Setidaknya ada 14 pohon cendana (Santalum album Linn) berusia belasan tahun di Nunka, kampung di Desa Ponain, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hal itu memberi harapan kembalinya kejayaan cendana di wilayah ini.
Sebanyak 13 pohon tumbuh di lahan milik Cornelis Rakmeni. Satu tegakan lagi tumbuh di pekarangan rumah Aleks Rakmeni.
Jajaran cendana muda juga tampak berderet di kebun proyek percontohan di Desa Tesbatan di kecamatan sama, serta tersebar di pekarangan rumah penduduk.
Desa Ponain berjarak sekitar 60 kilometer arah selatan Kota Kupang. Hingga awal 1990-an, Ponain dan Tesbatan dikenal sebagai sentra cendana di Kabupaten Kupang. Akan tetapi, kini cendana di NTT di ambang kepunahan. Hampir mustahil menemukan cendana di kawasan hutan. Tegakan tersisa hanya bisa dijumpai di kebun atau pekarangan rumah itu pun terbatas.
Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Soenarno dan Kepala Seksi Reboisasi dan Pembenihan Dinas Kehutanan NTT Alfons Jehamat mengakui, terjadi penyusutan tegakan cendana sekitar 50 persen. Data Dinas Kehutanan Provinsi NTT menunjukkan, tahun 1987-1990 ada 176.949 tegakan induk dan 388.003 anakan di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu. Tahun 1997-1998 tinggal 51.417 tegakan induk dan 199.523 anakan.
Mendunia
Sejak abad ke-4, NTT dikenal dunia sebagai daerah penghasil jenis kayu beraroma harum dan mahal karena daerahnya yang kering. Cendana yang tumbuh di daerah kering akan menghasilkan kayu berkualitas baik. Nyaris seluruh NTT sangat cocok untuk cendana. Selain di Timor, cendana dijumpai juga di Sumba, Flores, Solor, dan Alor.
Cendana juga tumbuh di negara lain, seperti India, Fiji, Australia, dan Kaledonia Baru.
Jauh sebelum menjadi komoditas perdagangan, cendana dikeramatkan. Para tetua di Timor sering menggelar ritual khusus agar cendana tumbuh subur dan semakin harum. Aroma cendana yang semerbak menjadi isyarat hubungan harmonis antara manusia dan leluhur, alam raya, serta Wujud Tertinggi. Karena itu, cendana selalu terjaga.
“Aroma cendana diyakini sebagai penyubur lahan dan penghalau bala,” kata antropolog, Dr Gregor Neonbasu SVD, Ketua Yayasan Pendidikan Katolik Arnoldus, pengelola Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Ketika menyelesaikan studi S-3 bidang Antropologi di Universitas Nasional Canberra, Australia (2005), Neonbasu meneliti akar budaya warga Timor di Biboki, Kabupaten TTU.
Menurut Neonbasu, pada masa lalu, cendana dipersepsikan sebagai gadis cantik yang memancarkan keharuman bagi keluarga, masyarakat, serta tanah Timor. Dalam mitologi, cendana disebut hau meni, gadis sumber keharuman. “Sang gadis” dijaga kelestariannya. Perusak cendana diyakini akan mengalami musibah, tertimpa kesulitan, hingga menemui ajal.
Neonbasu menyebutkan, pada abad ke-14 cendana NTT sudah memenuhi catatan pedagang China. Masyarakat dunia, terutama China dan India, melukiskan NTT sebagai daerah penghasil cendana berkualitas istimewa.
Keberadaan cendana sebagai pohon keramat mulai bergeser menjadi komoditas perdagangan sejak abad ke-4, seiring kedatangan pedagang perantara dari Gujarat dan kawasan lain. Sekitar abad ke-7, pedagang dunia mencari cendana hingga ke Timor dan pulau-pulau sekitarnya.
Monopoli
Schulte Nordholt (1971) mencatat, pada abad ke-14 cendana, lilin, madu dan budak merupakan barang dagangan dari Timor yang diantarpulaukan ke Jawa, Malaka, dan kawasan lain.
Butje Patty dari Universitas Cendana Kupang mencatat, cendana yang semula dipersepsikan sebagai pohon keramat dan hau meni dalam perkembangannya dianggap sebagai hau plenat (kayu milik pemerintah) atau hau lasi (kayu perkara). Hal itu muncul saat cendana diklaim sebagai milik pemerintah. Masyarakat diharuskan menjaga dan memelihara, tetapi tidak berhak memanen.
Semasa penjajahan Hindia Belanda, seluruh pohon cendana diberi cap sebagai milik pemerintah. Pada masa kemerdekaan, Peraturan Daerah (Perda) NTT Nomor 11 Tahun 1966 dilanjutkan Perda No 16/1986 menegaskan kepemilikan cendana oleh pemerintah, tetapi memicu protes karena bagian rakyat dari hasil penjualan cendana makin turun.
Apabila tahun 1966 rakyat mendapat 50 persen hasil penjualan cendana yang diambil dari tanah milik rakyat, tahun 1986 jatah rakyat tinggal 15 persen. Akibatnya, rakyat enggan menanam cendana sehingga kayu itu nyaris punah setelah dieksploitasi pemerintah dan dijadikan sumber pendapatan asli daerah selama bertahun-tahun (lihat tabel).
Budidaya cendana
Keadaan berubah sejak delapan tahun lalu. Pemerintah Provinsi NTT mencabut monopoli dan mengembalikan cendana sebagai milik masyarakat. Gubernur NTT Frans Lebu Raya dua tahun lalu mencanangkan gerakan mengembalikan NTT sebagai “Provinsi Cendana”.
Menurut Soenarno, Menteri Kehutanan pada 12 Februari 2009 mencanangkan aksi sebar bibit dan penanaman cendana oleh masyarakat. “Dalam 10 tahun ke depan yang penting pemulihan dulu. Kalau sudah banyak tegakan, tahun ke-11 baru dipilih bibit unggul. Saat ini ada moratorium penebangan cendana. Diharapkan tahun 2030 cendana siap panen dan menjadi komoditas bebas,” tutur dia.
Dalam melaksanakan bantuan teknis cendana bagi pemda, Balai Penelitian Kehutanan dari Kementerian Kehutanan itu dibantu International Tropical Timber Organization yang bergerak di bidang advokasi kebijakan dan peraturan pemerintah agar berpihak kepada masyarakat. Juga dibantu Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), badan penelitian dari Australia, untuk memberdayakan masyarakat terkait pembibitan.
Menurut Soenarno, di Australia Barat cendana dibudidayakan sampai 2.000 hektar. Cendana Timor yang dikonservasi Thailand dan Australia hasilnya sangat bagus. Namun, cendana di NTT tetap yang terbaik karena kadar minyak atsiri tinggi, yaitu 5-7 persen dari rendemen terasnya.
“Sulit membangun cendana berskala industri. Kebijakan yang diambil adalah pendekatan agar rakyat mau menanam. Kalaupun ada investor masuk, akan dibuat hutan tanaman rakyat,” ujar Soenarno.
Saat ini, di Desa Ponain dan sekitarnya tumbuh 550 pohon cendana berusia 2-3 tahun hasil penanaman massal sejak tahun 2007. Cendana itu milik 110 keluarga yang tergabung dalam 11 kelompok petani cendana.
Menurut peneliti utama Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Komang Surata, harga cendana di pasaran internasional saat ini sekitar Rp 600.000 per kg. Satu pohon bisa menghasilkan 50 kg-100 kg.
Di tingkat petani, menurut pengakuan Kepala Desa Tesbatan, Kecamatan Amarasi, Dominggus Mnau (46), harga cendana sekitar Rp 250.000 per kg.
Maret 2009, warga desa mendapat pembagian bibit cendana 2.600 batang atau 10 batang per keluarga. Meski awalnya ragu, setelah ada sosialisasi kebijakan masyarakat kini antusias menanam cendana. Kendalanya ketersediaan bibit. Hingga akhir Juli, menurut Kepala Desa Ponain Is Ataupah, penanaman cendana di wilayahnya baru sekitar tiga hektar.
Kini masyarakat NTT bersemangat menanam cendana. Semangat itu perlu dijaga dengan konsistensi kebijakan. Yang penting, sebagaimana dikatakan Soenarno, komitmen birokrat di NTT untuk mengembangkan cendana, termasuk pendanaannya. Dengan demikian, tekad mengembalikan kejayaan NTT sebagai “Provinsi Cendana” bisa terwujud.