GIS: SLAMET JP, GRAFIK: BUYUNG, SEPTA

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Musi 2010: Susahnya Mencari Titik Hulu Musi

·sekitar 3 menit baca

Wah, GPS (global positioning system)-ku ruwet,” kata seorang rekan dari tim Kompas sambil menunjukkan tampilan jalur yang kami lewati. Di layar jalur yang tersaji bagai benang kusut saat kami mendaki Bukit Kambing di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, pekan terakhir Februari lalu.

Kekusutan jalur yang dilalui dan terekam di GPS alias sistem navigasi satelit disebabkan curamnya tebing, sinyal satelit terhalang lebatnya hutan, dan lambatnya perjalanan.

Untuk bisa mencapai cabang kanan yang merupakan salah satu dari dua alur hulu Sungai Musi yang pertama, kami harus menerabas hutan lebat dengan kemiringan tebing sekitar 70 derajat. Kami ditemani dua warga desa terdekat yang benar-benar paham kondisi jalur menuju sungai.

Dua pemandu itu adalah Yusrizadi (42) yang 22 tahun lalu pernah ke titik hulu Musi. Seorang lagi, Abdul Gani (40), petani kopi yang dua tahun terakhir tinggal di ladang sekitar hutan lindung.

Perjalanan kami awali dengan menyewa ojek dari Desa Air Dukuh, Kecamatan Selupu Rejang, Rejang Lebong, permukiman di tepi jalan menuju pondok Abdul Gani. Setelah sekitar 30 menit melintasi jalan dari batu-batu kali, kami berjalan kaki 10 menit di jalan setapak di tengah perkebunan kopi hingga ke pondok.

Kami lalu melanjutkan perjalanan untuk mencari titik hulu Musi. Awalnya, saat melintasi perkebunan kopi hingga puncak Bukit Kambing, perjalanan masih terasa ringan. Namun, ketika menembus semak belukar yang menutupi bekas jalan perkebunan untuk menuruni lereng bukit, beberapa kali kami harus berjalan menunduk agar bisa melintas dan menghindari belukar berduri tajam.

Semakin dalam memasuki semak belukar, lereng bukit semakin terjal dan jalan setapak juga menghilang. Mulai saat itulah kami benar-benar harus membuat jalan sendiri. Beberapa kali melompati batang pohon besar yang tumbang dan berjalan setengah merayap agar tidak tergelincir. Perjalanan menuruni lereng bukit, yang tingginya sekitar 180 meter, berlangsung selama 30 menit. Setelah itu, kami tiba di Sungai Cangkah Kanan.

Sungai yang lebarnya 12 meter itu terasa sejuk karena diapit dua bukit berhutan lebat yang sama-sama bernama Bukit Kambing. Sungai itu ada kembarannya. Namanya, Sungai Cangkah Kiri yang juga diapit dua bukit, yaitu Bukit Kambing dan Bukit Cogong Sapi. Kedua alur hulu Sungai Musi ini menyatu kembali setelah melewati bukit.

Di bagian tengah aliran Cangkah Kanan, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa, sedangkan di tepi hanya mencapai mata kaki.

Kelebatan hutan di sekitar sungai dan hulu Musi membuat air sungai masih jernih. Kondisi hutan yang terjaga dengan baik juga tecermin dengan masih adanya siamang yang saat itu berteriak-teriak seakan menyambut kami.

Menurut Yusrizadi, bertemu dengan harimau sumatera juga merupakan hal biasa jika berjalan ke Bukit Kelam, tempat titik hulu Sungai Musi berada. Pernyataan itu mempertebal kepercayaan kami bahwa hutan di sekitar hulu Musi yang termasuk di area Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) masih terjaga baik.

Yusrizadi, yang pernah ke titik hulu Musi 22 tahun lalu, yakin bahwa kondisi hulu tidak berubah, bahkan hingga 10 tahun yang akan datang. Lokasi titik hulu Musi di Bukit Kelam bisa dicapai dengan berjalan kaki satu hari satu malam dari Desa Air Duku.

Menurut Yusrizadi, air Sungai Musi di titik hulu keluar dari dasar tebing Bukit Kelam. Lebar aliran air di lokasi itu 5 meter dengan kedalaman semata kaki. Dasar di titik hulu adalah batu-batu kerikil.

Selain keluar dari dasar tebing, air pun merembes dari tebing curam Bukit Kelam. “Jernih.,” kata Yusrizadi saat ditanya tentang kondisi air di hulu Musi.

Air dari tebing itulah yang kemudian semakin membesar setelah menyatu dengan air dari sumber lain, termasuk puluhan anak sungai, hingga 720 kilometer di muara sungai di Selat Bangka. (WISNU WIDIANTORO, dan SLAMET JP-LITBANG KOMPAS)

Artikel Lainnya