Dalam rangka memperingati hari ulang tahun ke-45, Harian “Kompas” antara lain melakukan ekspedisi Sungai Musi. Ekspedisi sungai sepanjang 720 kilometer itu, yang diberi nama Jelajah Musi 2010, dilakukan untuk mengetahui segala potensi ekonomi, sosial, sejarah, dan budaya lokal terkait peran sungai itu, mulai dari daerah titik hulu di Taman Nasional Kerinci Seblat di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, hingga muara sungai di Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Tulisan perjalanan, yang diawali survei pada Februari lalu, selain dimuat di halaman 1, juga di halaman 23 dan halaman Sumbagsel. Rekaman videonya dapat dilihat di kompas.com.
Sungai Musi kembali meluap dan menyebabkan ribuan keluarga di Sumatera Selatan menjadi korban hingga awal Maret ini. Empat daerah terparah adalah Musirawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, dan Palembang.
Ini banjir lima tahunan. Tahun 2005 juga seperti ini,” kata Yasin (48), petani karet di Desa Kemang, Kecamatan Sangadesa, Musi Banyuasin, pekan terakhir Februari lalu.
Yasin dan ribuan petani karet lain hanyalah sebagian dari korban banjir. Selain rumah dan akses menuju tempat tinggal mereka terendam, banjir menyebabkan petani-petani itu kehilangan sumber nafkah. Mereka hampir tiga bulan ini tidak bisa menyadap karet. Untuk memperpanjang hidup, para petani karet itu terpaksa berutang kepada tauke (pedagang) yang biasa membeli karet mereka.
Banjir diyakini muncul akibat kerusakan hutan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi serta delapan sub-DAS yang meliputi Kelingi, Lakitan, Rawas, Harileko, Semangus, Lematang, Ogan, dan Komering.
Musi juga menjadi muara puluhan sungai besar dan kecil lainnya, baik di Bengkulu maupun Sumatera Selatan. Salah satu sungai kecil yang bermuara di Musi adalah Sungai Ketapang di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu. Sumber air sungai ini beberapa di antaranya terdapat di kawasan hutan lindung Bukit Daun. Dari sumber-sumber air itulah di antaranya air Musi berasal dan mengalir hingga sejauh 720 kilometer.
Sungai Musi dan anak-anak sungainya telah lama berperan besar dalam perjalanan kehidupan warga. Bahkan diyakini bahwa keberadaan situs-situs megalitik di Kota Pagaralam dan sekitarnya terkait erat dengan mobilitas manusia masa prasejarah sekitar 4.500 tahun lalu (2.500 tahun sebelum Masehi), yang melalui Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Kepala Balai Arkeologi Palembang Nurhadi Rangkuti menyebutkan, Sungai Musi menjadi lokasi berkembangnya Kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim yang disegani di Asia Tenggara pada abad ke-7 Masehi. “Di daerah hulu Sungai Musi terdapat kawasan Besemah (Pasemah) yang menggambarkan kebudayaan masa prasejarah, berupa peninggalan megalitik (batu besar),” ujarnya.
Keterkaitan Sungai Musi dengan kehidupan warga di sekitar DAS, sub-DAS, dan anak-anak sungainya bahkan tergambar dalam penggunaan aksara, mulai dari kawasan hulu di Rejang Lebong dan Kepahiang hingga di hilir, seperti Empat Lawang, Pagaralam, dan sebagian Musi Rawas. Di daerah-daerah itu, warga menggunakan aksara yang sama, aksara ulu, yang disebut juga aksara kaganga. Aksara ini pun digunakan masyarakat di sebagian Lampung danKerinci (Jambi).
Peneliti aksara kaganga dari Universitas Bengkulu, Sarwit Sarwono, memastikan keterkaitan penggunaan aksara itu dengan mobilitas masyarakat di DAS Musi dan anak-anak sungainya.
Transportasi sungai
Peran Sungai Musi dan beberapa anak sungainya di bidang pergerakan penduduk, perdagangan, dan pengiriman barang kebutuhan pokok saat ini tetap besar meskipun tidak seperti masa lalu; hanya di kawasan hulu, seperti Tebingtinggi dan Muara Kelingi, yang berkurang.
Pengiriman barang dari Tebingtinggi hingga Palembang, misalnya, menurut M Sidik (57), warga Kelurahan Muara Kelingi, sejak 1985 sudah tidak lagi melalui Musi. Dari Muara Kelingi, pengiriman barang melalui sungai terakhir tahun 1996.
“Setelah banyak jalan beraspal, mengirim barang lebih cepat dan aman melalui jalan darat,” kata Sidik, yang rumahnya berada di tepi sungai.
Nurhadi Rangkuti menyebutkan, warga Sumatera Selatan mulai berpaling dari sungai sejak tahun 1930-an, bersamaan dengan pembangunan jalan yang dilakukan penjajah Belanda.
Namun, untuk Palembang dan sekitarnya serta daerah hilir, hingga kini Musi tetap menjadi andalan. Barang kebutuhan pokok, misalnya, mengalir dari Pasar 16 Ilir, Palembang, ke daerah-daerah pedalaman yang belum memiliki jalan darat, seperti ke kawasan bekas transmigrasi Makarti Jaya, Sungsang, dan Upang.
Melalui Musi pula bahan bakar minyak yang dihasilkan kilang minyak Sungai Gerong dan Plaju, pupuk dari PT Pupuk Sriwijaya, tandan buah segar sawit, minyak mentah sawit dan produk turunannya, serta getah karet dikirim dari Palembang dan sekitarnya melalui Selat Bangka.
Namun, beberapa tahun ini Musi tak lagi nyaman dilalui. Pada musim hujan, sungai itu meluap dengan membawa serta banyak batang pohon dan ranting serta jutaan kubik lumpur.
Meluapnya Musi, menurut Mawardi, pengamat sungai dari Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera VIII, disebabkan perambahan hutan di daerah hulu serta DAS delapan anak sungai. Perambahan dilakukan warga untuk bertanam kopi. DAS umumnya berubah menjadi perkebunan rakyat, baik kopi, sawit, duku, durian, manggis, karet, maupun tanaman padi ladang.
Kerusakan sepanjang DAS itulah yang membuat alur Musi berbanding terbalik pada musim kemarau. Musi kadang sulit dilalui kapal besar dari Pelabuhan Boom Baru, Palembang; kapal minyak, dan kapal pengangkut pupuk PT Pusri.
Saat kemarau, kapal besar harus menunggu air laut pasang naik untuk bisa melayari Musi dan dipandu hingga Boom Baru. Kondisi seperti ini pun menyebabkan intrusi air laut ke Musi semakin gawat.
Tahun 2006, peneliti ikan di Balai Riset Perairan Umum Departemen Kelautan dan Perikanan di Palembang menemukan dua jenis ikan laut, hiu dan pari, di bawah Jembatan Ampera, Palembang. (JAN/BOY/MZW/RYO/HLN/WAD/ED/NUT)