Kerusakan Sungai Citarum di Jawa Barat akibat pencemaran dan sedimentasi yang hebat telah merugikan pemerintah, pembangkit listrik tenaga air, petani, pembudidaya ikan, industri tekstil, dan rakyat biasa. Padahal, investasi pemerintah dan swasta di aliran sungai tersebut mencapai triliuan rupiah. Investasi tekstil dan produk tekstil, misalnya, sekitar Rp 80 triliun.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Barat Dedy Widjaja, pekan lalu di Bandung, mengatakan, saat banjir Citarum melanda selama sebulan penuh, Maret 2010, kerugian semua jenis industri di Kabupaten Bandung, Purwakarta, dan Karawang mencapai Rp 200 miliar. Selain tekstil dan produk tekstil, pabrik yang stop operasi bergerak di bidang otomotif dan elektronik.
General Manager Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit Saguling Erry Wibowo mengungkapkan, pencemaran itu membuat peralatan turbin cepat rusak akibat pengaratan. “Kami harus segera mengganti turbin. Jika terlambat, akan mengganggu sistem operasi,” ujarnya.
Sejak beroperasi tahun 1985, PLTA itu sudah empat kali ganti turbin. Padahal, penggantian harus dilakukan sekali dalam 10 tahun. Sekali penggantian menelan Rp 2 miliar-Rp 3 miliar. PLTA Saguling memproduksi 2.156 gigawatt listrik per jam (GWh) selama setahun.
Kotornya air Citarum juga telah menyuburkan berbagai vektor penyakit. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jabar mencatat, di Saguling ditemukan vektor penyakit seperti nyamuk, moluska, cacing, dan tikus yang bisa memicu penyakit malaria, demam berdarah, cacing tambang, dan tifus.
Sedimentasi juga telah mengancam produksi listrik PLTA Cirata dan PLTA Ir H Djuanda karena usia waduk kian berkurang. Laju korosi membuat umur generator pendingin berkurang dari 5-7 tahun menjadi 2-3 tahun. PLTA Cirata rata-rata memproduksi 1.428 GWh listrik per tahun, sementara PLTA Ir H Djuanda 690 GWh per tahun.
Tingginya sedimentasi serta pencemaran limbah industri dan rumah tangga di Sungai Citarum mengakibatkan 100.000 hektar sawah tak produktif. Pasokan air irigasi turun sehingga kehilangan potensi sekitar Rp 16 triliun per tahun. Citarum mengairi sekitar 300.000 hektar sawah di sembilan kabupaten/kota di Jabar.
Ketua Divisi Pakan Akuakultur Gabungan Pengusaha Makanan Ternak Denny D Indradjaja mengaku, pasokan pakan ikan selama lima tahun terakhir terus turun. Waduk Cirata tahun 1999 menyerap 12.000 ton pakan ikan per bulan, tahun 2010 hanya 4.000 ton per bulan. Di Waduk Cirata saja investasi keramba jaring apung mencapai Rp 2,5 triliun-Rp 3,5 triliun, sedangkan di Jatiluhur sekitar Rp 850 miliar.
Di wilayah hilir Citarum terdapat sekitar 30.000 hektar tambak bandeng. Akibat pencemaran, udang windu yang berpotensi menghasilkan Rp 20 juta per hektar per tiga bulan hilang. Artinya, petambak kehilangan potensi dari tambak ini sekitar Rp 600 miliar atau Rp 2,4 triliun per tahun. (REK/MKN/GRE/HEI/CHE/ELD/DMU/JAN)