KOMPAS/AHMAD ARIF

Bus air yang tidak lagi beroperasi dibiarkan tersandar di tepi Anjir (Kanal) Serapat, di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (12/2). Sepuluh tahun lalu bus air masih menjadi angkutan utama yang menghubungkan Banjarmasin-Palangkaraya. Kini perannya digantikan angkutan darat yang melalui trans-Kalimantan.

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Kalimantan: Matinya Anjir, Matinya Peradaban Sungai

·sekitar 3 menit baca

Sebuah perahu kayu melaju sendirian di tengah kanal. Kapal-kapal kayu lain dibiarkan tertambat di tepian, tak jauh dari dermaga kayu ulin yang masih kokoh namun sepi. Tak seorang pun penumpang menunggu di dermaga itu.

Pernah menjadi urat nadi transportasi yang menghubungkan Banjarmasin (Kalimantan Selatan) ke Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Terusan Anjir Serapat kini menjadi terusan sepi menuju mati.

Padahal, melalui terusan ini, Juli 1957, Soekarno bertolak dari Banjarmasin menuju jantung Borneo. Perjalanan Soekarno dilakukan melalui Anjir Serapat yang menghubungkan Sungai Barito ke Sungai Kuala Kapuas, dilanjutkan melalui Anjir Kelampan menembus Sungai Kahayan.

Soekarno lantas menghulu Sungai Kahayan ke arah Pahandut, kota Dayak yang oleh presiden pertama Indonesia itu didesain sebagai ibu kota negara masa depan dengan nama Palangkaraya.

Terusan Serapat, dengan lebar 30 meter dan panjang 28 kilometer, dibuat pada era W Broers, penguasa tertinggi Belanda di Kalsel tahun 1880-1890, dengan memanfaatkan kemampuan tradisional orang Banjar. Dengan alat yang disebut sundak, papan tipis dari kayu ulin, orang Banjar membuat kanal-kanal.

Prof Dr HJ Schophuys, ahli hidrologi asal Belanda, di Kompas edisi 7 November 1969, menyebutkan, jauh sebelum pembuatan Anjir Serapat, masyarakat Banjar telah membuat banyak kanal untuk kepentingan transportasi dan pertanian pasang-surut.

“Mereka mampu membuat saluran air sepanjang puluhan kilometer hanya dengan tangan. Saya meniru cara itu,” tulis Schophuys, yang pernah menjadi konsultan pembangunan wilayah Kalimantan.

Sungai, kanal, dan perahu adalah napas hidup orang Kalimantan sejak beratus tahun silam, seperti tertulis dalam catatan perjalanan Anton W Niewenhuis yang melakukan perjalanan dari Pontianak ke Samarinda pada tahun 1894 dan Carl Lumholtz pada tahun 1913 dan 1917.

Tinggal kenangan

Kenangan tentang kejayaan bus air yang melayari sungai-sungai di Kalimantan masih lekat di ingatan Notsen Walis (70), pemilik kapal Berkat Makmur. Lelaki asal Desa Pangkuh, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, ini berkisah, hingga tahun 1980-an masih ada puluhan kapal angkutan yang hilir mudik di Sungai Kahayan.

“Untuk rute Banjarmasin-Palangkaraya saja ada 20-an kapal, rute Buntok-Palangkaraya ada dua kapal, dan rute Bahaur, Pangkuh-Palangkaraya ada 10-an buah kapal,” kata Notsen.

Saat ini tinggal tiga kapal melayari rute Bahaur-Palangkaraya dan dua kapal untuk rute Pangkuh-Palangkaraya. Tidak ada lagi kapal pengangkut penumpang dari Banjarmasin dan Buntok ke Palangkaraya, yang dulu dilayani oleh 30-an kapal dan puluhan perahu cepat.

Dampak dari kematian angkutan ini juga terlihat di Pelabuhan Bandar Raya, Kelurahan Pelambuan, Kecamatan Banjarmasin Barat, Kalimantan Selatan. Pelabuhan yang pernah menjadi pusat pelayaran menuju pedalaman Kalimantan itu kini hanya melayani empat kapal jurusan Banjarmasin-Muara Teweh-Puruk Cahu.

Menurut Notsen, penumpang kapalnya kini hanya orang tua, yang mabuk darat kalau naik mobil. Orang-orang tua yang masih terikat dengan sungai, seperti Nenek Ika (60).

Perempuan Dayak ini menuturkan, untuk pergi dari Palangkaraya ke Bahaur naik mobil angkutan antar-jemput butuh uang Rp 75.000 per orang, dengan lama perjalanan tujuh hingga delapan jam.

“Kalau naik kapal cuma Rp 40.000 per orang. Selain lebih murah, juga tidak bikin mual karena jalannya kapal pelan,” katanya.

Berangkat dari Dermaga Rambang pukul 13.30, kapal akan tiba di Bahaur sekitar pukul 07.00 esok harinya.

Selain berharap pada orang-orang tua yang masih terikat dengan sungai, para pemilik perahu kini mengandalkan angkutan kargo barang. “Biaya pengiriman barang memakai kapal lebih murah, Rp 30.000 per ton. Kalau menggunakan truk Rp 100.000 per ton,” kata Hamran, nakhoda kapal Delta Barito.

Hamran yakin angkutan barang melalui sungai masih belum tergantikan karena lebih murah. Namun, harapan Hamran itu harus berhadapan dengan mendangkalnya alur sungai serta kanal buatan.

Sejak jalan darat trans-Kalimantan dari Banjarmasin ke Palangkaraya mulai lancar pada tahun 2002, sungai dan kanal yang menghubungkan dua kota ini diabaikan. Tak ada lagi pengerukan sehingga sungai dan kanal makin dangkal. Pendangkalan juga dipicu kerusakan ekologi di daerah aliran sungai dan hancurnya hutan di kawasan hulu.

Jembatan-jembatan baru yang dibangun untuk memperlancar jalan darat juga menghalangi kapal-kapal yang lewat. Jalan darat trans-Kalimantan poros selatan telah membunuh jalur sungai itu. Penumpang memilih menggunakan mobil.

“Awal 80-an, ketika survei pembangunan jalan Banjarmasin-Palangkaraya, kami harus lewat sungai dan kanal-kanal itu. Namun, setelah jalan darat jadi, kanal-kanal itu mati,” kata Widodo, pegawai Regional Betterment Office VII Banjarmasin, Departemen Pekerjaan Umum, yang merintis pembangunan jalan trans-Kalimantan.

Jalan trans-Kalimantan Banjarmasin-Palangkaraya menjadi saksi matinya peradaban sungai yang dibangun selama berabad lamanya. (AIK/FUL/RYO/CAS)

Artikel Lainnya