KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Petugas memeriksa bendungan yang digunakan untuk mengalirkan air Sungai Musi menuju ke turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air Musi di Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Senin (15/2). Pembangkit ini mampu memasok kebutuhan listrik hingga 210 megawatt.

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010: PLTA Musi, Energi Sumatera Bagian Selatan

·sekitar 3 menit baca

Lukman Hakim (60), tokoh masyarakat di Kelurahan Ujan Mas Atas, Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, begitu antusias saat bercerita soal Pembangkit Listrik Tenaga Air Musi. Kehadiran PLTA di wilayah tersebut membuat kawasan Ujan Mas dan sekitarnya semakin berkembang.

Dulu, masyarakat Ujan Mas sulit memasarkan hasil pertanian, terutama kopi, ke daerah lain dalam jumlah banyak karena tidak ada jalan raya. Saat itu, kalau mau menjualnya, kami harus memikul dengan berjalan kaki sejauh beberapa kilometer. Namun, sejak PLTA Musi dibangun di sini, kami semakin mudah pergi ke mana-mana, bisa jual hasil bumi dengan cepat karena ada jalan beraspal mulus. Listrik pun bisa nyala 24 jam. Hidup kami menjadi lebih baik,” kata Lukman, Senin (15/2).

PLTA Musi dibangun di Ujan Mas. Di kawasan itu ada dua bukit yang berada di tepi kiri dan kanan alur Sungai Musi. Jarak kedua bukit itu sekitar 200 meter sehingga memudahkan dibangunnya bendungan.

Aliran air di kawasan hulu Sungai Musi lalu dibendung. Sebagian dari air itu disalurkan ke kolam khusus dengan kedalaman 6 meter. Air lalu dialirkan melalui terowongan sejauh 7 km, menembus bukit yang ada di sisi kanan menuju Kabupaten Bengkulu Utara.

Di lokasi itu air dilepas dari ketinggian 400 meter melalui sebuah pipa khusus menuju turbin yang juga dibangun di dalam tanah. “Semakin tinggi air dilepas, semakin besar energi listrik yang dihasilkan. Itu sebabnya PLTA Musi mampu menghasilkan listrik berdaya 210 megawatt dari daya terpasang 3 x 70 megawatt,” kata Manajer Sektor PLN Pembangkitan Bengkulu, Heri Priambodo.

Sebagian lagi air dari hulu itu dialirkan kembali ke alur Sungai Musi. Selama musim hujan, volume air yang dialirkan dari PLTA Musi ke sungai yang memiliki panjang sekitar 720 km itu minimal 35 meter kubik per detik, sedangkan saat kemarau sedikitnya 15 meter kubik per detik.

“Jadi, tidak benar kalau semua air di hulu Sungai Musi ditampung untuk PLTA Musi dan dialirkan ke arah barat di Bengkulu. Bahkan, volume air yang dialirkan ke Sungai Musi melebihi batas minimal ketentuan pembangunan bendungan atau PLTA, yakni 1,5 meter kubik,” ujar Heri.

Khusus air dari penggunaan untuk memproduksi energi listrik yang mengalir ke Bengkulu dijadikan sebagai sumber utama bagi irigasi sekitar 10.000 hektar sawah di wilayah itu. Bahkan, air yang sama juga akan digunakan untuk memasok kebutuhan air bersih bagi masyarakat Kota Bengkulu dan sekitarnya.

“Masyarakat Kota Bengkulu dan sekitarnya selama ini menderita krisis air bersih, menyusul sumber air yang digunakan tercemar limbah karet dan limbah batu bara. Itu sebabnya Perusahaan Daerah Air Minum Bengkulu segera memanfaatkan air dari PLTA Musi untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga setempat,” tambah Heri.

PLTA Musi yang beroperasi sejak 12 April 2006 itu pertama kali disurvei tahun 1965. Setelah itu, selama 20 tahun berturut- turut dipantau perkembangan debit airnya. Setelah dinilai layak, pada 1972 mulai dilakukan studi proyek. Lalu, tahun 1994, proyek ini pun dibangun.

PLTA Musi merupakan bagian dari Pembangkit Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel), meliputi Sumatera Selatan, Bengkulu, Sumatera Barat, Jambi, dan Lampung dengan beban puncak 1.160,1 MW. Itu berarti PLTA Musi berkontribusi 18,1 persen atau terbanyak dari total kebutuhan listrik di lima provinsi tersebut. PLTA Besai di Lampung hanya memiliki daya terpasang 2 x 45 MW.

Melibatkan warga

Mengingat peran yang besar itu, pengelola PLTA Musi terus membangun relasi sosial dengan warga sekitar guna mengamankan daerah tangkapan air seluas 58.000 ha. Salah satu upaya adalah pelestarian melalui pola hutan kemasyarakatan, yakni warga diizinkan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Mereka dibolehkan menanam tanaman, seperti kopi, pala, kemiri, dan buah-buahan pada hutan produktif.

“Hasil dari tanaman itu dapat dinikmati, tetapi pohonnya dilarang ditebang. Pola ini cukup efektif sehingga perambahan hutan di kawasan hulu Sungai Musi sejauh ini berhasil ditekan,” kata Pandi, Asisten Manajer Engineering Sektor Pembangkitan Bengkulu.

Dari 58.000 ha daerah tangkapan air, 60 persen di antaranya berupa hutan lindung, serta 40 persen lainnya merupakan hutan produktif. Hingga 2010, 45 kelompok masyarakat di Kepahiang ikut program hutan kemasyarakatan. Mereka mengelola 1.414,75 ha hutan produksi.

“Kami diuntungkan dengan sistem pengelolaan hutan seperti ini. Maka, kami akan bahu-membahu menjaga, melestarikan, dan mengamankan daerah tangkapan air di hulu Sungai Musi demi kelangsungan listrik dari PLTA Musi,” tegas Lukman.

Semoga kesadaran seperti ini terpupuk selamanya. (HARYO DAMARDONO)

Artikel Lainnya