Diakui atau tidak, saat ini masih ada sebagian warga Kota Palembang yang tidak memahami dengan baik kisah kebesaran Sriwijaya masa lampau. Padahal, pemahaman yang diikuti dengan munculnya rasa bangga terhadap masa lalu ini merupakan salah satu syarat penting untuk mencari sekaligus menerapkan format pembangunan yang tepat di era kekinian.
Kemauan untuk belajar dari masa lalu ini bukan berarti kita terlalu menonjolkan eforia. Hal ini tetap menjadi aspek penting untuk membangun identitas sekelompok masyarakat atau negara dengan tujuan agar hal-hal yang dikerjakan tidak menerabas prinsip kearifan lokal.
Sejumlah warga Kota Palembang dari beragam profesi yang diwawancarai Kompas pada Kamis (8/10) hingga Jumat (9/10) masih sebatas memahami sejarah kebesaran Sriwijaya dari kulitnya saja. Bahkan, ketika Kompas bertemu Suhai (32), warga Lorong Warsawa Darat, dan bertanya apakah dia mengenal seorang raja bernama Sanjaya, Suhai menggelengkan kepala.
“Saya hanya tahu kalau di Palembang ini pernah berdiri Kerajaan Sriwijaya. Selebihnya, kalau ditanya tahun berapa Sriwijaya berdiri dan nama rajanya yang paling terkenal, jujur saya tidak tahu,” katanya.
Saat mengakhiri ucapannya, Suhai masih juga belum menyadari bahwa Sanjaya adalah salah satu raja yang paling terkenal dari Kerajaan Sriwijaya, sekitar abad VII.
Kesan yang hampir sama juga terlihat ketika Kompas bertemu dengan Hendi (23), seorang petugas kebersihan berstatus outsourcing di kantor DPRD Sumatera Selatan. Ketika ditanya soal jalur transportasi utama di era Kerajaan Sriwijaya, Hendi dengan gampang menjawab, dengan kereta kuda.
Mendengar jawaban itu, bisa disimpulkan bahwa sejak kecil hingga dewasa sama sekali belum ada referensi pengetahuan yang terekam di otak Hendi bahwa jalur transportasi utama di Kota Palembang dan kawasan Sumsel lainnya adalah jalur sungai, terutama Sungai Musi dan kesembilan anak sungainya.
Belum tertanam
Meskipun keterbatasan pemahaman soal Kerajaan Sriwijaya bukanlah persoalan yang tergolong sangat penting, tetapi hal ini berdampak pada tidak tertanamnya rasa kebanggaan atas peninggalan sejarah Sriwijaya di hati sebagian warga.
Melalui hal itu, Kompas hanya ingin membandingkan dengan sejumlah masyarakat awam di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta yang tidak asing dengan nama Syailendra dan Samaratungga, raja yang memulai dan menyelesaikan bangunan Candi Borobudur. Hal itulah yang kemudian memunculkan rasa kebanggaan warga Jateng-DIY, yang diikuti rasa kepedulian yang besar terhadap bangunan Candi Borobudur.
Menurut Aufa Syahrizal, pengamat pariwisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumsel, Sumsel khususnya Kota Palembang, sebenarnya memiliki potensi sejarah yang tidak kalah bernilai dengan masyarakat Jawa.
“Potensi ini terkait dengan nama besar Sriwijaya dan perannya membangkitkan dalam membangun sistem transportasi sungai di Sungai Musi,” tuturnya.
Tahun 2008, pemerintah provinsi sebenarnya sudah membaca potensi ini dengan cara mengemasnya sebagai produk pariwisata “Visit Musi 2008”. Melalui upaya ini, pemerintah secara tidak langsung juga turut membesarkan nama Kerajaan Sriwijaya dengan armada laut yang sangat terkenal.
“Hasilnya tidak buruk, angka kunjungan wisatawan mancanegara dan dalam negeri langsung melonjak hampir dua kali lipat,” katanya.
Dia menilai, upaya-upaya seperti ini sepatutnya terus dijaga, bahkan jika perlu dikembangkan dengan cara atau metode yang baru dan inovatif. Negara lain sudah melakukannya.(ONI)
“Saya hanya tahu kalau di Palembang ini pernah berdiri Kerajaan Sriwijaya.”