Tim ekspedisi sebenarnya sudah tiba lebih dulu beberapa menit di daerah Horombo, Tanzania, di jalur pendakian Kilimanjaro (5.792 meter), Kamis (29/7) sore. Namun, portir dan pemandu menawarkan diri untuk membuat acara penyambutan. Ide itu tentu disambut gembira.
Tidak lama kemudian Jawadi, si pemandu, mengumpulkan para portir dan pemandu lainnya di depan pondok kayu tempat berkumpul pendaki. Portir dan pemandu pendakian pun menyanyikan lagu-lagu balada dalam bahasa Swahili di pemondokan Horombo (3.720 meter).
Balada itu dinyanyikan khusus untuk menyambut kedatangan Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung Wanadri dari Indonesia. Tim terdiri atas 6 pendaki ekspedisi dari Wanadri, 3 pendaki senior Wanadri, wartawan Kompas, Ambrosius Harto Manumoyoso, serta wartawan dan juru kamera Metro TV.
Popo memberi aba-aba dan portir serta pemandu kemudian bernyanyi. Kilimanjaro Kilimanjaro /Kilimanjaro Kilimanjaro /mlima mrefu sana ./ewe njoka ewe njoka ewe njoka/ ewe njoka mbona wanizunguka/ wanizunguka wataka…
Lirik berbahasa Swahili itu kira-kira berarti “Kilimanjaro adalah gunung yang amat besar. Agar bisa mencapai puncak bersalju dan amat tinggi itu, pendaki berjalanlah seperti ular yang zig-zag, dan pelan- pelan saja”.
Jawadi pun amat bersemangat memandu rekan-rekannya bernyanyi dan menari. Pendaki senior, yaitu Iwan Abdurrahman alias Abah Iwan, Remi Thajari, dan Hendricus Mutter, kemudian ikut bergoyang. Lima anggota tim, yaitu Gina Afriani, Fajri Al Luthfi, Nurhuda, Ardhesir Yaftebbi, dan Martin Rimbawan, juga larut dalam kegembiraan meskipun sesekali menjepretkan kamera dan mengaktifkan handycam guna merekam aktivitas mereka.
Keriuhan itu kontan menarik perhatian ratusan pendaki, portir, dan pemandu lainnya di Horombo. Mereka tersenyum melihat ulah gembira kedua belas warga Indonesia ini.
Penyambutan itu pun terasa spesial dan seakan menghilangkan keletihan hebat setelah perjalanan hampir tujuh jam dari pemondokan Mandara (2.720 meter), tempat pertama tim menginap. Mandara dicapai hampir empat jam berjalan dari gerbang Taman Nasional Kilimanjaro, lewat jalur Desa Marangu.
Meski rute Mandara-Horombo terasa melelahkan, perjalanan sebenarnya cukup menyenangkan. Semua perlengkapan pendakian dalam tas besar (carrier) dibawa portir. Tim cuma membawa tas lebih kecil berisi makanan dan minuman secukupnya serta pakaian hangat dan kamera.
Setengah perjalanan, tim berhenti untuk makan siang. Menu hari itu amat istimewa, dan menggugah selera. Maklum, akhirnya kami bertemu juga dengan nasi setelah dua hari tidak makan nasi. Lauknya ayam dalam sayur semacam lodeh berkuah merah yang ternyata lezat. “Is it good?” kata Mathias, si pemasak, bertanya. Tim dengan mantap mengangguk.
Selama perjalanan pun, tim banyak belajar bahasa Swahili dari pemandu. Jawadi dan Augustino mengajari anggota tim beberapa kata dan lagu Swahili. Abah Iwan dan Kang Remi yang paling antusias mencoba menghafalkan lagu-lagu balada itu. “Saya tahu satu lagu yang mereka ajarkan dari rekaman koleksi Bung Karno sekitar awal 1970,” kata Abah Iwan.
Abah Iwan dan Ardhesir yang paling sering berdendang lagu-lagu balada Swahili dalam perjalanan Mandara-Horombo. Perjalanan menjadi menyenangkan meskipun sangat melelahkan.
Dari Horombo, puncak Kilimanjaro yang bersalju tampak begitu anggun.
Langit malamnya bersih dihiasi bintang-bintang. Udara dingin sekitar 10 derajat celsius seakan tak berasa ketika tubuh berbalut pakaian hangat nan tebal meringkuk dan bermimpi dalam kantong tidur.