Dari tengah Sungai Musi, atap-atap rumah bergaya limas di Desa Air Balui, Kecamatan Muara Lakitan, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, tampak berebut ruang terbuka. Genteng berwarna merah bata atau coklat kehitaman itu berpadu apik dengan rumah-rumah panggung terbuat dari kayu yang umumnya sudah berusia tua.
“Rumah ini sudah dihuni sejak kakek kami. Saya generasi ketiga yang menempati rumah ini,” kata Sa’ad (36), warga Air Balui, tentang rumahnya, Rabu (10/3) siang.
Beberapa tiang dan papan rumah itu sudah terlihat lapuk dimakan usia, sementara kaca jendela masih menggunakan kaca patri yang saat ini sudah sulit ditemukan.
Rumah seluas 66 meter persegi itu diperkirakan sudah berusia 100 tahun lebih. Posisi rumah persis menghadap Sungai Musi, dengan jalan beton selebar satu meter di depannya.
“Dulu, jalan depan rumah ini adalah jalan besar. Karena erosi terjadi terus-menerus, jalan terkikis dan dipindah ke belakang rumah,” tambah Neli (30), istri Sa’ad.
Jalan besar baru sebagai penghubung Kabupaten Musi Rawas dengan Kabupaten Musi Banyuasin itu dipindah sejak tahun 1980-an. Jalan provinsi ini menjadi penghubung jalan lintas timur (jalintim) dengan jalan lintas tengah (jalinteng) Sumatera. Jalan baru tersebut berjarak sekitar 50 meter dari jalan lama yang sudah hilang.
Jika boleh memilih, lanjut Sa’ad, dia lebih suka tinggal di rumah di tepi jalan. “Lebih enak karena bisa jualan, buka toko, atau buka jasa penyewaan,” ungkapnya.
Jaya Kusuma, warga Desa Ngulak I, Sanga Desa, pun mengakui lebih enak jika rumahnya menghadap jalan. Rumah Jaya menghadap sungai yang di sisinya dibangun jalan beraspal hotmix.
“Sejak saya belum lahir, rumah-rumah di sini menghadap sungai. Saya mendengar dari orangtua sejak zaman Belanda,” kata Jaya.
Erni (23), warga Desa Ngulak I lainnya, mengaku sangat menikmati rumahnya yang menghadap ke sungai. “Pemandangannya bagus. Apalagi di depan rumah juga ada jalan raya di tepi Sungai Musi. Jalan ini lebih tinggi dari permukaan sungai sehingga tidak pernah terjadi luapan air yang menggenangi jalan dan rumah penduduk,” jelas ibu satu anak.
Dia mengaku rumah yang ditempati merupakan warisan dari leluhur mereka. Kini, generasi keempat yang tinggal rumah itu. Bangunan dari kayu itu tampak masih kokoh.
Tempat mandi
Namun, pandangan mata agak terganggu karena ada tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) di tepi sungai. Kotoran itu mengalir bersama air menuju muara sungai dengan melewati ratusan permukiman penduduk.
Mahmud Dalazi (35), warga Kelurahan Muara Lakitan, mengatakan, meskipun rumah menghadap sungai, sebagian besar warga masih menjadikan sungai sebagai tempat utama keperluan MCK. Hanya orang kaya yang bisa memiliki kamar mandi di rumahnya.
Kondisi sama terlihat di Desa Ulak Paceh, Kecamatan Babat Toman, Musi Banyuasin. Meskipun sebagian rumah warga menghadap Sungai Musi, di beberapa lokasi di tepi sungai terdapat jamban MCK.
Gubernur Sumsel Alex Noerdin saat acara pelepasan Jelajah Musi 2010 di Desa Tanjung Raya, Kabupaten Empat Lawang, Senin (8/3) lalu, mengingatkan warganya agar tidak lagi melakukan aktivitas MCK di sungai. Alasannya, kegiatan itu bagian dari pencemaran lingkungan.
Alex bahkan menyarankan agar warga membangun rumah dengan menghadap langsung sungai, bukan membelakanginya. Dengan demikian, sungai menjadi halaman depan rumah yang otomatis setiap saat selalu dibersihkan dari aneka kotoran.
Sebaliknya, jika rumah membelakangi sungai, sungai tidak bedanya sebagai tempat sampah, tempat membuang kotoran.
Sebagian besar warga di tepi Sungai Musi memang masih menggunakan sungai untuk kegiatan MCK. Padahal sebagian kecil warga telah menjadikan sungai sebagai halaman depan rumah mereka sehingga elok dipandang. Mungkin sudah saatnya dibangkitkan lagi kesadaran untuk menyelamatkan Sungai Musi dari penataan letak murah. (MZW/ONI/HLN/JAN/MUL)