot Siau mengisahkan betapa kawannya dari Kampung Tumbang Tujang pernah dua kali berjumpa dan jalan bareng dengan serombongan Punan kaki merah (Kompas, 11 Juni 2005).

Informan Siau itu menuturkan, orang itu kulit kakinya merah dan hanya pakai cawat kulit kayu. Mereka pendiam dan kalau bicara memakai bahasa berbeda. Kalau tim tertarik, katanya, bisa menghubungi kawannya agar nanti diantar ke goa permukiman Dayak kaki merah.

?Informasi ini sejak dulu sudah ada, khususnya untuk mengisahkan soal orang Punan yang nomadis dan liar, serta orang kaki merah atau malah katanya ada orang hidup terasing dalam kelompok kecil, kalau berjalan amat cepat dengan tubuh miring,? ujar Marko yang juga mengepalai lembaga studi Dayak Kalimantan. ?Ada atau tidaknya orang Dayak terasing yang katanya hidup di goa, hutan primer, dan lainnya masih tanda tanya besar secara antropologis,? ujarnya.

Kata punan atau penan ataupun poonan dalam laporan peneliti asing kira-kira diartikan untuk sebutan orang primitif, orang rimba, orang terasing, orang liar, atau nomaden.

Isu beginian, menurut Marko, bukan baru kasak-kusuk kemarin dulu atau gosip-isu beberapa tahun lalu saja. Hal begitu sudah ada sejak lama, sejak masuknya peneliti asing ke pedalaman, lalu menulis temuan lapangannya dengan bumbu sensasi yang seru plus seram.

?SAYA bermaksud masuk ke dalam rimba? mencoba jika mungkin membuka rahasia orang Poonan atau Orang Liar dari Rimba? Saya yakin orang liar itu penduduk asli Kalimantan. Mereka hidup liar di alam liar di hutan di tengah-tengah Kalimantan, hampir sama sekali terasing dari dunia luar,? tulis Carl Bock, naturalis Denmark yang berekspedisi ke Hulu Mahakam dan melintas ke selatan melalui Sungai Barito (The Head Hunter of Borneo, 1882).

Laporan klasik semacam itu tentunya bikin penasaran ilmuwan Barat lainnya, khususnya Belanda yang menjajah Indonesia. Tahun 1894 rombongan ekspedisi pimpinan dr Anton W Nieuwenhuis, di desa terhulunya Sungai Kapuas, rombongan militer itu melaporkan, ?Orang Dayak Bongan itu sudah dua hari mengunjungi kami, mereka makhluk aneh. Kaum pria berperawakan jangkung, kurus tapi berotot? persenjataan mereka terutama sumpit dan parang. Mereka menanam padi sedikit, di samping itu hidup dari berburu yang sering memaksa mereka berpindah tempat? mereka sangat menggandrungi garam dan tembakau, tetapi mereka berusaha memberikan sesuatu sebagai penukarnya.?

Berbagai laporan berikutnya, terutama menuliskan soal ?keliaran? orang pedalaman itu, tentu bikin penasaran petualangan ilmiah etnolog dan antropolog. Entah siapa meniru siapa, tertulislah nama ?Punan? sebagai orang liar primitif dan hidup nomaden di hutan Kalimantan atau Borneo. Makin lama nama Punan makin ngetop, juga menjadi polemik ilmiah antarpeneliti sosial budaya.

?Kita tidak tahu apakah orang-orang yang dinamakan demikian itu memiliki hubungan kultural, linguistik, dan fisik. Ini mengingat mereka yang hidup berkelana di hutan rimba dalam kelompok kecil sebetulnya tidak memiliki hubungan khusus dan asal-usulnya juga berbeda,? tulis Tom Harrison pada tahun 1949, yang mengulas beberapa teori asal-usul Punan di Kalimantan.

?Juga apakah betul mereka itu pelarian, orang buangan dari kelompoknya. Atau juga apakah betul orang Punan itu lari ke hutan karena putus asa atau pelarian yang kalah perang dengan kelompok lain,? tulis Tom Harisson pula.

Pertikaian ilmiah dan saling debat dalam tulisan hingga kini masih berlangsung. Punan atau Penan di seluruh Kalimantan menjadi topik besar.

?Ada orang Penan di antara Dayak Kenyah di Kaltim, juga di hulu Kapuas. Bahkan di Kalteng pun banyak kelompok Punan, sampai ada Punan Kaki Merah,? papar Marko. ?Salah satu sasaran tim ekspedisi menemui kelompok yang mengaku orang Punan di Pegunungan Muller. Juga mewawancarai kelompok yang mengaku orang Penihing di pondok ladang dekat Long Bagun di Kaltim,? ujarnya.

Penan, Punan, atau Penihing, atau sebutan lainnya, memang ada meski tidak jelas asal-usulnya. Yang pasti, kelompok orang yang hidup ?terasing? dengan segala alasannya itu memang masih ada dengan nama kelompok masing-masingnya. Kalau saja tim ekspedisi bertemu dengan ?Orang Punan?, bakalan ada cerita lain lagi. Pasti!

(DANU KUSWORO/RUDY BADIL)

Artikel Lainnya