Bestari

Sebaran Etnis di Kalimantan

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 2

Barito-Muller-Mahakam, Napak Tilas Pertem(p)u(r)an Dayak

·sekitar 6 menit baca

BARITO-MULLER-MAHAKAM, NAPAK TILAS PERTEM(P)U(R)AN DAYAK

Oleh: Amir Sodikin

Belasan anjing pemburu yang dibawa warga Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, itu hanya terduduk lesu sambil sesekali menggonggong.

Anjing-anjing itu hanya bisa melihat para majikannya bergerak menuruni dinding Batu Ayau, sebutan salah satu puncak Pegunungan Muller yang menjadi batas Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Timur.

Lukas (28), pemuda Tumbang Topus, terpaksa menggendong anjing pemburunya untuk menuruni tebing Muller menuju Penyinggahan Penyungkat, di tepi Sungai Sebunut, Kalimantan Timur. Anjing lainnya terpaksa ditinggal di puncak perbatasan, antara Kalteng di sebelah selatan dan Kaltim di sebelah utara itu.

Ya, anjing-anjing pun tak bisa menuruni dinding Muller karena Batu Ayau terlalu curam untuk dilewati. Sebanyak 20 warga Tumbang Topus atau hampir semua laki-laki yang ada di desa itu memang mengantar Tim Ekspedisi Barito-Muller-Mahakam untuk menyeberangi Puncak Batu Ayau yang dikenal angker.

Angker, menurut pengertian warga, tidak hanya penuh misteri, tetapi juga penuh mara bahaya. “Ini jalur ngayau orang-orang Kaltim mencari kepala ke Kalteng atau sebaliknya,” kata Golo (40), warga Tumbang Topus.

Ngayau merupakan ritual berburu kepala manusia di zaman dulu. Walaupun di zaman modern sudah tidak ada ngayau dan ngayau sendiri berdasarkan interpretasi teologi orang-orang Dayak sudah tidak dibolehkan, rasa cemas masih menghinggapi warga.

Karena itu, jangan heran jika warga lokal lebih takut dibandingkan dengan pendatang. Mereka tidak berani berjalan sendiri ketika menjelajah hutan.

Selain menjadi jalur tradisional mengayau, Batu Ayau juga dikenal menjadi jalur antar-Dayak di dua provinsi itu untuk adu kekuatan. “Para pendekar dari Kalteng maupun Kaltim sering beradu kekuatan di puncak ini,” kata Golo menuturkan.

Antropolog dari Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis yang juga peneliti di Lembaga Dayak 21, Marko Mahin, mendapatkan catatan berbeda. Menurut dia, Batu Ngayau merupakan tempat pengakuan dosa para pengayau. “Untuk menghindari sumpah dari orang yang dikayau, biasanya para pengayau memberikan pengakuan dosa di tebing itu,” kata Marko.

Menurut Marko, orang-orang dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan dan DAS Kapuas dari Kalteng juga menggunakan jalur yang sama untuk mencari korban. Pendek kata, jalur Batu Ayau merupakan jalur sakral untuk menyatakan kejantanan para petualang Dayak dari berbagai suku.

Kini, di era modern, jalur Batu Ayau tetap ditakuti karena menjadi ajang untuk menyatakan teritorial adat masing-masing Dayak. Sebagian pemuda di Tumbang Topus pernah menjadi pelaku unjuk kekuatan dengan Dayak lain dari DAS Mahakam. Puncak pertemuan dengan Dayak- Dayak Kaltim pernah terjadi tahun 2001 ketika mereka berebut sarang burung walet di Batu Ayau.

“Di puncak ini ada Goa Ardin yang masuk wilayah Kalteng, tapi sarang waletnya dipanen orang Bahau di Kaltim,” kata Lukas. Desa sempat meminta baik-baik kepada penemu sarang untuk dapat memanen satu kali saja untuk kepentingan kampung. Namun, permintaan itu tidak dipenuhi dan konflik massal pun tak terelakkan.

Cerita pertikaian akibat perebutan sarang walet itu seolah menjadi pembenar, bahwa Batu Ayau, selain dulu menjadi jalur favorit untuk ngayau, sampai kini juga masih tetap angker. Bedanya, kini konflik perbatasan yang dipicu perebutan sarang burung walet itu lebih membayangi.

Jalan patroli Belanda

Ada pertanyaan menggelitik dari peneliti antropologi yang terlibat dalam Tim Ekspedisi Barito-Muller-Mahakam. Kuat mana pengaruh Dayak di DAS Barito Kalteng dengan yang ada di DAS Mahakam Kaltim?

Pertanyaan ini bukan hendak mengadu domba antar-Dayak, tetapi hanya sebagai jangkar pertanyaan untuk mengetahui seberapa jauh penyebaran suku-suku Dayak di Kalimantan. Kalteng memang memiliki suku Dayak pribumi yang khas, begitu pula dengan di Kaltim.

Dari penyebaran masing-masing suku itu terlihat pertemuan budaya yang semakin menambah khazanah budaya. Beberapa fakta menunjukkan pertemuan budaya itu bisa menciptakan satu suku sendiri.

“Sepanjang perjalanan ekspedisi di DAS Barito ini saya hanya menemukan kehadiran Dayak Bahau dari Kaltim yang sekarang tinggal di hulu Barito,” tutur Setia Budhi, antropolog yang meneliti Dayak dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Orang Bahau yang dimaksud kini tinggal di Tumbang Topus, desa paling hulu dari DAS Baritoyang berada di Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalteng. “Selain Bahau, tidak ada Dayak dari Sungai Mahakam yang menyeberang ke Kalteng,” kata Budhi.

Tumbang Topus merupakan pertemuan budaya dari hampir semua Dayak yang ada di DAS Barito mulai dari Ngaju, Siang, Siang Murung, Punan, Bakumpai, dan Ot Danum. Kampung kecil dengan sekitar 46 keluarga itu kini menjadi kampung multietnis.

Sebaliknya, di DAS Mahakam tim ekspedisi banyak menemukan Dayak dari DAS Barito yang eksis di Mahakam. Di beberapa kampung terdapat kantong-kantong Dayak dari DAS Barito. “Penyebaran yang begitu luas terlihat pada suku Dayak Bakumpai. Bakumpai memang dikenal piawai dalam berdagang,” kata Budhi.

Di DAS Mahakam, Dayak Siang, Bakumpai, dan Ngaju tercatat bisa bergaul dengan baik bersama Kenyah, Bahau, dan Aoheng atau Penihing. Di mata orang Kaltim, Dayak Kalteng memang dikenal pemberani.

Lalu apa yang mengakibatkan Dayak dari DAS Barito lebih banyak menyebar hingga menyeberangi Pegunungan Muller menuju DAS Mahakam? Apakah memang orang-orang dari DAS Barito lebih perkasa?

“Saya menemukan bukti lain. Mereka pergi ke Kaltim karena pada zaman Belanda mereka sulit mendapatkan akses sumber daya alam yang memadai,” kata Budhi. Di Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, terdapat benteng Belanda yang berfungsi mengontrol sumber daya alam seperti hutan, tambang emas, dan gaharu.

Marko Mahin mengatakan, saat Belanda berkuasa mereka memang kuat mengontrol daerahnya. Belanda juga berhasil meredam pertikaian antarsuku termasuk juga menghentikan aktivitas berburu kepala atau ngayau. “Kalau Kalimantan aman, berarti keuntungan bagi Belanda untuk meningkatkan hasil bumi,” katanya.

Jejak jalur patroli Belanda itu hingga kini masih terekam jelas di sepanjang jalur Pegunungan Muller, menuju Sungai Sebunut di Kaltim. “Dulu banyak jembatan kayu ulin yang bagus, sekarang tinggal batangnya saja. Sayang sekali kita tidak bisa merawatnya,” kata Klemen (40), warga Dayak Aoheng di Kaltim.

Warga menuturkan, jalur yang digunakan tim ekspedisi sebagian merupakan jalur patroli Belanda. Puncak jalur paling rawan sejak dulu kala hingga kini disebut Batu Ayau tadi.

Hampir 800 suku

Warga Tumbang Topus sejak awal terbiasa dengan perbedaan suku. Di kampung itulah tempat bertemunya Dayak keturunan Punan, Siang, Siang Murung, Ot Danum, Ngaju, dan Bakumpai. Suku-suku itu adalah suku asli penghuni DAS Barito.

Tidak selamanya pertemuan dengan Dayak-Dayak lain itu berakhir konflik. Banyak di antaranya membuahkan hubungan kekerabatan melalui kawin-mawin. Perjumpaan antar-Dayak yang membuahkan saling pengertian dan saling membantu dengan runtut dituturkan Uci (35), basie kampung atau dukun di Tumbang Topus.

Uci menyembuhkan pasien dengan menghadirkan sosok roh leluhur dari berbagai suku yang pernah ada atau hadir di Tumbang Topus. Ritual penyembuhan berlangsung beberapa kali dan dalam setiap ritual diyakini selalu hadir roh leluhur atau bidadari cantik yang siap mengobati pasien.

Hal yang unik, bidadari yang datang melalui perantara tubuh basie itu bisa berasal dari suku Dayak lainnya, misalnya Ot Danum, Siang, Punan, Ngaju, Bahau, dan Bakumpai. “Siap-siap saja menyapa kalau nanti yang datang adalah leluhur dari Banjar,” kata Uci kepada tim ekspedisi yang mayoritas didominasi orang yang mengerti bahasa Banjar.

Pengobatan balian itu seperti merangkum khazanah budaya semua Dayak yang ada di Tumbang Topus. Desa itu memang menjadi pertemuan budaya dari hampir semua Dayak yang ada di DAS Barito, bahkan juga DAS Mahakam.

Keberagaman etnis Dayak semakin penuh warna ketika memasuki hulu Mahakam. Penghuni DAS Mahakam ini di antaranya Dayak Aoheng, Kenyah, Bahau,dan Benuaq. Bentuk tubuh, warna kulit, raut wajah, dan budaya mereka benar-benar jauh berbeda dengan Dayak di DAS Barito.

Marko Mahin bahkan mengungkapkan, secara teologis surga mereka pun berbeda-beda dengan bahasa ritual yang tentu saja berbeda. Dayak benar-benar penuh warna dan kini tak lagi menunjukkan sekadar sebutan satu kelompok etnis. “Jumlah suku Dayak terakhir sampai 800-an suku,” katanya.

Dayak tidak lagi menjadi sesuatu yang ditakuti. Justru sebaliknya, Dayak merupakan mahkota Kalimantan yang kekayaan budayanya begitu berlimpah, penuh daya tarik.

Sastrawan dari Sendawar Kutai Barat yang asli Dayak Benuaq, Korie Layun Rampan, mengatakan kesadaran sebagai suku Dayak dalam beberapa tahun lalu memang sempat memudar, tetapi kini generasi mudanya, terutama dari kalangan menengah, mulai menegaskan kembali identitasnya sebagai Dayak.

“Dulu ketika orang mulai masuk ke agama lain dia enggan mengaku sebagai Dayak, sekarang tidak lagi karena antara agama dan etnik tidak ada hubungannya,” kata Korie.

Kutai, Halok, dan Banjar merupakan deretan identitas suku yang sebenarnya Dayak juga. Kini identitas Dayak mulai ditegaskan dan dibanggakan.

“Jalur tim ekspedisi sebagian merupakan jalur patroli Belanda. Puncak jalur paling rawan disebut Batu Ayau.”

Artikel Lainnya